Nakal! Lagi-Lagi PT SLM Membuka Lahan Tanpa Persetujuan Masyarakat

Ditengah-tengah upaya mereka untuk mencari keadilan atas pencemaran dan pengrusakan lingkungan oleh perusahaan, masyarakat Desa Sembuluh kembali harus berhadapan dengan ancaman baru. PT Salonok Ladang Mas (SLM), salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berada di dekat wilayah tersebut, melakukan pembukaan lahan baru dan pengambilan tanah latrit di atas lahan sengketa. Bukannya bertanggung jawab atas perilaku buruknya kepada masyarakat, perusahaan justru menambah daftar ‘kenakalannya’.

Hari Kamis kemarin (28/03/2019), PT SLM kembali meresahkan masyarakat Desa Sembuluh yang terletak di Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Perusahaan yang belakangan diprotes masyarakat karena menggarap lahan tanpa ijin dan diduga menimbulkan pemcemaran lingkungan ini kembali melakukan pembukaan lahan baru. Selain itu, perusahaan juga diketahui mengambil tanah latrit di lahan yang hingga saat ini masih menjadi lahan sengketa antara perusahaan dengan masyarakat setempat.

Baca Cerita dari Balik Jendela Danau Sembuluh

Pembukaan lahan baru dan pengambilan tanah ini dilakukan oleh PT SML di wilayah hutan Batu Gadur tanpa adanya persetujuan dari masyarakat setempat. Menurut Dimas N. Hartono, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah, hingga saat ini lokasi tersebut masih bersengketa meskipun pihak perusahaan mengkalim bahwa lokasi tersebut sudah masuk dalam ijin Hak Guna Usaha (HGU) -nya. Sehingga apa yang dilakukan oleh perusahaan ini merupakan sebuah bentuk pengabaian hak-hak rakyat yang berupaya menjaga dan mengelola hutan Batu Gadur.

Dimas juga menambahkan bahwa terdapat informasi mengenai adanya keterlibatan oknum kepolisian dalam pembukaan lahan baru dan pengambilan tanah latrit di lokasi tersebut, “Kami mendapatkan informasi bahwa pemilik alat berat yang digunakan untuk mengambil tanah latrit tersebut adalah milik oknum polisi. Hanya saja memang informasi tersebut harus dicari tau kebenarannya. Jangan sampai hal ini digunakan untuk mengalihkan isu agar warga setempat tidak berani berbuat apa-apa ketika hutan Batu Gadur dibuka”.

Menurutnya, apabila memang terbukti adanya keterlibatan oknum polisi dalam pembukaan lahan maupun pengambilan tanah latrit di lokasi tersbut, tentu akan bertentangan dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wardian, masyarakat Desa Sembuluh, mengatakan, “kami menyayangkan kenapa pihak perusahaan tetap membuka lahan dan mengambil tanah latrit di lokasi yang saat ini masih bersengketa. Padahal mereka tau bahwa hingga saat ini lokasi tersebut sudah kami kelola dan tidak ingin kami perjual belikan.”

Saat ditanya terkait informasi yang beredar mengenai oknum kepolisian sebagai pemilik alat berat yang digunakan dalam pengambilan tanah latrit di lokasi tersebut, Wardian mengungkapkan, “saya mendengar informasi tersebut. Meski saya tidak tau itu milik siapa, saya menyayangkan apabila itu benar. Karena seharusnya oknum tersebut tau bahwa lokasi itu sedang bersengketa. Bukannya justru ikut terlibat untuk membuka lahan maupun mengambil tanah untuk latrit”.

Wardian menambahkan untuk mengkonfirmasi terlebih dahulu kebenaran informasi ini ke pihak perusahaan maupun pihak kepolisian Seruyan. “Apapun informasi yang berkembang, kami tetap memperjuangkan hak kami di hutan Batu Gadur. Karena itu satu-satunya wilayah yang hingga saat ini masih berhutan dan kami jaga terus”, ujarnya. (akp)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *