Melepaskan Cengkeraman Investasi di Hutan Rimba Laman Kinipan

Telah terdapat begitu banyak hutan dan lingkungan yang rusak akibat pembukaan lahan untuk industry ekstraktif, seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Namun, kondisi ini tidak lantas menghentikan perluasan kawasan untuk investasi semacam perkebunan kelapa sawit di Indonesia, khusunya Provinsi Kalimantan Tengah. Lihat saja sekitar bulan Februari 2018 sebuah perkebunan kelapa sawit, PT Sawit Mandiri Lestari SML), melakukan penebangan hutan rimba adat Laman Kinipan seluas 1.242 hektar di Kecamatan Batang Kwa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit.
Di Desa Laman Kinipan telah secara turun temurun tinggal masayarakat adat Laman Kinipan. Masyarakat yang terdiri dari 239 keluarga atau sekitar 938 jiwa ini menggantungkan hidup dari hutan. Dari luasan wilayah mencapai 16.169,942 hektar, 30% nya menjadi lahan garapan dan pemukiman masyarakat di bagian hilir, sedangkan 70% sisanya di bagian hulu adalah hutan rimba. Dengan luasan yang begitu besar dan posisi di hulu, hutan rimba memiliki peran sangat penting bagi masyarakat adat Laman Kinipan. Hutan rimba menjadi sumber pangan, air, obat-obatan, papan, dan juga penyeimbang alam.
Pentingnya fungsi hutan rimba bagi kehidupan masyarakat ini membuat masyarakat selalu senantiasa menjaga dan melindungi keberadaannya. Sehingga saat mengetahui PT SML bermaksud untuk mengubah hutan rimba tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit, masyarakat menolak. Sejak tahun 2012 PT SML mulai berulang kali datang ke Desa Laman Kinipan  Kedatangan perusahaan bertujuan untuk melakukan negosiasi terkait penggusuran wilayah rimba adat Laman Kinipan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Niatan PT SML terhadap hutan rimba adat mereka membuat masyarakat khawatir. Masyarakat menyadari dampak-dampak buruk dari masuknya perusahaan terhadap kelangsungan hutan rimba dan wilayah adat mereka. Terlebih kawasan hutan rimba yang berada di hulu sudah pasti akan berdampak pada wilayah pemukiman masyarakat di hilir. Sehingga, sebesar apapun kompensasi yang diberikan oleh perusahaan tetap tidak akan sebanding dengan kehilangan hutan rimba sebagai sumber kehidupan. Masyarakat berburu, mencari ikan dan kayu bakar serta bertani. Bahkan untuk tanaman obat, rotan, pohon madu, karet, durian, dan jengkol tumbuh dengan sendirinya. Tidak terkecuali pohon-pohon berbatang besar seperti kayu ulin, jelutung, meranti, kapang, dan sebagainya.
Selain itu, masyarakat juga menyadari bahwa investasi perkebunan kelapa sawit beresiko menimbulkan konflik di masyarakat. Bahkan pola kerja plasma yang seringkali ditawarkan perusahaan sama sekali tidak menguntungkan dan justru memberikan beban hutang. Maka dari itu sejak awal masyarakat secara tegas menolak kehadiran perusahaan. Masyarakat juga telah melakukan penolakan secara tertulis.
Menyadari ancaman investasi di wilayah adatnya, disamping menolak PT SML masyarakat Laman Kinipan juga kemudian melakukan pemetaan wilayah. Pemetaan wilayah adat Laman Kinipan telah secara resmi dirilis pada April 2016 dan dihadiri oleh Asisten III Kabupaten Lamandau, anggota DPRD Lamandau, pengurus wilayah AMAN Kalteng, pengurus wilayah BPAN Kalteng, serta dewan wilayah AMAN Kalteng. Pada awal tahun 2018, masyarakat juga mengajukan pencadangan hutan adat kepada KLHK dalam rapat koordinasi nasional hutan.
Seolah mematahkan segala upaya perlindungan yang telah dilakukan oleh masyarakat, pada Februari 2018 PT SML datang membawa alat-alat berat. Dengan mengantongi ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan atas hutan rimba yang sudah berstatus APL (Alokasi Penggunaan Lain), perusahaan melakukan penebangan hutan besar-besaran. Tidak terkecuali pohon-pohon berbatang besar juga dihancurkan. Wilayah tersebut kemudian langsung ditanami dengan kelapa sawit.
Demi menghindari terjadinya kriminalisasi, masyarakat melakukan perlawanan dengan cara bersurat. Sejauh ini masyarakat Laman Kinipan telah bersurat sebanyak tiga kali. Surat yang pertama berisi penolakan dan permintaan penghentian aktivitas perusahaan di wilayah adat. Tidak mendapat respon dari surat tersebut, masyarakat kembali mengirimkan surat berupa undangan mediasi. Karena tidak kunjung mendapatkan respon dari perusahaan, masyarakat mengirimkan surat ketiga yang berisi tuntutan adat. Tuntutan adat yang diberikan kepada PT SML adalah denda adat senilai 5 milyar rupiah karena telah merampas tanah dan menghancurkan pohon-pohon masyarakat.
Disamping bersurat ke perusahaan, masyarakat juga melakukan upaya pengaduan kepada pemerintah. Tidak mendapatkan tanggapan atas laporan ke pemerintah daerah, maka masyarakat memutuskan untuk melapor ke level pemerintah pusat. Pada awal Juni 2018, Sembilan perwakilan masyarakat Laman Kinipan berangkat ke Jakarta untuk mengadu kepada berbagai kementrian dan lembaga negara, seperti KSP (Kantor Staf Kepresidenan), KLHK, dan Komnas HAM. Menerima laporan dari masyarakat, pemerintah berjanji untuk menindaklanjuti.
Dalam pengaduannya masyarakat memuat permintaan agar perusahaan keluar dari wilayah adat mereka dan mengembalikan lahan baik yang belum atau sudah ditanam sawit kepada masyarakat. Karena sejak awal kehadiran perusahaan juga bukan atas keinginan dari masyarakat. Bahkan masyarakat telah beberapa kali melakukan penolakan secara resmi kepada perusahaan. Atas wilayah yang telah lama mereka lindungi dan hutan rimba yang selama ini telah memberikan mereka kehidupan, berbagai upaya telah dilakukan masyarakat adat Laman Kinipan untuk memastikan keberlangsungan tanah mereka untuk generasi yang akan datang.
WALHI Kalimantan Tengah dengan solidaritas bersama masyarakat adat Laman Kinipan mendesak pemerintah untuk mencabut ijin PT SML atas wilayah adat Laman Kinipan, Kecamatan Batang Kwa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah!  Serta memberikan pengakuan berupa legalitas kepada masyarakat adat Laman Kinipan atas wilayah kelolanya!
Ayo bergabung dalam seruan ini di setiap postingan akun media sosial kamu dengan  menggunakan tagar:
#SaveHutanRimbaAdatLamanKinipan
#HentikanAktivitasPerkebunanPTSMLdiHutanRimbaLamanKinipan
#CabutIjinPTSMLdiHutanRimbaLamanKinipan
Jangan lupa tag akun WALHI Kalimantan Tengah:
Facebook Page: WALHI Kalimantan Tengah
Twitter: @walhi_kalteng
Instagram: @walhikalteng
(akp)
*Bahan tulisan: mongabay.co.id

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *