Hari ini Indonesia tengah merayakan kemerdekaan dari belenggu-belenggu penjajah. 73 tahun sudah Indonesia merdeka, tapi sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan seolah tidak ada hentinya. Seringkali masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan dengan pengrusakan sumber mata pencaharian. Namun, tidak jarang perusahaan tetap bersikukuh menolak tuntutan masyarakat. Disaat seperti itu masyarakat memiliki adat istiadat dan hukum adat Dayak sebagai dasar perdamaian dan perlindungan kehidupan masyarakat Dayak.
Kamis kemarin (16/8/2018), lima orang masyarakat Desa Tumbang Jalemu bersama Damang yang terlibat sengketa lahan dengan PT. Kalimantan Hamparan Sawit (KHS) dipertemukan di Betang Hapakat. Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah sebagai fasilitator mengundang PT. KHS dalam pertemuan klarifikasi atas permohonan dari Kedamangan Desa Tumbang Jalemu.
Pertemuan klarifikasi tersebut terkait sengketa penggusuran tanam tumbuh diatas tanah adat saudara Lanci Jinu di Desa Tumbang Jalemu, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas. Pertemuan yang sebenarnya dijadwalkan tiga hari sebelumnya (13/8/2018), baru dapat dilaksanakan siang itu pukul 13.00 WIB. Pertemuan diundur tanpa alasan yang jelas dari pihak PT. KHS.
Siang itu dari pihak DAD Provinsi Kalimantan Tengah membuka pertemuan dengan membacakan kronologi sengketa. Kronologi tersebut merupakan dokumen yang diserahkan oleh masyarakat selain dokumen-dokumen pendukung lainnya.
Pada awal tahun 2018, PT. KHS melakukan pengrusakan ladang masyarakat akibat aktifitas alat berat. Masyarakat melaporkan perihal pengrusakan tersebut kepada Damang Kepala Adat Wilayah Kedamangan Manuhing. Laporan tersebut sebagai terusan dari laporan kepada Mantir Adat Desa Tumbang Jalemu.
Atas pelaporan tersebut dilakukan pemeriksaan lapangan yang dihadiri oleh pihak masyarakat, saksi, pemilik tanah adat, Kedamangan Manuhing, PT. KHS, dan anggota Kapolsek Manuhing. Melalui hasil pemeriksaan lapangan ditemukan bukti-bukti fisik yang menunjukkan bahwa lahan yang digarap oleh PT. KHS merupakan tanah bekas ladang.
Di atas tanah tersebut terdapat tanaman pohon karet dan buah-buahan. Hampir tidak kelihatan adanya kayu hutan. Dari hasil pengrusakan yang dilakukan oleh PT. KHS berjumlah 173 pohon karet, 7 pohon cempedak, 11 pohon banturung, dan 8 pohon embak. Hasil pemeriksaan lapangan yang diperoleh semakin menguatkan dugaan masyarakat atas pengrusakan yang dilakukan oleh PT. KHS.
Disamping pengrusakan, juga diketahui perusahaan tidak memiliki hak untuk menggarap lahan tersebut. Karena tanah yang dibebaskan bagi PT. KHS merupakan tanah garapan bukan bekas ladang yang lokasinya berbeda dengan ladang masyarakat yang ditanami pohon karet dan buah-buahan.
Sebenarnya kejadian semacam ini bukan pertama kalinya menimpa masyarakat Desa Tumbang Jalemu. Sebelumnya masyarakat juga pernah bersengketa dengan PT. KHS pada tahun 2012.
Sengketa tersebut juga akibat pengrusakan ladang masyarakat dari aktifitas perusahaan. Meskipun pada saat itu PT. KHS bersedia menerima tuntutan masyarakat atas kerusakan yang tertuang dalam kesepakatan bersama.
Kemudian PT. KHS kembali melakukan pengrusakan pada tahun 2017. Dan untuk kedua kalinya diselesaikan dalam sebuah kesepakatan bersama yang lain.
Di dalam setiap kesepakatan sebenarnya terdapat poin yang menyatakan bahwa pihak perusahaan tidak akan mengulang kembali perbuatannya. Namun, nyatanya perusahaan tidak berhenti berulah. Malahan belum selesai sengketa yang sedang berjalan, perusahaan diketahui telah membuka lahan di lokasi lain di Desa Tumbang Jalemu.
Jika sebelumnya sengketa bisa diselesaikan di tingkat Kedamangan, kali ini harus sampai pada tingkatan DAD Provinsi. Hal ini disebabkan oleh penolakan perusahaan atas keputusan Damang Kepala Adat Wilayah Kedamangan Manuhing.
Telah dikeluarkan surat keputusan Damang Kepala Adat Wilayah Kedamangan Manuhing pada tanggal 4 Juli 2018 sebagai hasil dari bukti-bukti yang telah dikumpulkan. Menanggapi surat keputusan tersebut, PT. KHS menyatakan menolak hasil putusan dan berencana menggugat masyarakat melalui jalur pengadilan.
Penolakan atas keputusan Damang Kepala Adat oleh perusahaan mendorong masyarakat untuk meneruskan persoalan ke DAD Provinsi Kalimantan Tengah untuk menguatkan Kedamangan yang merupakan peranan dari DAD. Namun, usai pembacaan kronologi oleh DAD Provinsi Kalimantan Tengah, pihak PT. KHS tetap bersikeras menolak surat keputusan dan semua bukti yang diserahkan oleh masyarakat Desa Tumbang Jalemu.
KHS dengan rombongan yang cukup banyak siang itu beralasan bahwa mereka telah membeli bidang tanah dan berhak melakukan aktifitas di atasnya. Pihak perusahaan juga menyerahkan dokumen bukti-bukti pembelian tanah pada tahun 2013 kepada DAD.
Menurut keterangan Harnudi (46), perwakilan masyarakat yang hadir saat itu, dokumen tersebut terlihat lebih rapi dari dokumen yang pernah diserahkan pihak perusahaan kepada mereka. Jika sebelumnya banyak kolom kosong dalam dokumen tersebut, saat itu dokumen sudah terisi secara lengkap.
Yang cukup mengecewakan bagi Harnudi siang itu adalah respon dari pihak DAD yang dia rasa tidak berpihak pada masyarakat, dan cenderung memihak pihak perusahaan. Hal ini disebabkan pihak DAD justru terkesan menyalahkan masyarakat yang tetap menggarap di atas tanah yang sudah dibebaskan bagi PT. KHS.
Padahal masyarakat telah menyerahkan bukti-bukti yang menjelaskan bahwa tanah yang dibebaskan bagi perusahaan terletak di lokasi yang berbeda dengan tanah masyarakat. Dan tanah tersebut adalah tanah adat yang telah digarap selama 12 tahun berturut-turut sejak tahun 2002.
Perasaan kecewa Harnudi, juga dirasakan oleh Damang Kepala Adat Wilayah Kedamangan Manuhing yang merasa bahwa keputusannya tidak dihormati. Apalagi setelah DAD Provinsi Kalimantan Tengah dalam pertemuan tersebut atas permintaan dari pihak perusahaan memutuskan bahwa akan dilakukan verifikasi kembali di lokasi sengketa.
Verifikasi dijadwalkan akan dilakukan pada Hari Senin, tanggal 20 Agustus 2018. DAD Provinsi Kalimantan Tengah akan melakukan verifikasi kembali bersama dengan pihak masyarakat yang bersengketa, Kedamangan, PT. KHS, dan pihak yang telah menjual tanah kepada perusahaan.
Disamping hasil keputusan pertemuan siang itu, Harnudi tetap berpegang pada keputusan Damang Kepala Adat. Ia berharap verifikasi yang akan dilakukan menguatkan hal itu, dan bukannya malah merugikan masyarakat.
Di tengah-tengah sukacita peringatan hari kemerdekaan ini, semoga semua rakyat di tanah Indonesia mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Bukan hanya bagi mereka yang bermodal milyaran, tapi juga perempuan, anak-anak, kalangan difable, petani, nelayan, buruh, masyarakat miskin, dan masyarakat adat.
Kemerdekaan yang tanpa pengecualian. (akp)