Aliansi Perjuangan Rakyat (ANPERA): Isi Tuntutan Peringatan Hari Tani 2019

Penetapan 24 September sebagai Hari Tani Nasional (HTN) oleh Sukarno yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) saat ini telah menginjak usia ke59 tahun. UUPA adalah harapan baru untuk menata ulang struktur kepemilikan tanah berikut sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya demi penegakan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia seutuhnya. Pasalpasal UUPA telah meruntuhkan sepenuhnya aturan hukum pertanahan kolonial selama ratusan tahun yang sarat penindasan dan penghisapan tiada tara atas alam dan manusia. UUPA menjadi pijakan dalam menghancurkan sistem monopoli tanah dan penghisapan feodal milik Tuan Tanah Besar yang membelenggu kaum tani sejak era kesultanan feodal di Indonesia. Sebab, seluruh perkebunan besar (karet, tebu, kayu, dsb) milik perusahaan besar asing (Imperialis) sepenuhnya milik republik (nasionalisasi) dan rakyat diberi kebebasan untuk mengelolanya.

Akan tetapi, harapan itupun lenyap seketika saat Suharto berkuasa. Penerbitan UU PMA 1967 adalah gerbang baru bagi penderitaan panjang rakyat karena seluruh tanah dan kekayaan alam kembali dikuasai sepenuhnya oleh korporasi besar. Kebijakan serupa dijalankan pemerintahan Jokowi ketika persiapkan RUU Pertanahan yang akan ditetapkan akhir bulan ini. Alih-alih menyelesaikan monopoli tanah sebagai sumber masalah bangsa, RUU Pertanahan justru kian lapangkan jalan bagi keserakahan Tuan Tanah Besar dalam merampas tanah dan mengeruk tanpa sisa kekayaan alam Indonesia.

RUU Pertanahan yang mendapat penolakan banyak pihak (organisasi tani, lembaga penelitian agraria, akademisi, pengacara) berisi pasal-pasal yang sangat merugikan rakyat. Pertama, perpanjangan HGU dapat dilakukan oleh korporasi dua kali dalam satu waktu dengan masa berlaku selama 90 tahun (sebelumnya hanya bisa dilakukan sekali dengan masa berlaku 35 tahun). Dan, para pemilik HGU tersebut tidak bisa diketahui publik/dirahasiakan oleh negara.

Kedua, terhadap tanah-tanah rakyat yang tidak terdaftar atau tidak dapat membuktikan kepemilikannya meski sudah dikelola puluhan tahun secara turun-temurun maka akan dikuasai oleh negara (domein verklaring). Aturan milik kolonial Belanda yang kembali dihidupkan tersebut akan menutup ruang masyarakat adat yang menetap di perhuluan sungai dan pedalaman hutan dalam mengolah dan manfaatkan tanah warisan leluhurnya berdasarkan hukum adatnya. Ketiga, ancaman pidana akan diberikan kepada mereka yang menolak atau menghalangi penggusuran atas nama pembangunan. Keempat, reforma agraria (program pembaruan tentang pengelolaan dan penguasaan tanah) tidak lagi jadi agenda penting dan mendesak untuk diselesaikan sehingga tidak perlu diatur dalam RUU ini.

Bahwa sistem pertanian di Indonesia sejak jaman kolonial (era tanam paksa 1870) hingga sekarang tetap tidak berubah. Yaitu sistem pertanian terbelakang (bertumpu pada monopoli tanah non-modernisasi alias tanpa peningkatan kualitas tenaga dan alat kerja) penghasil bahan mentah dan murah untuk kepentingan pasar dunia/eksport yang dikendalikan Tuan Tanah Besar yang dimodali Korporasi Asing/Imperialis hidup bersisian dengan sistem pertanian skala kecil yang dijalankan petani dan masyarakat adat demi mempertahankan kehidupan harian/sub-sisten.

Selama ratusan tahun, Tuan Tanah Besar mengandalkan sepenuhnya monopoli tanah yang luas dan melimpahnya tenaga dari petani miskin dan buruh tani untuk keruk keuntungan berlipat. Peningkatan produktivitas tenaga kerja dan modernisasi alat kerja bukan dasar utama peningkatan produksi. Fokus peningkatan produksi untuk tambah nilai eksport adalah memperluas tanah secara berkelanjutan, pekerjakan buruh tani dan tani miskin dalam jumlah besar dengan upah yang sangat rendah, dan menekan biaya pembukaan dan perawatan lahan.

Sistem pertanian dan perkebunan yang berorientasi eksport untuk pemenuhan kebutuhan pasar luar negeri seperti ini telah merubah sepenuhnya peranan jutaan petani sebagai produsen pangan mandiri dan dalam negeri menjadi konsumen. Sebab, petani terpaksa beli beras dan sayuran lantaran sebagian besar tanahnya telah dipaksa untuk ditanami tanaman komoditas (sawit, karet, jagung, dsb) yang laku dipasaran. Sistem ini juga telah menghancurkan budaya gotong royong yang jadi ciri khusus petani di pedesaan menjadi individualisme. Petani tidak lagi saling bantu dalam mengolah lahan melainkan saling jual-beli tenaga/mengupah meski tidak mampu karena timpangnya biaya produksi dan hasil panen yang didapat.

Keadaan Kalimantan Tengah yang sebagian besar wilayahnya (87% atau 13,4 juta hektar) telah dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan skala besar (sawit,tambang, kayu) adalah gambaran terang atas berjalannya sistem monopoli tanah dengan sempurna. Jumlah konflik agraria yang berujung pada jatuhnya korban jiwa dan kriminalisasi terhadap rakyat pasti akan terus bertambah selama pemerintah tetap berkeras pertahankan sistem yang terbukti merusak alam dan lahirkan penderitaan sejak lama.

Oleh karena itu, Kami yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Rakyat (ALPERA) yang terdiri dari (PMKRI,HMI,PMII,GMNI,GMKI,KMHDI,IMM, KBM UPR,KBM BEM UMP,KBM IAIN PALANGKA RAYA, KBM IAHN-TP, BEM UNKRIP, PEMBARU, SERUNI, LBH PALANGKA RAYA , PROGRESS, DAN WALHI KALTENG ) semangat pantang menyerah untuk terus berusaha memperluas dan memperkuat persatuan dari waktu ke waktu sangat dibutuhkan untuk mendesak pemerintah melawan dampak buruk sistem monopoli tanah dan kesewenangan Tuan Tanah dalam menindas petani dan masyarakat adat. Dalam memperingati HTN tahun ini yang bertepatan dengan bencana kabut asap, kami mendesak pemerintah untuk:

  1. MENOLAK RUU PERTANAHAN KARENA TIDAK SESUAI IDEOLOGI PANCASILA, UU PA NO 5 TAHUN 1960 DAN TAP MPR NO IX/2001 TENTANG REFORMA AGRARIA
  2. JALANKAN REFORMA AGRARIA YANG SEBENARNYA MENURUT UU PA NO 5 TAHUN 1960
  3. PENINGKATAN PERTANIAN LOKAL AGAR HARGA STABIL DI PASARAN DENGAN MENDORANG ADANYA PERDA PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN BERKELANJUTAN (PLP2B) DI KALIMANTANDENGAH
  4. STOP PERAMPASAN LAHAN DAN KEMBALIKAN LAHAN PETANI YANG DI RAMPAS
  5. MEMBERIKAN BANTUAN YANG BERKAITAN DENGAN PERTANIAN KEPADA PARA PETANI,MODAL, JAMINAN TANAH, TEKNOLOGI DAN ASES PASAR
  6. MENUNTUT PEMERINTAH DAN APARAT KEAMANAN AGAR MENGHENTIKAN ( STOP) KRIMINALISASI MASYARKAT PELADANG /PETANI DI KALTENG.
  7. STOP PERIJINAN BARU DAN CABUT PERIJINAN PERKEBUNAN YANG BERMASALAH
  8. BEBASKAN KAUM TANI YANG DITANGKAP AKIBAT MELAKUKAN PEMBAKARAN LAHAN SKALA KECIL UNTUK BERTAHAN HIDUP
  9. USUT TUNTAS KONFLIK AGRARIA YANG MELIBATKAN PETANI SEBAGAI KORBAN
  10. LAKSANAKAN PUTUSAN PN PALANGKA RAYA NO. 188/PDT.G.LH/2016/PN PKY TENTANG GUGATAN WARGA NEGARA KALTENG BERKAITAN DENGAN KARHUTLA 2015

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *