Cerita dari Balik Jendela Danau Sembuluh

Tidak pernah terbesit sedikitpun jika pada satu titik dalam hidupnya ia akan begitu menginginkan kehidupan yang setara dengan orang utan, spesies kera yang berkerabat dekat dengan manusia pada tingkat kingdom animalia. Ia bahkan tidak ingin berharap terlalu muluk akan diperlakukan sebagai manusia seutuhnya yang memiliki martabat. Seperti masyarakat lain di berbagai pelosok dunia yang sumber kehidupannya hilang dirampas, Mang Wardian seakan telah terampas harga dirinya!

Pagi itu di Desa Sembuluh I, Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Provinsi Kalimantan Tengah, seperti kebiasannya setiap hari Mang Wardian (46), tokoh masyarakat Danau Sembuluh, duduk di meja makan yang terletak di bagian belakang rumahnya. Sambil menyeruput kopi hitam yang telah disiapkan istrinya, ia menatap keluar jendela, ke arah danau Sembuluh yang tepat berada di belakang rumahnya. Tatapannya begitu sendu, seolah hangatnya kopi di cangkir tidak mampu turut menghangatkan hatinya. Sudah lebih dari sepuluh tahun belakangan tatapannya tidak lagi sehangat dulu saat melihat kilauan indah danau yang beriak halus itu.

Tepat sebelum jam dinding tua rumahnya menunjukkan pukul 08.00 WIB, Mang Wardian menghabiskan kopi di cangkirnya. Setelah memakai topi kesukaannya, ia pamit keluar rumah. Dalam dadanya ada semangat yang bisa lebih menghangatkan daripada kopi hitam pagi ini. Hari Minggu, tanggal 13 Januari 2018 ini bukan hari libur biasa. Ia dan masyarakat sekitar Danau Sembuluh akan menggelar aksi damai ke perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Danau Sembuluh adalah salah satu kecamatan Kabupaten Seruyan setelah pemekaran. Kecamatan ini terdiri dari beberapa desa dan dukuh, seperti Desa Sembuluh I dan Desa Sembuluh II. Perusahaan perkebunan skala besar kelapa sawit masuk ke wilayah Danau Sembuluh untuk pertama kalinya pada tahun 1996. Masuknya perusahaan tersebut, yakni PT Agro Indomas, yang menguasai sekitar 12.000 hektar area kemudian diikuti oleh perusahaan-perusahaan lainnya. Sampai saat ini telah terdapat 12 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mengelilingi danau Sembuluh. Salah satunya PT Salonok Ladang Mas yang menjadi tujuan aksi damai masyarakat.

Kehadiran perusahaan-perusahaan kelapa sawit di wilayah Danau Sembuluh bukannya mensejahterakan masyarakat seperti tujuan usaha perkebunan yang tercantum dalam UU Nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan. Dalam pasal 3 UU tersebut menyebutkan bahwa penyelenggaraan perkebunan utamanya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Namun, bukannya memberikan kesejahteraan, hadirnya perkebunan kelapa sawit ke Danau Sembuluh justru menyengsarakan masyarakat lokal.

Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang masuk ke wilayah Danau Sembuluh bukan hanya menggarap area lahan yang telah diserahkan oleh masyarakat melalui proses jual beli, banyak juga lahan masyarakat yang diserobot. Atas lahan yang diperjual belikan juga tidak lepas dari masalah, bahkan masih ada lahan masyarakat yang belum diganti rugi. Dalam proses penyerahan lahan oleh masyarakat juga seringkali karena ada ‘paksaan’, misalnya lahan sudah digarap tanpa sepengetahuan dari pemilik.

Ketidak adilan yang dialami oleh masyarakat Danau Sembuluh tidak berhenti sampai disitu. Kehilangan hak atas pengelolaan tanah dan pemanfaatan hutan bagi masyarakat Danau Sembuluh yang telah lama hidup dengan mengusahakan hasil hutan, berkebun, mencari ikan, dan membuat badan kapal ini menimbulkan rentetan permasalahan lainnya.

Berkurangnya tutupan hutan di Danau Sembuluh ternyata berdampak lebih buruk dari yang mungkin kita duga. Hutan di wilayah mereka menghasilkan berbagai hasil hutan kayu, seperti kayu ulin yang langka, dan hasil hutan non kayu, seperti damar, rotan, dan jelutung. Terdapat berbagai macam tanaman obat tradisional, seperti pasak bumi, akar kuning, dan penawar sampai. Belum lagi terdapat setidaknya 31 jenis burung, seperti elang, gagak, dan burung hantu, juga terdapat 23 jenis fauna yang tinggal di hutan, misalnya orang utan, owa-owa, menjangan, dan macan hutan. Sehingga, bukan hanya masyarakat setempat kehilangan akses untuk memanfaatkan hasil hutan, tapi juga keragaman flora fauna yang dulu tersimpan di dalamnya.

Tentu saja kehilangan hak pengelolaan atas tanah berdampak sangat buruk pada masyarakat Danau Sembuluh. Janji perusahaan untuk menyediakan lapangan pekerjaan juga tidak banyak membantu. Hanya segelintir orang yang memenuhi ‘standar’ dapat dipekerjakan sebagai buruh kasar dengan upah yang tidak seberapa. Sedangkan sistem plasma atau bagi hasil juga tidak berjalan dengan semestinya. Penyerahan bagi hasil tidak merata dan hanya sekitar Rp 30.000 sampai Rp 100.000 saja per bulannya. Tentu saja minimnya upah buruh kasar dan jumlah ganti rugi yang diterima masyarakat sulit memenuhi beban kebutuhan rumah tangga yang harus dikeluarkan setelah tidak ada lagi sumber pangan dan air gratis dari hutan.

Jika dilihat dari peta area danau Sembuluh, setidaknya terdapat tujuh perusahaan dan 3 pabrik perkebunan kelapa sawit yang secara langsung berhubungan dengan danau tersebut. Meskipun telah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2011 pasal 23 tentang ketentuan radius jarak pembangunan perkebunan, tapi pembangunan perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Danau Sembuluh justru tidak sesuai dengan ketentuan.

Mang Wardian sedang berdiri di atas jalan perusahaan yang memotong danau Sembuluh sambil menunjuk ke arah kebun sawit perusahaan yang berada tepat di tepi danau

Perda ini mencakup larangan melakukan kegiatan pembangunan perkebunan dalam radius kurang dari 500 meter dari tepi waduk atau danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa, 100 meter dari kini kanan tepi sungai, dan 50 meter dari tepi anak sungai. Serta larangan melakukan kegiatan pembangunan kebun dalam jarak kurang dari 500 meter dari jalan nasional, 250 dari jalan provinsi, dan 100 meter dari jalan kabupaten. Padahal pembangunan perkebunan kelapa sawit di wilayah ini tepat berada ditepi jalan negara, dan lebih buruk lagi di tepi danau. Masyarakat setempat bahkan mengatakan bahwa perusahaan telah menanam sawit sampai ke area danau. Seakan hal ini tidak dapat bertambah buruk lagi, perusahaan lebih jauh melakukan penimbunan untuk membuat jalan perusahaan yang memotong area danau.

Dugaan pelanggaran perusahaan-perusahaan di sekitar danau Sembuluh juga berlanjut sampai ke pencemaran. Disamping adanya kewajiban dari pelaku usaha perkebunan untuk mencegah kerusakan di lingkungan sekitar kegiatan operasionalnya sesuai dengan tata cara yang diatur dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, danau Sembuluh justru terlihat mengalami penurunan kualitas. Air danau telah berubah dari warna, bau, dan rasanya.

Masyarakat sekitar dengan cepat dapat menyadari bahwa air danau telah tercemar dan rusak karena air danau Sembuluh merupakan sumber air utama bagi mereka. Bukan hanya sebagai air cuci, masyarakat juga menggunakan air danau sebagai air minum. Masyarakat yang takut, kini sudah tidak lagi mau menggunakan air dari danau Sembuluh secara langsung. Ada yang memilih untuk mengumpulkan air dari tadahan hujan, dan ada juga yang menyaring air danau sebelum digunakan. Namun untuk air minum sekarang mereka terpaksa harus membeli air mineral kemasan.

Di titik-titik muara sungai yang mengalir ke Danau Sembuluh, perubahan kualitas air danau akibat pencemaran terlihat jauh lebih jelas. Selain bau air yang menyengat dan busuk, banyak juga ikan-ikan yang mengapung karena mati keracunan. Hal ini tentu saja menurunkan hasil tangkapan masyarakat yang bekerja sehari-hari mencari ikan di danau.

Pencemaran danau juga diindikasikan dari tumbuh suburnya tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) yang menutupi permukaan danau. Eceng gondok akan tumbuh subur apabila terjadi proses eutrofikasi (proses di mana suatu tumbuhan tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan pertumbuhan yang normal) di perairan tersebut, terjadi penurunan kandungan oksigen terlarut, terjadi peningkatan kandungan karbon dioksida, peningkatan proses sedimentasi perairan, dan adanya proses pendangkalan di perairan. Sehingga tumbuh suburnya tanaman ini merupakan tanda alam terjadinya pencemaran akibat adanya  polutan yang berlebihan ke dalam ekosistem air.

Begitu peliknya kondisi yang dialami oleh masyarakat Danau Sembuluh akibat hadirnya perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka yang menjanjikan kesejahteraan, tapi justru membawa kesengsaraan. Hadirnya perusahaan-perusahaan itu telah merenggut segalanya.

Mang Wardian yang menyuarakan isi hati masyarakat di desanya mengatakan masyarakat sudah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan hak mereka kembali. Mereka bahkan pernah melaporkan sampai kepada pemerintah provinsi dengan tembusan ke presiden, namun seakan tidak ada yang peduli. Karena frustasi dengan tidak adanya tanggapan apalagi dukungan dari pemerintah, beberapa masyarakat pernah melakukan perlawanan dengan memanen buah kelapa sawit milik perusahaan. Dan sebagai akibatnya mereka justru mendekam di penjara. Makanya saat ditanya apa harapannya kepada pemerintah, Mang Wardian mengatakan,  “kami sekarang tidak meminta yang muluk-muluk. Cukup perlakukan kami sama seperti orang utan.” Sambil tertawa ia melanjutkan, “orang utan meskipun tidak meminta, disediakan tempat tinggal, makanan, bahkan diberi pendidikan dan dijaga kesehatannya. Kami sebagai manusia, tanah kami diambil, air kami dicemari, kami melawan malah ditangkap. ”

Seperti halnya Mang Wardian, masyarakat lainnya meluapkan segala kesedihan, amarah, dan kekecewaan atas kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit yang tidak mensejahterakan itu dalam aksi damai masyarakat di awal tahun 2019 ini. Dengan semangat yang menguap-nguap dalam dada, masyarakat Danau Sembuluh memperjuangkan keadilan di alam Sembuluh. Mungkin tanpa mereka sadari, mereka bukan hanya berbuat demi anak cucu di masa depan, tapi juga nasib seluruh masyarakat dunia dari perubahan iklim dunia akibat kehancuran ekologi. (akp)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *