Sebuah aksi panen masal Kelompok Tani “Sahai Hapakat” untuk menentang asal klaim lahan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit, PT. HMBP II.

Pada tanggal 22 dan 23 Januari 2020 yang lalu, sebanyak 200 anggota Kelompok Tani (Poktan) “Sahai Hapakat” dari Desa Penyang , Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah melakukan aksi panen masal. Pemanenan memang bukan sebuah hal yang aneh untuk dilakukan oleh sebuah kelompok tani. Namun, pemanenan yang dilakukan oleh Poktan “Sahai Hapakat” ini tidak lain merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang perusahaan.
Sejak tahun 2006, sejumlah lahan kelola masyarakat digarap secara sepihak oleh sebuah perusahaan kelapa sawit, PT. Hamparan Masawit Bangun Persada II (PT. HMBP II). Lahan seluas 117 hektar tersebut berada di luar kawasan HGU milik PT. HMBP II. Jika merujuk pada Pasal 28 ayat (1) Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), lahan yang masuk dalam kawasan HGU atau hak guna usaha adalah lahan yang boleh secara hukum diusahakan dalam jangka waktu tertentu oleh perusahaan. Dengan kata lain, lahan yang berada di luar kawasan HGU perusahaan tidak sah secara hukum untuk digarap perusahaan. Sehingga penggarapan semacam itu merupakan sebuah pelanggaran hukum.

Aksi panen masal yang dilakukan oleh Poktan “Sahai Hapakat” ini merupakan puncak dari kegeraman masyarakat atas tindakan ilegal perusahaan. Meski telah dua kali Bupati Kotawaringin Timur yang menjabat mengeluarkan surat perintah pengembalian lahan sengketa kepada masyarakat. Pada Oktober 2010, Bupati Kotawaringin Timur yang menjabat, Drs. H. M. Wahyudi K. Anwar, MM, MAP, mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada PT. HMBP II. Surat ini menindaklanjuti hasil temuan Tim Evaluasi Perkebunan Kelapa Sawit, yakni bahwa perusahaan telah beroperasi di luar kawasan HGU dan menggarap lahan masyarakat, sehingga diperintahkan untuk mematuhi hukum yang berlaku dengan mengembalikan lahan tersebut.
Dalam laporan dan rekomendasi Panitia Khusus Perkebunan Kelapa Sawit tahun 2011, DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur menyebutkan temuan yang lebih mengejutkan. PT. HMBP II bukan hanya melakukan pelanggaran hukun karena menggarap lahan masyarakat, tapi juga lahan milik Dinas Perkebunan seluas 22,8 hektar. Dalam laporan tersebut, PT. HMBP II diminta untuk mengembalikan lahan milik masyarakat dan milik Dinas Perkebunan. Meski begitu, perusahaan tidak kunjung melaksanakan pemulihan hak.
Di tahun 2011 juga masyarakat kembali melaporkan kasus sengketa lahan ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada Maret 2011, Komnas HAM menanggapi laporan masyarakat dengan mengeluarkan surat yang mendesak pelaksanaan surat perintah yang telah dikeluarkan oleh Bupati tahun 2010. Dalam surat tersebut, Komnas HAM menegaskan bahwa tidak dijalankannya poin-poin dalam surat perintah tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 36 ayat (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang menyatakan, “Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.”
Hingga dikeluarkannya surat perintah penyelesaian sengketa oleh Bupati Kotawaringin Timur periode berikutnya (2010-2015), H. Supian Hadi, S. Ikom, masyarakat belum juga mendapatkan pemulihan hak. Namun, perjuangan masyarakat tidak surut. Pada Mei 2012 dilaksanakan gelar perkara atas kasus tersebut di Kantor Badan Pertanahan Provinsi Kalimantan Tengah. Hasil gelar perkara kembali menguatkan kewajiban pengembalian hak masyarakat yang dirampas perusahaan. Namun, nyatanya perusahaan masih tidak bergeming. Pada tahun 2019, masyarakat mencari pemulihan hak kepada DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur. Usai rapat dengar pendapat tersebut, DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur mengeluarkan surat rekomendasi pada Oktober 2019 dengan poin-poin yang kembali menegaskan hak masyarakat dan pelanggaran yang dilakukan perusahaan.
Berbagai upaya telah ditempuh masyarakat sejak sepuluh tahun silam, namun belum juga mampu memberikan pemulihan hak yang diinginkan. Namun masyarakat tidak dapat membiarkan semangat perjuangan mereka padam, dengan penuh keberanian masyarakat melakukan pemortalan di jalan utama PT. HMBP II pada tanggal 17 Januari 2020. Pemortalan dilakukan setelah pihak perusahaan melakukan penutupan jalan akses masyarakat ke lokasi lahan yang disengketakan. Masyarakat pun tidak luput menerima tindakan intimidasi dari seorang oknum TNI.

Usai aksi pemortalan jalan, masyarakat membuat kesepakatan tidak tertulis dengan pihak perusahaan yang diwakili oleh General Manager PT. HMPBP II, I Wayan Sutaya pada 18 Januari 2020. Kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan mediasi di Kantor Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur dalam kurun waktu satu minggu. Dalam periode waktu tersebut kedua belah pihak bersepakat tidak akan melakukan aktifitas apapun di lahan sengketa. Namun, belum genap satu minggu pihak perusahaan justru melanggar kesepakatan dengan melakukan aktifitas pemanenan di lahan tersebut. Atas dilanggarnya kesepakatan ini, masyarakat akhirnya memutuskan untuk melakukan aksi panen masal. Meski aksi ini sempat berusaha dihentikan oleh GM PT. HMBP II yang didampingi oleh dua orang oknum TNI dan beberapa anggota keamanan PT. HMBP II, masyarakat tetap tidak pantang mundur. Keberanian masyarakat tentu beralasan jika melihat berbagai bukti yang menyatakan hak masyarakat dan pelanggaran hukum yang telah dilakukan perusahaan.
Kasus sengketa yang dialami oleh Poktan “Sahai Hapakat” ini merupakan perkara yang cukup umum terjadi di Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut hasil investigasi WALHI Kalimantan Tengah pada tahun 2018, terdapat setidaknya 344 kasus sengketa yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya alam. Seringkali pelanggaran hukum yang jelas-jelas dilakukan oleh perusahaan tidak mendapatkan tindakan hukum yang tegas. Lemahnya penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi telah menyebabkan masyarakat harus menanggung beban akibat hak-haknya yang dirampas. (akp)