Sebuah Laporan: Bekas Luka yang Tidak Pernah Sembuh di Papua

Sebuah laporan pengaduan atas Pelanggaran POSCO International dan Penyedia Jasa Keuangan Publik Korea terhadap Pedoman OECD bagi Perusahaan Multinasional dalam Pengoperasian Perkebunan Kelapa Sawit di Papua, Indonesia

Seoul, 12 Desember 2019 – Hari ini Korean Transnational Corporations Watch (KTNC Watch), Yayasan Pusaka (Indonesia), WALHI Papua (Indonesia), dan SKP KAMe (Indonesia), menyampaikan laporan pengaduan kepada National Contact Point atau Poin Kontak Nasional (NCP) untuk OECD (Organization for Economic Cooperation & Development atau Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi) terhadap POSCO International dan dua lembaga jasa keuangan publik Korea, Korean National Pension Service atau Kantor Urusan Pensiun Nasional (NPS) Korea, dan Export-Import Bank of Korea atau Bank Ekspor-Impor Korea (KEXIM).

Laporan pengaduan ini menyangkut POSCO International, sebagai controlling owner (pemilik yang mengendalikan usaha), serta NPS dan KEXIM, selaku penyedia jasa keuangan bagi POSCO International. Pengaduan ini berkaitan dengan dampak-dampak buruk yang diakibatkan oleh kegiatan operasional perusahaan minyak kelapa sawit PT. Bio Inti Agrindo (PT. BIA), sebuah anak perusahaan dari POSCO International di Papua, Indonesia. Dampak-dampak yang diakibatkan termasuk deforestasi skala besar atas hutan hujan tropis dan hilangnya keanekaragaman hayati; kegagalan untuk menerapkan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) dengan pemilik adat dari lahan selama proses pengembangan perkebunan; serta pelanggaran terhadap hak atas air penduduk setempat karena telah mengakibatkan penurunan kualitas air Sungai Bian.

Penyampaian laporan pengaduan ini didukung dengan bukti atas sejumlah praktek buruk yang telah dilakukan oleh PT. BIA, yang merupakan milik POSCO International. POSCO International belum menanggapi terkait isu deforestasi yang dilakukan oleh PT. BIA, atau menerapkan kebijakan untuk mencegah terjadinya deforestasi lebih lanjut. Sejumlah dugaan berulang kali dilaporkan terkait dengan pelanggaran terhadap hak atas Padiatapa, namun POSCO International telah gagal untuk menyediakan sebuah pemulihan yang tepat kepada para stakeholder. Akibat penurunan kualitas air Sungai Bian, penduduk setempat tidak lagi bisa menggunakan air dari sungai untuk aktifitas sehari-hari atau konsumsi mereka. Meski begitu tidak ada langkah-langkah yang diambil untuk memastikan bahwa hak penduduk lokal atas air terlindungi.

Menurut Pedoman OECD bagi perusahaan multinasional (selanjutnya disebut Pedoman OECD), perusahaan memiliki kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dan mengatasi dampak-dampak buruk yang mungkin timbul. Perusahaan harus menghindari menimbulkan dampak-dampak buruk dan harus dapat menyediakan pemulihan ketika dampak-dampak tersebut muncul. Namun, langkah-langkah yang diambil oleh POSCO International tidak menyediakan pemulihan atas kerusakan yang terjadi, maupun kebijakan uji tuntas untuk mencegah atau mengurangi dampak-dampak merugikan lebih lanjut.

Pedoman OECD mengharuskan perusahaan untuk melakukan pencegahan atau pengurangan dampak-dampak buruk terhadap hak asasi manusia yang secara langsung berhubungan dengan layanan keuangan melalui hubungan bisnis. NPS, sebagai sebuah institutional shareholder atau investor institusi dari POSCO International, harus terlibat dengan perusahaan investee (penerima investasi) yang merusak nilai investor, namun NPS telah gagal untuk berhubungan dengan POSCO International meskipun menyadari dampak-dampak buruk yang diakibatkan. KEXIM juga telah gagal untuk melakukan peninjauan atas risiko dampak-dampak merugikan yang dapat diukur secara rasional dalam industri kepala sawit ketika memutuskan untuk memberikan pinjaman kepada anak perusahaan POSCO International di Papua.

Norwegian Government Pension Fund (Lembaga Keuangan Dana Pensiun Pemerintah Norwegia) dan Dutch Pension Fund (Lembaga Keuangan Dana Pensiun Belanda), ABP, telah menarik investasi dari POSCO International dikarenakan isu deforestasi ini, dan media Korea juga telah meliput isu-isu terkait yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan PT. BIA. Meski begitu, NPS masih terus mempertahankan lebih dari lima persen saham mereka di POSCO International, sedangkan KEXIM, KRC, dan KOFPI tetap menyediakan pinjaman untuk mendukung kegiatan operasional PT. BIA.

Y.L. Franky, Direktur Yayasan Pusaka mengatakan, “Industri minyak kelapa sawit menciptakan banyak kesulitan bagi masyarakat adat di Papua. Hutan dimana mereka bergantung selama ini mulai menghilang dan konflik sosial akibat sengketa lahan juga meningkat.” Pastor Anselmus Amo, Direktur SKP KAMe menegaskan bahwa sejak PT. BIA mulai menjalankan perkebunannya, penduduk setempat justru menderita, ia lebih jauh menjelaskan, “Kehidupan sehari-hari menjadi sangat sulit bagi penduduk setempat setelah sekarang air sungai menjadi tercemar. Namun, penduduk setempat tidak tau kemana mereka harus menyuarakan masalah ini.” Shin Young Chung, aktivis KTNC Watch menyatakan, “Lembaga-lembaga keuangan dana pensiunan yang ternama telah menarik investasi mereka, dan lembaga keuangan publik di Korea juga harus mengadopsi kebijakan untuk memperhatikan dampak-dampak lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh bisnis.” Ia berharap NCP akan membuat sebuah keputusan yang akan membawa perubahan nyata terhadap perilaku POSCO International dan para pemilik modal.

Para pihak yang menyampaikan laporan pengaduan ini meminta kepada NCP Korea untuk bersedia terlibat dengan POSCO International dan memfasilitasi dialog untuk meyakinkan POSCO International agar bersedia mengadopsi dan mempublikasikan comprehensive group-wide cross commodity No Deforestation, No Peat, and No Exploitation (NDPE) atau kebijakan terpadu dan menyeluruh lintas komoditas Nol Deforestasi, Nol Gambut, dan Nol Eksploitasi. Selain itu pemohon juga meminta kepada POSCO International untuk mempertahankan moratorium menyeluruh pembukaan lahan dan pengembangan tanah gambut sebagai bagian dari kebijakan NDPE.

Para pihak pelapor juga meminta kepada NPS untuk mempertimbangkan terkait deforestasi dan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat di bisnis-bisnis yang berada di luar negeri dalam kebijakan mereka demi investasi yang bertanggung jawab secara sosial. Para pelapor meminta KEXIM, KRC, dan KOFPI untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan guna melakukan peninjauan risiko dampak merugikan lingkungan dan sosial dalam membangun sumber daya alam di luar negeri dan menahan diri untuk kembali menyediakan pinjaman lebih lanjut untuk mendukung kegiatan operasional PT. BIA yang telah mengakibatkan sejumlah dampak buruk.

Berbagai NGO lain, seperti WALHI Kalimantan Tengah (Friends of the Earth Indonesia), Friends of the Earth US, Friends of the Earth Netherland, Friends of the Earth Melbourne turut mendukung penyampaian laporan pengaduan ini terhadap POSCO International, NPS, dan KEXIM bersama KTNC Watch, Yayasan Pusaka, dan SKP KAMe.

Untuk informasi lebih lanjut atau permintaan wawancara dapat menghubungi:

KTNC Watch: Shin Young Chung (Attorney-at-Law), sychung@apil.or.kr, +82-2-3478-0529

Yayasan Pusaka: Franky Samperante (Director), angkytm@gmail.com, +62-21 -7892137

SKP KAMe: Father Anselmo Amo, amo.anselmus@gmail.com

Terjemahan oleh (akp)

Download laporan pengaduan selengkapnya melalui link di bawah ini:

Bahasa Indonesia

English

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *