Selama Ini masyarakat adat terus-menerus hidup di bawah ancaman kehilangan hutan. Namun ibarat api, semangat perlawanan masyarakat pun tidak pernah padam. Ketaatan menjalankan tradisi ritual adat memberikan kekuatan serta keberanian untuk tetap berjuang.
Hari Sabtu siang itu (7/7/2018), jalan Desa Kubung, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia terlihat lebih ramai dari biasanya. Empat orang tetua dengan memakai tutup kepala adat turun dari Rumah Betang (rumah panjang khas Dayak) sambil membawa anca.
Anca adalah tempat sajian yang terbuat dari bambu. Bentuknya panjang seperti tongkat dan di bagian atasnya terdapat tempat berbentuk keranjang yang juga terbuat dari bambu. Bambu yang dijadikan sebagai anca telah dipilih dan dipotong melalui ritual tertentu pada hari sebelumnya. Dalam ritual tersebut juga disediakan bambu yang digunakan untuk memasak lemang (nasi ketan) dan nasi kuning.

Para tetua yang membawa anca diikuti oleh beberapa orang masyarakat. Keempat kelompok saling berpencar ke arah yang berbeda-beda. Lokasi yang dituju adalah Sungai Mencara, Bukit Batu Batongkat, jalan perbatasan desa, dan Sandung (tempat disimpannya tulang belulang leluhur).
Meskipun terdapat empat lokasi penempatan anca yang berbeda, Sungai Mencara menjadi lokasi utama dari ritual itu. Karena di tepi Sungai Mencara lah terdapat lokasi pemancangan tiang pertama Desa Kubung. Tiang tersebut hingga kini masih berdiri kokoh mesipun telah ditutupi lumut. Kira-kira 30 cm dari sebelah kiri tiang itu, ditancapkan bambu anca.
Bagian atas anca yang berbentuk wadah tadi kemudian diisi oleh ibu-ibu dengan sajian seperti babi panggang, ayam panggang, kepala dan babi dan ayam panggang, hati ayam, lemang, dan nasi kuning.

Di bawah anca ditancapkan bambu yang ujungnya telah dibakar, sehingga mengeluarkan asap. Lalu beras putih ditabur di atas tanah. Tuak (minuman tradisional beralkohol) yang telah diisi dalam bambu juga disiram ke atas tanah di bawah anca. Sisa tuak lalu diminum secara bergiliran.
Rangkaian ritual dilakukan sembari para tetua memanjatkan doa dalam bahasa Dayak Tomunt sambil sesekali disahuti oleh yang lain. Ritual itu merupakan puncak dari rangkaian ritual adat Babantan Laman oleh masyarakat adat Dayak Tomunt di Desa Kubung. Ritual adat telah dilaksanakan selama dua hari sejak hari Jum’at.

Babantan Laman adalah ritual adat tahunan guna menyambut tahun yang baru dengan membersihkan kampung (laman) dari segala macam hal negatif. Babantan Laman juga bermakna ungkapan rasa syukur kepada Sangian (Tuhan), leluhur, dan bumi atas berkah yang diperoleh tahun lalu. Serta mengharapkan anugerah, perlindungan, dan keselamatan di tahun berikutnya. Bukan hanya bagi masyarakat desa, tapi juga seluruh masyarakat di muka bumi ini. Doa-doa senantiasa dipanjatkan dalam rangkaian ritual adat yang mengharuskan para tetua untuk berpuasa makan.
Berbagai macam doa meminta kebaikan dan menolak keburukan dipanjatkan. Salah satunya harapan masyarakat akan kesatuan dan persatuan. Masyarakat Desa Kubung masih hidup secara komunal. Dalam kesehariannya hingga pelaksanaan ritual dilakukan secara bergotong-royong. Keharmonisan antar sesama tidak hanya menjaga masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Namun juga menjaga hutan tempat mereka lahir, tumbuh, belajar, dan bekerja.
Secara turun-temurun masyarakat Dayak Tomunt di Desa Kubung telah hidup dengan memanfaatkan sumber-sumber hutan. Berbagai aktifitas dilakukan di hutan, seperti berladang, mengumpulkan madu, obat-obatan herbal, sayuran, dan buah-buahan, menyadap karet, sampai melaksanakan ritual adat.
Ketergantungan masyarakat akan hutan menuntut mereka untuk memastikan bahwa hutan akan terus ada. Sehingga perilaku dan adat istiadat masyarakat dalam aktifitas keseharian maupun ritual juga merupakan bagian dari upaya pelestarian hutan.
Dengan cara hidup yang ramah lingkungan seperti itu menjadikan masyarakat tidak berlaku semena-mena meskipun hidup sangat berdekatan dengan hutan. Masyarakat justru hanya akan mengambil dari hutan apa yang mereka butuhkan sebanyak apa yang mereka perlukan. Hal ini terbukti dengan masih asri nya hutan di Desa Kubung. Hutan tersebut juga sebagai salah satu rimba terakhir di Indonesia. Sehingga mungkin bahkan tanpa siapapun sadari, masyarakat Desa Kubung telah berperan cukup besar dalam menjaga kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya di bumi ini.
Meskipun peranan hutan Kubung sebagai rimba terakhir dan penyangga kehidupan masyarakat bahkan mungkin dunia ini tidak meloloskannya dari upaya-upaya penghancuran. Pada awal tahun 2015, sebuah ijin HTI (Hutan tanaman Industri) dari pemerintah Provinsi Kalimantan Barat masuk ke dalam kawasan kelola masyarakat. Karena kawasan dengan luas mencapai 8000 hektar tersebut secara administratif merupakan wilayah Provinsi Kalimantan Barat.
Pada pertengahan tahun 2015, perusahaan tersebut sudah akan mulai menggarap kawasan kelola masyarakat Desa Kubung. Jalan menuju kawasan telah dibuka dan alat-alat berat sudah masuk. Mengetahui ada aktifitas asing di sekitar kawasan kelolanya, masyarakat segera melakukan konsolidasi. Kemudian hasilnya disepakati untuk menghentikan aktifitas pekerja perusahaan di kawasan mereka dengan berbondong-bondong mendatangi lokasi. Kawasan tersebut akhirnya ditinggalkan oleh para pekerja setelah melihat penolakan keras dari masyarakat. Lalu, kawasan tersebut akhirnya disegel oleh masyarakat.
Namun, upaya masyarakat tidak berhenti sampai disitu. Mereka juga berupaya untuk menemui pihak perusahaan dengan mendatangi kamp perusahaan. Disana secara tegas masyarakat menyatakan menolak aktifitas apapun di atas kawasan kelola mereka. Meskipun tidak ada perwakilan dari perusahaan yang bersedia menjadi penanggung jawab dan menemui masyarakat saat itu. Hingga saat ini perusahaan tersebut tidak melakukan aktifitas apapun disana.
Rentetan langkah-langkah yang dilakukan masyarakat Desa Kubung ini adalah perwujudan dari kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan hak-hak nya. Masyarakat sadar bahwa mereka harus mempertahankan hutan yang menjadi tumpuan hidup mereka. Bahwa kelestarian hutan harus diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Tidak dipungkiri bahwa kesadaran masyarakat berasal dari pemahaman masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Melalui ritual adat yang telah menjadi tradisi turun-temurun bagi masyarakat menumbuhkan kesatuan. Keyakinan bahwa masyarakat memiliki kekuatan dalam persatuan dan kesatuan dengan Sangiang, leluhur, dan pejuang dahulu menjadi ujung tombak kekuatan masyarakat.
Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Mantir (ketua) Adat Desa Dayak Tomunt, Tirbong, “Kami memperoleh jawaban doa-doa melalui ritual. Jika kami tidak bisa menjalankan ritual, kami bukan hanya akan kehilangan adat kami, tapi juga harapan kami.”
Meski telah berhasil dalam mempertahankan hutan mereka, masih banyak tantangan-tantangan yang mengancam masyarakat adat seperti masyarakat dayak Tomunt di Desa Kubung. Salah satunya adalah terkait dengan kebijakan pemerintah yg belum mendukung aktifitas masyarakat dalam perlindungan hutan. Kebijakan pemerintah seringkali hanya menguntungkan investasi dan perusahaan.
Padahal bagi masyarakat adat seperti masyarakat Dayak Tomunt, kehilangan hutan berarti kehilangan segala sumber-sumber kehidupan. Hilangnya sumber kehidupan sama saja dengan kematian. Tidak akan ada lagi yang tersisa dan dapat ditinggalkan kepada anak dan cucu. Bahkan lebih jauh, ritual adat pun tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya hutan dan dengan begitu mereka akan kehilangan kemerdekaan sebagai manusia.
Sehingga bukan berlebihan bila dikatakan menghilangakan hutan tidak ada bedanya dengan menghapus sebuah kehidupan masyarakat yang bergantung padanya. Teringat kembali doa yang dipanjatkan oleh masyarakat Desa Kubung siang itu, “Kami berdoa agar jangan hutan kami diganggu gugat dan jangan dihancurkan. Karena hutan itu ibu kandung kami”. Doa yang penuh akan harapan dan rasa cinta kepada bumi yang lestari. (akp)
Tulisan ini juga ditulis dalam Bahasa Inggris dalam website IPMSDL dengan judul Prayer of the Last Forest Guardians