20 Mei 2019, Seoul, Korea Selatan
KFEM (Korea Federation for Environmental Movements) dan APIL (Advocates for Public Interest Law) mengutuk praktek-praktek pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dan perusakan lingkungan yang marak dilakukan dalam industri minyak kelapa sawit di Indonesia dan menekankan pentingnya pertanggung jawaban dari Pemerintah dan perusahaan Korea Selatan.
Pada tanggal 20 Mei 2019, KFEM dan APIL merilis “Does Spring Come to Stolen Forests (Apakah Musim Semi Akan Tiba di Hutan yang Dicuri?)”, sebuah laporan komprehensif mengenai kondisi terkini industri minyak kelapa sawit di Indonesia, pelanggaran HAM yang terjadi di dalamnya dan keterlibatan dari perusahaan-perusahaan asal Korea Selatan.
Minyak kelapa sawit adalah minyak nabati yang bisa dikonsumsi dan mampu menghasilkan jumlah minyak terbanyak per unit luas tanah. Minyak ini banyak digunakan dalam produk sampo dan kosmetik, serta dalam makanan olahan, seperti mi instan dan makanan ringan. Penggunaan minyak kelapa sawit dalam produksi bahan bakar biodiesel juga menyebabkan permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit meningkat tajam. Korea sendiri telah melipatgandakan impor minyak kelapa sawit selama sepuluh tahun terakhir, menjadi 606.947 ton pada tahun 2018, dengan Malaysia dan Indonesia sebagai produsen utama.
Peningkatan permintaan atas minyak kelapa sawit telah mengakibatkan lonjakan perluasan perkebunan kelapa sawit. Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar minyak kelapa sawit saat ini menjadi saksi dari meningkatnya keprihatinan publik terhadap perusakan lingkungan skala besar dan pelanggaran HAM yang sedang berlangsung sebagai dampak dari perkebunan kelapa sawit.
Kurniawan Sabar, Direktur INDIES (Institute for National and Democracy Studies) di Indonesia, saat berkunjung ke Korea dalam peluncuran laporan ini menegaskan, “Wilayah dimana terdapat perkebunan kelapa sawit saat ini tidak hanya menghadapi masalah lingkungan, seperti perusakan hutan dan pembakaran, tapi juga sengketa tanah, kekurangan air bersih, pencemaran dan masalah serius lainnya yang mengancam hak hidup masyarakat setempat. Buruh perkebunan kelapa sawit juga terpapar kondisi kerja yang berbahaya, seperti penggunaan herbisida beracun, Gramoxone, yang telah dilarang penggunaannya di beberapa negara lain. Buruh perkebunan dieksploitasi dengan jam kerja yang panjang dan upah rendah, serta seringkali anak-anak juga diajak untuk membantu.”
Samsung C&T, LG International, POSCO DAEWOO, dan Daesang Group, dengan divisi makanan Chungjungone, merupakan beberapa perusahaan Korea yang saat ini sedang menjalankan bisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Telah terjadi berbagai masalah seperti perusakan lingkungan, sengketa lahan dengan masyarakat setempat, dan pelanggaran hak-hak buruh yang melibatkan perkebunan kelapa sawit dari perusahaan-perusahaan tersebut. Hye Lyn Kim, koordinator solidaritas internasional dari KFEM menyebutkan, “Selama bertahun-tahun perusahaan besar Indonesia KORINDO Group yang dimiliki oleh Korea dan perusahaan Korea POSCO DAEWOO telah mendapat kritik dari masyarakat internasional terkait deforestasi tropis, kebakaran hutan untuk pembukaan lahan, dan sengketa lahan dengan masyarakat. Hal ini telah menyebabkan perusahaan-perusahaan tersebut kehilangan banyak klien dan investor.”
Namun, Pemerintah Korea justru mengabaikan pengambilan tindakan atas kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM yang telah diakibatkan oleh aktifitas perkebunan kelapa sawit perusahaan-perusahaan Korea tersebut. Sebaliknya pemerintah menyediakan pinjaman kepada perusahaan yang membuka bisnis industri kelapa sawit di Indonesia dengan dalih mendukung peningkatan pertanian dan sumber daya hutan di luar negeri. Shin Young Chung dari APIL menyebutkan, “Sokongan pinjaman untuk perusahaan semacam itu bertentangan secara langsung dengan rekomendasi dari Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya PBB tahun 2017 yang merekomendasikan Pemerintah Korea untuk mempertimbangkan masalah seperti perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM ketika memberikan pinjaman atau bantuan publik.”
KFEM dan APIL mendesak perusahaan-perusahaan Korea yang bergerak dalam industri minyak kelapa sawit di Indonesia untuk: a) mengadopsi dan menerapkan kebijakan NDPE (No Deforestation, No Peat, No Exploitation/Menolak Deforestasi, Gambut, dan Eksploitasi); b) menunjukan legalitas bisnis mereka dengan membuka akses publik terhadap dokumen resmi perusahaan; dan c) mengembalikan lahan menjadi milik masyarakat dan melakukan pemulihan atas pelanggaran yang telah dilakukan terhadap hak komunitas lokal beserta buruh. KFEM dan APIL menuntut Pemerintah Korea untuk: a) memberikan edukasi kepada perusahaan Korea yang terlibat bisnis industri kelapa sawit di Indonesia untuk menyadari faktor-faktor resiko berkaitan dengan lingkungan, HAM, dan hak buruh untuk merancang langkah-langkah keselamatan; dan b) melakukan penilaian resiko bisnis terhadap perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM sebelum memberikan persetujuan atas pinjaman publik untuk mendukung peningkatan pertanian dan sumber daya hutan.
Terjemahan oleh (akp)
Temukan artikel aslinya di [Press Release] KFEM and APIL released a comprehensive palm oil report “Does Spring Come to Stolen Forests”
Laporan lengkapnya dapat di download di website KFEM atau APIL.
Baca postingan lainnya tentang Sembuluh:
Cerita dari Balik Jendela Danau Sembuluh
Bersatu dalam Aksi Damai Sembuluh Menolak Hancur
Nakal! Lagi-Lagi PT SLM Membuka Lahan Tanpa Persetujuan Masyarakat
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional 2019: Ancaman Berdiri di Atas Tanah Sendiri