Dalam menjalankan kerja-kerjanya, WALHI Kalimantan Tengah selalu berupaya untuk dapat membangun dan menjalin hubungan dengan berbagai macam pihak. Pada minggu pertama bulan November ini , WALHI Kalimantan Tengah terlibat dalam Replikasi Pelatihan CAPABLE tentang kajian kebutuhan dalam tanggap darurat yang dilaksanakan oleh Caritas Palangka Raya dan KARINA (Caritas Indonesia) di Kabupaten Barito Timur.
Kegiatan replikasi ini sebenarnya merupakan bagian dari program CAPABLE. Program ini adalah kolaborasi KARINA bersama CRS (Catholic Relief Services) Indonesia. KARINA adalah yayasan kemanusiaan milik Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang menjalankan misi kemanusian khususnya terkait kebencanaan. Dalam pelaksanaannya Caritas Palangka Raya melalui JPIC (Justice, Peace, and Integrity of Creation) Kalimantan sejak sekitar tahun 2017 telah menyelenggarakan beberapa pelatihan tanggap bencana, terutama di Kota Palangka Raya.
Pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan tersebut berbasiskan standar Sphere dengan berpedoman pada buku Sphere. Apa itu Sphere? Sphere adalah standar minimum respon bencana yang didasarkan atas prinsip dan ketentuan hukum humaniter internasional, hukum internasional hak asasi manusia, hukum pengungsian dan kode perilaku untuk gerakan palang merah dan bulan sabit merah, serta organisasi non-pemerintah (NGO) dalam respon bencana yang tercantum dalam piagam kemanusiaan. Ternyata standar minimum ini telah diluncurkan sejak tahun 1997 oleh NGO yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, palang merah, dan bulan sabit merah internasional sebagai ukuran umum yang berlaku internasional dalam respon bencana sampai pada kebutuhan dan hak-hak dasar korban bencana (The Sphere Project, 2004).

Sebenarnya dalam standar Sphere terdapat tiga tingkat/fase kajian bencana, yaitu kajian cepat, kajian kebutuhan, dan kajian mendalam. Adapun replikasi pelatihan yang diselenggarakan di Biara Sacra Familia, Desa Urup, Ampah, Barito Timur kali ini mengambil fokus hanya pada kajian kebutuhan saja. Kajian kebutuhan sendiri merupakan suatu proses menentukan dampak bencana di masyarakat dengan mengidentifikasi kebutuhan dan prioritas untuk menyelamatkan kehidupan serta mengembalikan martabat dengan terhormat (CRS, 2017). Kajian kebutuhan sebagai fase kedua dari kajian tanggap bencana idealnya dapat dilakukan pada minggu pertama sampai kedua setelah terjadinya sebuah bencana.
Replikasi pelatihan yang berlangsung selama tiga hari sejak tanggal 7 – 9 November 2018 ini dibagi ke dalam tujuh sesi. Pada hari pertama terdapat dua sesi yang dimulai setelah peserta mengikuti pre-test, yaitu pengenalan kajian dan perencanaan kajian. Kemudian pada hari kedua pelatihan dilanjutkan dengan sesi analisa stakeholder, metode kajian, alat kajian, dan pengambilan data. Sedangkan pada hari terakhir khusus membahas dan berlatih bersama mengenai analisa data kajian. Sesi-sesi tadi difasilitasi oleh lima orang narasumber, yaitu Aryo Saptoaji dari KARINA, Ramiasi Novita dan Xandro Arisdewa dari JPIC, serta Ayu Kusuma dari WALHI Kalimantan Tengah.
Peserta pelatihan berjumlah cukup banyak, yaitu 19 orang. Kesembilan belas orang itu terdiri dari lima orang perempuan, dan empat belas orang laki-laki. Mereka adalah orang-orang yang telah dipilih

sebagai jemaat aktif dari beberapa paroki gereja katolik di Kabupaten Barito Timur,. Misalnya saja dari Desa Didi, desa Janah Jari, Desa Tangkan, Desa Watas, Kelurahan Buntok dan juga Kelurahan Puruk Cahu. Yang agak spesial dari pelatihan dengan peserta dari paroki sperti ini dapat dilihat pada saat sebelum sesi pertama dimulai. Para peserta akan mengawali hari dengan melaksanakan misa pagi bersama Pastor Paroki di Biara Sacra Familia. Tentu saja setiap harinya kegiatan juga selalu ditutup dengan doa yang dipimpin oleh peserta.

Tidak hanya sampai disitu, pada hari terakhir setelah semua sesi selesai peserta mengikuti post-test dengan soal yang sama seperti pada saat pre-test. Post-test ini gunanya agar fasilitator dan peserta bisa melihat seberapa jauh pemahaman masing-masing peserta setelah mengikuti rangkaian pelatihan jika dibandingkan sebelumnya. Peserta kemudian membentuk tim tanggap bencana untuk nantinya bisa bekerjasama dan saling koordinasi dalam menanggapi bencana yang terjadi di wilayah mereka. Stuktur tim telah disusun secara musyawarah dengan mempertimbangkan aspek keterwakilan dari seluruh wilayah. Dan sesuai kesepakatan bersama tim diberi nama Tim Sasameh Ngarawah berasal dari bahasa Dayak Maanyan yang berarti saling membantu. Dengan harapan nantinya tim ini dapat membantu umat secara khusus, dan masyarakat di wilayahnya secara umum sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan. (akp)