Dia yang Sedang Sakit

Paru-paru hijau itu berada di ambang masa kritis, menyisakan serpihan dan debu abu-abu.

Palangka Raya, 3 Juni 2019. Penghancuran hutan Kalimantan Tengah tidak pernah berhenti dan dihentikan.  Paru-paru dunia ini sedang terserang penyakit perluasan lahan akut. Para pemangku kebijakan yang terkesan tutup mata dan penegakan hukum yang jauh dari ruang keadilan dan keberadaan komunitas serta lingkungan hidup justru semakin memperparah keadaan.  Tidak ada kemerdekaan bagi masyarakat dalam mengelola wilayahnya yang ditindihi izin-izin perusahaan industri ekstraktif. Seakan sudah tidak ada lagi jaminan hak komunitas atas tanah dan lingkungan yang sehat, apalagi keadilan.

Kebijakan dan pelaksanaan yang dilakukan para pemangku kepentingan dalam industri ekstraktif, seperti perkebunan kelapa sawit, di Kalimantan Tengah kontras dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di zaman milenial saat ini. Pendekatan yang dilakukan masih mengutamakan praktek-praktek penguasaan lahan tanpa kompromi (monopoli), tidak berbeda dari zaman penjajahan sebelum negeri ini merdeka.

Dukungan terhadap industri penghancur ini justru semakin jelas terlihat dengan diterbitkannya izin-izin yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat dan lingkungan oleh pemerintah.  Maraknya konflik lahan yang ditimbulkan tidak ditanggapi dengan serius oleh pemerintah. Tidak jauh berbeda dari konflik hutan dan lahan masyarakat Kinipan di Lamandau, konflik lahan di Bukit Batu Gadur menjadi salah satu dari sederet contoh buruknya environmental governance (pengelolaan lingkungan) di Provinsi Kalimantan Tengah.

Baca Ancaman Berdiri di Atas Tanah Sendiri untuk mengetahui kondisi terakhir dari konflik Bukit Batu Gadur

Untuk mengetahui lebih dalam tentang masyarakat Sembuluh yang terkait konflik ini silakan baca Cerita dari Balik Jendela Danau Sembuluh

Konflik masyarakat ini juga mendapat perhatian dari lembaga internasional, baca selengkapnya di rilis dari KFEM (Friends of the Earth Korea) dan APIL Korea.

Moratorium perizinan telah diterbitkan bahkan sejak pemerintahan kabinet periode sebelumnya dan terus dilanjutkan pada kabinet saat ini. Namun, sampai sekarang negara belum sungguh-sungguh hadir untuk menyelesaikan konflik pertanahan yang terjadi, apalagi menjalankan UU No. 34 tahun 2014 tentang perkebunan dan UU No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Menurut data dari WALHI Kalimantan Tengah, per Januari 2019 tercatat tidak kurang dari 344 kasus yang berkaitan dengan pertanahan hanya di enam kabupaten/kota di Kalimantan Tengah. Tiap-tiap kasus telah mengakibatkan terputusnya akses masyarakat di komunitas untuk mengelola dan mengambil manfaat dari wilayah mereka. Alih-alih memperoleh kesejahteraan dari masuknya investasi perkebunan kelapa sawit di atas wilayah kelolanya, masyarakat justru dipaksa menghadapi kerusakan lingkungan. Masyarakat agraris itu kini kehilangan identitasnya karena harus menjadi buruh kasar di atas tanah leluhurnya sendiri. (akp)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *