Penyebab Utama Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Tengah
Dalam perkembangannya, kebakaran hutan dan lahan yang hampir setiap tahun terjadi di beberapa wilayah di pulau Sumatera dan Kalimantan tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor alam melainkan masifnya perusakan hutan dan lingkungan untuk pengerukan sumber daya alam dan manusia oleh perusahaan besar (pertambangan, perkebunan, dan kayu).
Monopoli tanah dan kekayaan alam oleh perusahaan besar (sawit, tambang, HTI/HPH) adalah dasar lahirnya bencana kabut asap dan perubahan iklim dunia. Sebagai catatan, Kalimantan Tengah sebagai provinsi terluas kedua di Indonesia dengan luas 15,3 juta hektar sebagian besar wilayahnya (87% atau 13,4 juta hektar) telah dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan skala besar. Selanjutnya menurut Bappenas, sejak 2010, Kalimantan Tengah juga tercatat sebagai provinsi dengan laju perusakan hutan/deforestasi) tertinggi kedua di Indonesia setelah Riau dengan angka 128.648 hektar per tahun. Perkebunan kelapa sawit skala besar menjadi aktor utama dalam perusakan hutan dan pemicu bencana kabut asap paska tumbangnya industri kayu/logging di akhir 90-an hingga awal tahun 2000. Sebagai tambahan catatan, menurut Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun 2007, sedikitnya 816 ribu kawasan hutan di Kalteng telah dilepaskan untuk perkebunan kelapa sawit skala besar dalam sepuluh tahun terakhir. Pada saat bencana kabut asap 2015 lalu, setidaknya terdapat 1.326 titik api di dalam 141 ijin konsesi perkebunan sawit selama Januari-Agustus 2015.
Lahan gambut sebagai salah satu pilar penting penyelamat kehidupan manusia karena fungsi penampung air dan penyimpan karbonnya juga tidak lepas dari keserakahan pemilik kebun sawit skala besar untuk meluaskan kebunnya. Kalimantan Tengah tercatat memiliki lahan gambut terluas kedua di Indonesia dengan 3,1 juta hektar. Akan tetapi, hingga tahun 2011, setidaknya 774.000 hektar luasannya telah berubah menjadi kebun sawit dan tambang.
Peran Pemerintah dalam Penanganan Bencana Kabut Asap
Dampak bencana kabut asap yang terus memburuk sejak bulan Agustus-September terakhir bagi masyarakat, diantaranya: penderita ISPA tercatat 11.758 jiwa dengan pasien terbanyak di kota Palangkaraya; sekolah diliburkan; pembatalan penerbangan. Angka kualitas udara (Indeks Standart Pencemaran Udara/ISPU atau Air Pollution Index/API) juga terus berada di level berbahaya (>500). Mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 289 tahun 2003 tentang Prosedur Pengendalian Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan terhadap Kesehatan, jika ISPU mencapai angka 300-500, maka tindakan yang harus dilakukan oleh Dinas Kesehatan dengan instansi terkait adalah segera melakukan evakuasi selektif bagi balita, ibu hamil, orang tua ke tempat/ruang bebas pencemaran udara.
Dalam perjalanannya, Pemerintah terkesan lamban dan abai dalam menanggulangi bencana kabut asap dan menangani korban kabut asap tahun ini. Mulai dari proses pencegahan, saat tanggap darurat, hingga paska bencana. Proses pencegahan yang hanya menitikberatkan pada sosialisasi dan pembuatan sumur bor tanpa mencabut semua ijin konsesi di atas lahan gambut sebagai penyebab utama kabut asap adalah tindakan tidak serius pemerintah. Soal keterbatasan tenaga, biaya, alat dan fasilitas untuk pemadaman dan pemeriksaan kesehatan masih saja disampaikan ketika status tanggap bencana terjadi meski bencana tiap tahun terjadi.
Penegakan hukum bagi pelaku Karhutla yang sebagian besar menangkap warga/petani-peladang skala kecil/masyarakat adat tidaklah bisa selesaikan soal pokok penyebab Karhutla yaitu rusaknya lahan gambut akibat monopoli tanah untuk perluasan kebun sawit skala besar. Saat ini, tercatat 65 orang warga dan 17 korporasi menjadi tersangka di Kalimantan Tengah.
Secara khusus, kami menilai bahwa petani/peladang skala kecil dan masyarakat adat bukanlah pelaku utama Karhutla. Pembukaan ladang skala kecil (kurang dari 1-2 ha) bagi petani dan masyarakat adat ditujukan sepenuhnya untuk bertahan hidup di saat hilang dan rusaknya sebagian besar tanah dan sumber kekayaan alam yang dirampas korporasi (sawit, tambang, kayu/HPH). Sebagai catatan, masyarakat adat Dayak telah memiliki sistem pembakaran ladang (nyucul huma) warisan leluhur yang dijalankan puluhan tahun dan tidak terbukti sebabkan kebakaran hutan. Bahwa pemerintah harus mengutamakan pemenuhan hak dasar rakyat atas kesehatan, pendidikan, dan perlindungan hukum dalam penanganan bencana kabut asap tahun ini.
Gugatan warga negara atau Citizen Law Suit (CLS) dilayangkan oleh 7 orang warga korban asap di Kalimantan Tengah pada 16 Agustus 2016 terhadap pemerintah karena kelalaiannya dalam penanggulangan bencana kabut asap 2015 sehingga banyak menimbulkan korban jiwa, kerugian secara sosial dan ekonomi. Gugatan ini bertujuan untuk mendesak pemerintah agar menjalankan kewajibannya untuk memberikan hak-hak dasar dan keadilan kepada masyarakat berdasar aturan perundangan yang berlaku. Gugatan ini seharusnya dilihat sebagai hal baik dan seharusnya dilakukan sejak awal oleh pemerintah jika memang memiliki kepedulian sepenuhnya untuk mengutamakan kepentingan rakyatnya. Akan tetapi, tindakan berbeda justru ditunjukkan oleh pemerintah dengan cara mengajukan banding atau keberatan mulai tingkat pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung.
Simpulan Pandangan dan Sikap Sekber Anti-Asap Kalimantan Tengah
Berdasar kenyataan yang secara singkat kami paparkan, kami berpandangan bahwa akar soal bencana asap terletak pada masih dipertahankannya sistem monopoli tanah oleh Tuan Tanah Besar di Indonesia baik perusahaan atau negara. Sehingga, menghapuskan sistem monopoli tanah menjadi hal mendasar untuk selesaikan bencana kabut asap yang selam ini terjadi. Untuk itu, kami Sekber Anti-Asap Kalimantan Tengah mengusung slogan kampanye “Stop Asap, Stop Monopoli Tanah !” dalam menyikapi bencana asap pada tahun ini.
Pemerintah harus sepenuhnya mengutamakan kepentingan rakyat dan berani melawan segala bentuk ketidakadilan dan keserakahan yang secara terang dilakukan perusahaan/korporasi besar dalam mengeruk sumber daya alam. Untuk itu, kami Sekber Anti-Asap Kalimantan Tengah secara tegas meminta pertanggungjawaban pemerintah Jokowi-JK untuk segera melakukan tindakan :
- Jalankan segera Keputusan Mahkamah Agung Nomor 3555 K/PDT/2018 tertanggal 19 Juli 2019 yang menyatakan kepada Pemerintah Republik Indonesia yaitu :
- Presiden RI segera menerbitkan Peraturan Pelaksana dari UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terutama bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan melibatkan peran serta masyarakat;
- Presiden RI segera mengeluarkan PP tentang Tim Gabungan Pencegahan dan Penanggulangan Karhutla;
- Menteri LHK, Menteri Pertanian, Menteri ATR/BPN, dan Gubernur Kalimantan Tengah segera melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap perusahaan – perusahaan yang terbukti membakar;
- Presiden RI bersama Menteri LHK, Menteri Kesehatan dan Gubernur Kalimantan Tengah segera mendirikan Rumah Sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran asap yang dapat di akses secara gratis; membuat tempat ruang bebas pencemaran yang dapat di akses yang mudah terutama di daerah-daerah; serta menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan memastikan evakuasi berjalan secara lancar;
- Presiden RI bersama Menteri LHK dan Gubernur Kalimantan Tengah diminta untuk membuat peta kerawanan kebakaran hutan, lahan dan perkebunan serta membuat kebijakan standat peralatan pengendalian Karhutla;
- Menteri LHK segera merevisi Rencana Kehutanan Tingkat Nasional yang tercantum dalam Permenhut No.41 tahun 2011 tentang Standar Fasilitas Sarana dan Prasarana Kesatuan pengelolaan Hutan Lindung Model dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Model;
- Gubernur Kalimantan Tengah segera mengumumkan kepada publik tentang lahan-lahan yang terbakar dan perusahaan pemegang ijinnya.
- Gubernur Kalimantan Tengah segera membuat tim khusus pencegahan dini Karhutla di seluruh wilayah yang berbasis pada wilayah Desa yang beranggotakan masyarakat lokal;
- Gubernur Kalimantan Tengah dan DPRD Provinsi Kalimantan Tengah segera menyusun dan mengesahkan Perda yang mengatur tentang perlindungan kawasan lindung seperti yang diamanatkan dalam Kepres No.32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan lindung;
- Cabut semua ijin perusahaan yang berada di areal gambut dan perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran. Pemilik perusahaan/korporasi harus bertanggungjawab secara pidana dan perdata dengan mengganti kerugian akibat bencana dan biaya pemulihan lingkungan
- Bebaskan dan berikan perlindungan hukum kepada peladang/petani skala kecil dan masyarakat adat yang membuka lahan dengan cara membakar untuk mempertahankan kehidupannya;
- Kembalikan tanah-tanah milik petani dan masyarakat adat yang telah di rampas oleh Perusahaan Besar (sawit, tambang, kayu)
Demikian sikap kami dari Sekber Anti-Asap Kalimantan Tengah dalam menyikapi bencana kabut asap tahun 2019 ini.
Stop Asap ! Stop Monopoli Tanah !
Palangkaraya, 20 September 2019