“Saya perwakilan Perempuan Kalimantan Tengah menolak perusahaan batubara dan mendesak pemerintah untuk mencabut ijin perusahaan batubara yang merusak tanah, air, dan udara kami!” seru Adhitya Anugerah Pamelumnie saat berorasi di depan kantor Kementrian ESDM Jakarta.
Adhitya merupakan perwakilan komunitas masyarakat Dusun Gunung Karasik, Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah yang kawasan hutannya telah dirusak akibat pertambangan batu bara yang terletak dekat dengan pemukiman masyarakat.
Tanggal 1 Agustus 2018 yang lalu, Adhitya dan perwakilan komunitas masyarakat dari 12 provinsi Indonesia lainnya menggelar aksi menolak batubara dan PLTU. Sebagai masyarakat yang bertempat tinggal dan hidup di kawasan yang dimasuki ijin pertambangan batubara – PLTU, mereka adalah masyarakat paling terdampak dari aktivitas pertambangan – PLTU yang merusak lingkungan hidup.
Aktivitas pertambangan – PLTU yang cenderung merusak dan tidak berkelanjutan bukan hanya telah mencemari sumber-sumber kehidupan masyarakat seperti tanah, air sungai, dan udara, tetapi juga menghancurkan keberadaan wilayah kelola masyarakat dengan diberikannya ijin-ijin di atasnya.
Terlebih bagi kaum perempuan, seperti Adhitya, yang berperan besar dalam memastikan kelangsungan hidup keluarganya yang selama ini bergantung dari pengelolaan dan proteksi sumber-sumber alam hutan, hilangnya kelestarian hutan berdampak lebih buruk bagi mereka. Hal-hal seperti kesulitan akses terhadap air bersih dan kehilangan sumber pangan, seperti ikan akibat sungai yang tercemar merupakan dampak yang umum dialami.
Dampak-dampak buruk yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat terdampak khususnya perempuan ini membangkitkan kesadaran dan semangat dari masyarakat terlihat dari semakin menguatnya gerakan perlawanan masyarakat atas industry batu bara dan PLTU di kawasan Indonesia, serta dalam mendorong kebijakan yang pro rakyat dari pemerintah. (akp)