Sebuah kisah perjuangan hak atas wilayah kelola rakyat, Desa Riam Tinggi

Di tengah riak riam penurunan kualitas lingkungan hidup akibat investasi berbasis sumber daya alam skala besar, pengelolaan rakyat berbasis kearifan lokal bagaikan sebuah ‘Negeri di Atas Awan’.
Bu Endang Kusrini, kepala Desa Riam Tinggi, bangun pagi-pagi sekali hari itu. Bangun pagi sudah menjadi kebiasaan bagi wanita paruh baya ini, namun kala itu memang ada maksud yang berbeda. Ia bangun pagi bukan untuk bersiap-siap pergi ke kantor desa yang terletak tidak jauh dari rumahnya, tapi ia hendak pergi ke ibukota provinsi, Kota Palangka Raya. Wilayah desa yang terletak di bagian ujung barat Provinsi Kalimantan Tengah, mengharuskannya berangkat pagi-pagi agar dapat tiba di Palangka Raya pada hari yang sama.

Desa Riam Tinggi, desa yang dipimpin oleh Bu Endang selama dua periode terakhir, merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Salah satu desa dari sebelas desa di Delang ini diresmikan pada tahun 1917. Desa ini dihuni oleh 156 jiwa dari 55 KK (Kepala Keluarga).
Dengan penuh semangat Bu Endang memasuki kendaraan roda empat bersama beberapa perwakilan warga Desa Riam Tinggi menuju ke Kota Palangka Raya. Selama perjalanan mereka melewati hamparan pepohonan di sisi kanan dan kiri jalan. Ketika melewati depan jalan setapak menuju ‘Negeri di Atas Awan’, semakin mantaplah hatinya untuk tiba di ibukota.
Pesona Wisata ‘Negeri di Atas Awan’ Desa Riam Tinggi
Mungkin masih belum banyak yang tahu bahwa di Kalimantan Tengah terdapat sebuah lokasi wisata yang dinamakan ‘Negeri di Atas Awan’. Dinamakan demikian karena dari lokasi tersebut pemandangan yang terhampar sungguh indah layaknya sebuah negeri yang berada di atas awan. Keindahannya tidak kalah dari ‘Negeri di Atas Awan’ yang terdapat di Banten atau Toraja Utara.
Pada tahun 2015, Bupati Kabupaten Lamandau menetapkan Delang sebagai kecamatan tujuan wisata alam dan budaya. Namun karena keterbatasan pengetahuan terkait pengembangan pariwisata, pemerintah Desa Riam Tinggi tidak langsung bisa menanggapi. Hingga pada akhir tahun 2017, Desa Riam Tinggi mulai belajar secara mandiri untuk mengembangkan potensi wisata yang ada di wilayahnya. Pemerintah desa membangun kerjasama langsung dengan sebuah agen wisata yang berada di kabupaten. Salah satu potensi yang dikembangkan adalah lokasi wisata Bukit Lubang Kilat dimana ‘Negeri di Atas Awan’ itu berada. Jalan masuk ke Bukit Lubang Kilat berada tepat di pinggiran jalan lintas trans Kalimantan.

Bukit Lubang Kilat adalah salah satu bukit yang berada di wilayah administrasi Desa Riam Tinggi. Lokasi “Negeri di Atas Awan” sebelumnya merupakan bekas tempat berladang milik warga. Tidak terpikir sebelumnya bagi warga bahwa lokasi tersebut memiliki potensi wisata yang besar. Dengan ketinggian sekitar 120 mdpl, hanya dibutuhkan waktu sekitar 25 menit untuk sampai ke puncak dengan berjalan kaki. Jalan setapak sepanjang 600-700 meter menuju ke puncak telah dibuat khusus dengan pegangan terbuat dari bambu sehingga dapat dengan mudah dilalui, bahkan oleh tiga orang sekaligus. Setiap jarak 100-200 meter disediakan juga bangku yang terbuat dari bambu untuk beristirahat sejenak sembari melihat pemandangan sekeliling. Pengunjung akan melewati sebanyak 3 titik peristirahatan sebelum sampai di puncak bukit.
Di puncak Bukit Lubang Kilat telah disediakan tempat khusus untuk dapat menikmati pemandangan ‘Negeri di Atas Awan’. Lokasi ini dapat menjadi tempat berfoto ria dengan latar belakang menakjubkan. Dari puncak bukit, pengunjung disuguhi pemandangan pepohonan yang diselimuti kabut sehingga seolah-olah tengah berada di sebuah ‘Negeri di Atas Awan’. Apalagi jika pengunjung tiba di waktu terbaik untuk melihat matahari terbit, yaitu sekitar pukul 04.30 pagi, dan matahari terbenam pada pukul 16.30, pemandangannya berkali-kali lipat lebih indah. Pengunjung juga dapat mendengar merdu suara aneka burung, seperti burung Pumpuru, burung Konsit, burung Koro, dan burung Bubut, yang menambah kesan nyaman dan tenteram. Setelah menaiki ratusan anak tangga sebelumnya, pemandangan yang diperoleh saat berada di puncak akan terasa sangat memuaskan.

Keindahan wisata Bukit Lubang Kilat ini ternyata sudah cukup populer. Hampir setiap pejabat pemerintahan Kabupaten Lamandau, tidak terkecuali Bupati, pernah berkunjung ke tempat wisata Desa Riam Tinggi. Bahkan Desa Riam Tinggi kerap kali menjadi lokasi pengambilan video promosi pariwisata, seperti pesona Indonesia. Karena memiliki kerjasama dengan agen wisata, Desa Riam Tinggi juga telah berulang kali menerima kunjungan wisatawan asing. Hal ini memberikan peluang bagi pengembangan ekonomi pemerintah dan warga desa.
Selain ‘Negeri di Atas Awan’ Bukit Lubang Kilat, Desa Riam Tinggi juga tengah mengembangkan wisata air terjun dan riam, sungai dengan aliran air yang deras seperti air terjun tetapi rendah. Air terjun dan riam ini terletak di sisi yang berlawanan dari Bukit Lubang Kilat. Wisatawan dapat berenang di dekat air terjun dan bermain olahraga arung jeram di riam.
Sebenarnya inisiasi pengembangan potensi wisata ini bukan seperti sebuah wahyu yang seketika turun dari langit dan semata-mata dari Surat Keputusan Bupati, namun lebih jauh lagi ia tumbuh dari kegundahan warga desa, seperti Bu Endang, terhadap masa depan lingkungan hidup di Desa Riam Tinggi yang kian tertutup awan tipis ketidakpastian akan keberlanjutannya.
Ancaman Investasi Berbasis Sumber Daya Alam
Perubahan atas kualitas lingkungan hidup dan iklim dunia yang terjadi di berbagai wilayah saat ini nyatanya cukup jelas untuk dapat pula dirasakan oleh warga Desa Riam Tinggi. Rata-rata temperatur permukaan bumi meningkat sekitar 0,9º Celcius sejak akhir abad ke-19.[1] Perubahan ini sebagian besar dipicu oleh peningkatan karbon dioksida dan emisi lain yang dihasilkan manusia ke atmosfer.
Perubahan iklim dunia yang drastis kian diperburuk oleh maraknya investasi berbasis sumber daya alam. Deforestasi menjadi penyebab utama kedua dari pemanasan global yang terjadi dan menghasilkan sekitar 24% emisi gas rumah kaca.[2] Menurut para ilmuwan, deforestasi yang terjadi di hutan hujan tropis, seperti Indonesia, melepaskan lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan seluruh kendaraan di jalan-jalan dunia. Investasi sumber daya alam yang masuk ke Kalimantan Tengah mengepung dan menindihi desa-desa, tidak terkecuali Desa Riam Tinggi.
Dari 15.356.800 hektar luasan wilayah, Provinsi Kalimantan Tengah memiliki kawasan hutan seluas 12.719.707 hektar. Namun, lahan yang ada di provinsi terbesar ke-dua di Indonesia ini justru didominasi oleh korporasi. Sebanyak 83,7 % atau sekitar 12.862.922 hektar wilayah Kalimantan Tengah telah dibebani izin perkebunan, pertambangan, dan industry kehutanan. Sehingga total pengelolaan wilayah yang diberikan kepada masyarakat hanya sebesar 2,20 % saja.[3]
Larangan Membakar Mengubah Tradisi Masyarakat
Mayoritas warga Desa Riam Tinggi adalah masyarakat adat Dayak Tomunt, salah satu sub suku Dayak di Pulau Kalimantan (Borneo), yang mendiami sekitar perbatasan antara wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Barat di Kabupaten Lamandau. Layaknya desa-desa yang dihuni oleh komunitas masyarakat adat, Desa Riam Tinggi memiliki wilayah yang cenderung masih asri. Hal ini disebabkan oleh masih eratnya hubungan timbal balik antara masyarakat adat dan lingkungan hidup dimana mereka bergantung. Sehingga perubahan yang terjadi pada kualitas lingkungan hidup akan berdampak besar bagi kehidupan mereka.
Sebagian besar warga Desa Riam Tinggi masih mengelola lahan untuk berladang dan berkebun, mencari ikan di sungai, serta memanfaatkan hasil-hasil hutan. Jenis tanaman yang sudah diusahakan warga adalah padi, karet, durian, cempedak, jengkol, jahe gajah, petai, pinang, dan ubi kayu. Sedangkan dari hasil hutan terdapat pohon Meranti, Ulin/Belian, Ketapang, Medang, Kaladian, Sungkai, dan durian bukit,
Setelah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menyebabkan bencana asap luar biasa pada tahun 2015, tradisi ladang dengan cara membakar masyarakat harus dihadapkan pada perubahan besar. Menanggapi bencana besar tersebut, pemerintah kemudian mencabut Peraturan Gubernur (Pergub) Kalimantan Tengah Nomor 15 tahun 2010 tentang Perubahan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah.[4] Peraturan ini memperbolehkan masyarakat adat untuk membuka lahan dengan cara membakar dan memberikan petunjuk teknis, seperti pembakaran dilakukan dalam skala kecil dan bertanggung jawab. Namun, Pergub ini akan diganti karena dianggap memiliki celah yang menyebabkan kebakaran lahan hebat terjadi.
Meski masyarakat adat masih diperbolehkan membakar menurut Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 10 tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan, namun Permen ini tidak mengatur teknis pembakaran. Sehingga seringkali peladang yang kedapatan membakar di lahannya ditangkap dan dijerat dengan pasal 108 jo pasal 56 ayat (1) Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan 108 jo pasal 69 ayat (1) huruf h UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPA).
Tidak adanya aturan yang jelas terkait pembukaan lahan dengan cara membakar bagi masyarakat adat ini tidak ayal berdampak besar pada masyarakat adat di Kalimantan Tengah yang memiliki tradisi berladang dengan cara membakar, seperti warga Desa Riam Tinggi. Pasalnya tradisi tersebut seringkali dijadikan alasan untuk mengkambing hitamkan peladang apabila terjadi kebakaran. Padahal melimpahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada peladang atas bencana asap karhutla adalah salah besar.
Setelah dihapuskannya Pergub terkait, terdapat sejumlah kasus penangkapan peladang ketika sedang mengelola lahannya. Sehingga saat ini kebanyakan peladang tidak lagi berani membakar untuk keperluan berladang. Meski ada kebimbangan karena mereka tetap harus memenuhi kebutuhan pangan keluarga, tapi banyak yang akhirnya memilih untuk tidak lagi membakar. Beberapa peladang kemudian terpaksa beralih menanami ladangnya dengan tanaman kebun seperti karet, meski tidak sedikit peladang yang memilih untuk membiarkan ladangnya begitu saja hingga dipenuhi semak belukar. Banyak peladang juga mencoba cara berladang yang lain, meskipun seringkali mereka harus berlapang dada ketika mengalami gagal panen atau ketika hasil yang diperoleh tidak maksimal.
Tradisi membuka lahan untuk berladang dengan cara membakar merupakan kearifan lokal masyarakat adat Dayak di Kalimantan. Masyarakat adat Dayak menggantungkan hidupnya dengan alam dimana mereka tinggal. Pola hidup ini pun membentuk tradisi di masyarakat adat Dayak. Masyarakat adat Dayak Tomunt di Desa Riam Tinggi memiliki berbagai kearifan lokal yang berkembang dari tradisi hidup mereka, seperti Maluai (ritual panen padi pertama) dan Manggara (sukuran panen buah-buahan lokal).
Ketergantungan yang tinggi terhadap alam, membuat masyarakat adat Dayak memiliki prosedur tersendiri untuk melakukan proses membakar dalam rangkaian berladang padai. Mereka harus mengatur waktu dan upaya pencegahan kebakaran agar memastikan tidak terjadi hal-hal yang diluar kehendak. Karena kebakaran yang tidak diinginkan akan berakibat pada hilangnya kebun dan area berladang produktif mereka. Kebakaran yang terjadi di luar kendali justru akan menghanguskan sebagian besar gambut yang diperlukan untuk berladang dan menyebabkan menipisnya lapisan gambut. Tanah gambut yang lapisannya menipis hanya akan menyisakan pasir putih keras yang nantinya sulit ditanami oleh tanaman pangan seperti padi.
Riam Tinggi Inginkan Hutan Desa
Pentingnya keberadaan dan kelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat adat Dayak Tomunt Desa Riam Tinggi melandasi keinginan warga untuk memiliki jaminan penguasaan atas wilayah kelolanya. Sehingga pada bulan April 2019, pemerintah desa dan warga bersepakat untuk mengajukan perhutanan sosial dengan skema hutan desa. Hutan desa merupakan salah satu skema perhutanan sosial dimana hutan negara dikelola oleh lembaga desa dengan tujuan mensejahterakan desa.
Perhutanan Sosial (PS) adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial budaya.[5] PS merupakan program yang saat ini menjadi salah satu fokus utama Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI.[6] Untuk periode 2015-2019, pemerintah telah mengalokasikan 12,7 juta hektar untuk PS melalui skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan (KK).
Setelah dilakukan pemetaan partisipatif atas wilayah desa, dibentuklah sebuah Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Riam Tinggi. LPHD Riam Tinggi menetapkan tim pengurus untuk mengawal proses pengajuan hutan desa. Tim pengurus kemudian menyusun berkas pengajuan hutan desa atas luasan wilayah sekitar 2.275 hektar dengan didampingi oleh WALHI Kalimantan Tengah. Berkas pengajuan dikirimkan kepada Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK di Jakarta pada bulan Juni 2019. 2.334,55 hektar
Kawasan Hutan Desa Ditindihi Ijin
Sebagai tanggapan atas pengajuan yang dilakukan oleh Desa Riam Tinggi, Dirjen PSKL melalui Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Kalimantan memberikan informasi bahwa telah dilakukan verifikasi terhadap berkas pengajuan yang dibuat. Namun, setelah dilakukan verifikasi teknis pada bulan Juni 2019, ditemukan fakta bahwa sebagian besar wilayah yang diusulkan sebagai hutan desa ternyata tumpang tindih dengan areal IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam) PT. Sari Bumi Kusuma (PT. SBK). Atas hasil tersebut, LPHD Riam Tinggi akhirnya menarik kembali pengajuan hutan desa untuk sementara waktu untuk mengajukan pelepasan areal yang tumpang tindih dengan PT. SBK terlebih dahulu.
PT. SBK atau Sari Bumi Kusuma adalah sebuah perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) denganareal konsesi seluas 270.000 hektar (Add. FA/N-AD/045/VII/1979 tanggal 14 Juli 1979).[7] Perusahaan ini beroperasi di komoditas plywood, sawn timber, dan moulding, PT. SBK termasuk dalam kelompok industri kayu lapis laminasi dan decorative plywood. Dikutip dari laman websitenya, PT. SBK telah mengembangkan usaha di bidang kehutanan dan memperoleh areal konsesi sejak dikeluarkan Forestry Agreement(FA) No. FA/N/016/III/1978, tanggal 29 Maret 1978 dan SK Menteri Pertanian No. 599/Kpts/Um/11/1978, tanggal 18 November 1978, tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan.
Meski berkantor pusat di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, PT. SBK juga memiliki kantor cabang di Palangka Raya. Wilayah konsesinya berada di kelompok hutan Sungai Delang dan kelompok hutan Sungai Seruyan. Kelompok Sungai Delang memiliki areal seluas 60.00 hektar. Sekitar 2.207 hektar diantaranya merupakan areal yang tengah diperjuangkan oleh masyarakat Adat Dayak Tomunt Desa Riam Tinggi sebagai hutan desa.
Perwakilan Desa Mendatangi PT. SBK
Sekitar pukul delapan malam rombongan Bu Endang tiba di Kota Palangka Raya. Malam harinya mereka manfaatkan untuk beristirahat di tengah ‘Kota Cantik’ yang sudah mulai sesak oleh kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan sejak ditetapkan darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada bulan Mei 2019.
Esoknya (6/9/2019), sekitar pukul sembilan pagi rombongan warga Desa Riam Tinggi itu mendatangi kantor cabang PT. SBK dengan didampingi oleh WALHI Kalimantan Tengah. Disana, mereka diterima oleh pimpinan cabang. Rombongan kemudian menyampaikan maksud kedatangan mereka, yakni permohonan untuk mengeluarkan areal IUPHHK-HA milik PT. SBK yang tumpang tindih dengan wilayah desa yang diajukan sebagai hutan desa. Sebagai hasil dari pertemuan tersebut, warga Desa Riam Tinggi melalui pemerintah desa diarahkan untuk mengirimkan surat permohonan untuk melepaskan wilayah yang diusulkan secara langsung ke Kantor Pusat PT. SBK di Pontianak. Lalu, rombongan kembali ke desa untuk menyiapkan dan mengirimkan surat permohonan yang diminta.
Kepastian Hutan Desa Riam Tinggi Masih di ‘Atas Awan’
Pada bulan Oktober 2019, surat permohonan yang dikirimkan oleh LPHD Riam Tinggi kepada PT. SBK akhirnya mendapatkan balasan. Dalam surat balasan tersebut, perusahaan menyatakan bahwa pihaknya tidak keberatan apabila areal IUPHHK perusahaan dikurangi untuk memberikan akses kelola kepada warga Desa Riam Tinggi melalui skema hutan desa, Namun, pihak perusahaan dalam surat yang sama juga menyatakan bahwa mereka menyerahkan proses perubahan areal izin kepada pemerintah desa/pemerintah kabupaten. Padahal baik secara kapasitas, maupun berdasarkan mekanisme peraturan yang ada, Peraturan Menteri LHK No. P.45, desa tidak dapat mengajukan permohonan perubahan areal izin. Pihak yang dapat melakukannya adalah: 1) pemegang izin (PT. SBK), 2) pemerintah daerah (Gubernur), 3) pemberi izin (KLHK).
Meskipun balasan yang dinanti-nanti telah tiba, namun keinginan masyarakat adat Dayak Tomunt di Desa Riam Tinggi masih belum dapat segera terwujud. Bahkan dengan adanya skema perhutanan sosial, masyarakat tidak serta merta dapat memiliki hak pengelolaan wilayahnya. Melihat kondisi yang ada saat ini, maka Tim LPHD Riam Tinggi akan melanjutkan upaya dengan mengajukan permohonan secara langsung kepada KLHK. Kegigihan dalam mewujudkan wilayah kelola rakyat memang menjadi kunci utama dalam perjuangan ini.

Seperti riak riam yang tidak tidak pantang menyerah, Bu Endang bersama warga Desa Riam Tinggi lainnya akan terus berusaha mewujudkan ‘Negeri’ milik mereka. Kelak mereka ingin tetap dapat melihat fajar di ufuk timur dari atas ‘Negeri di Atas Awan’ dimana selang-seling kicauan burung saling bersahut-sahutan dan riak riam bergemuruh bersama anak cucu mereka. Malam ini pun, harapan itu yang bersemayam dalam sanubari Bu Endang dan warganya yang mulai terlelap. (akp)
[1]https://www.ncdc.noaa.gov/monitoring-references/faq/indicators.phphttp://www.cru.uea.ac.uk/cru/data/temperature
http://data.giss.nasa.gov/gistemp
[2]https://www.earthday.org/campaigns/reforestation/deforestation-climate-change/
[3]Data WALHI Kalimantan Tengah
[4]https://www.republika.co.id/amp/nx32ab361
[5]https://www.pkps.menlhk.go.id/
Satu pemikiran di “Riak Riam di Atas Awan”