Field Trip Rimba Terakhir Delang 2019

Pada Desember 2018 hingga Februari 2019 lalu, WALHI Kalimantan Tengah menyelenggarakan Lomba Menulis dan Fotografi Keadilan Iklim: Wake Up! It’s Time to Save Our Home! Lomba ini diselenggarakan dalam semangat gerakan peduli perubahan iklim yang sedang menyebar luas di seluruh penjuru dunia. Bekerja sama dengan komunitas muda tandakoma.co, lomba ini menyasar kalangan pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa di sekitar Kota Palangka Raya.

Dari kedua kategori lomba, menulis dan fotografi, diperoleh delapan orang pemenang (artikel pemenang lomba). Seluruh pemenang kemudian mempresentasikan karya mereka dalam Event Climate Justice pada bulan April 2019. Dalam event tersebut pemenang secara lebih dalam membahas tentang tulisannya yang berhasil lolos seleksi. Peserta juga mendapatkan tanggapan dari sejumlah panelis yang ahli dalam bidang bidangnya. Hadir sebagai panelis adalah Direktur WALHI Kalimantan Tengah, Peneliti dan Dosen Universitas Palangka Raya, wartawan surat kabar Kompas, serta masyarakat umum sebagai panelis publik.

Sebagai hadiah, para peserta mendapatkan kaos #KaltengTolakDeforestasi dan sertifikat. Para pemenang juga berkesempatan untuk jalan-jalan gratis selama seminggu ke pedalaman Kalimantan Tengah. Perjalanan yang dinamakan Field Trip Rimba Terakhir ini mengambil destinasi ke Kecamatan Delang di Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Rimba Terakhir adalah sebutan untuk hutan dari beberapa desa di Kecamatan Delang yang menjadi wilayah dampingan WALHI Kalimantan Tengah. Rimba Terakhir merupakan kawasan hutan yang masih terjaga kelestariannya dimana masyarakat adat masih leluasa menjalankan tradisi dalam mengelola sumber daya alam di dalamnya (baca salah satu ceritanya disini).

Pada September 2019, field trip Rimba Terakhir dilaksanakan bertepatan dengan pelaksanaan Festival Kampung Desa Kinipan dari Kecamatan Batang Kwa di Kabupaten Lamandau. Dikarenakan kendala personal, hanya dua orang dari pemenang lomba yang akhirnya mengikuti field trip ini. Meski begitu, field trip tetap dilaksanakan sesuai dengan agenda awal, yakni memberikan pengalaman autentik berada di alam yang asri dan berinteraksi dengan masyarakat adat kepada para peserta.

Perjalanan dimulai di pagi hari dari Kota Palangka Raya menuju Pangkalan Bun. Peserta sempat menikmati suasana malam hari di Pangkalan Bun sebelum melanjutkan perjalanan ke Nanga Bulik, ibukota Kabupaten Lamandau. Peserta trip menginap di Nanga Bulik dan melanjutkan perjalanan esok harinya ke desa pertama, Desa Riam Tinggi (baca Desa Riam Tinggi).

Di Desa Riam Tinggi, para peserta mengunjungi beberapa lokasi wisata alam. Desa Riam Tinggi saat ini sedang giat mengembangkan potensi wisata alam yang ada. Mulai dari mendaki Bukit Lubang Kilat, berenang di riam, serta berswafoto di Jembatan Pelangi dilakukan oleh peserta. Namun sayang, peserta tidak sempat mencoba olahraga menantang arung jeram yang juga menjadi salah satu aktifitas outdoor yang disediakan disana. Meski jaraknya tidak terlalu tinggi, jalur setapak Bukit Lubang Kilat yang cukup curam membuat para peserta agak kesulitan untuk menuju puncak. Tapi jerih payah mereka terbayarkan oleh keindahan pemandangan “Negeri di Atas Awan” ketika sampai di puncak.

Desa kedua di Kecamatan Delang yang sempat dikunjungi adalah Desa Kubung. Masyarakat Adat Dayak Tomunt yang mendiami desa ini pernah menghadapi ancaman deforestasi dari sebuah perusahaan kayu, namun berhasil mempertahankan hutan mereka. Hingga hari ini masyarakat disana masih menjalankan tradisi dan budaya mereka, tidak terkecuali dalam mengelola lahan dan sumber daya alam. Bersama masyarakat Desa Kubung, para peserta berbagi pengalaman dan cerita tentang alam.

Perjalanan para peserta terus berlanjut hingga ke Festival Kampung Desa Kinipan di Kecamatan tetangga, Batang Kwa. Meski berbagai acara menarik diselenggarakan disana, peserta hanya dapat menyaksikan perlombaan perahu tradisional, jukung. Masyarakat Adat Desa Kinipan kala itu sedang berjuang untuk mengusir perusahaan sawit yang masuk ke wilayah mereka dan melakukan penghancuran hutan adat. Padahal hutan menjadi penopang hidup masyarakat adat.

Di perjalanan pulang, peserta sempat berkeliling di Nanga Bulik sebelum menuju Sampit. Peserta juga mengunjungi Taman Jelawat di Sampit. Sejak berada di Sampit peserta harus berhadapan dengan asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Karhutla parah sempat melanda beberapa wilayah di Provinsi Kalimantan Tengah sejak bulan Juli hingga Oktober 2019. Padahal selama berada di Kabupaten Lamandau, peserta benar-benar terbebas dari paparan asap. Meski saat itu adalah periode menyiapkan ladang untuk bertanam bagi peladang tradisional, tapi tidak ada asap parah seperti Sampit maupun Kota Palangka Raya. Muncul pertanyaan di benak para peserta apakah selama ini tuduhan kepada peladang tradisional setiap karhutla dan asap terjadi itu keliru? Dengan badan yang letih dan perasaan yang campur aduk, peserta kembali menuju Kota Palangka Raya. Mau tidak mau peserta harus ‘membiasakan’ bernapas dengan mengenakan masker kembali. Meski rasanya ingin berbalik kembali ke Rimba Terakhir dengan alam yang asri dan indahnya, namun perjalanan ini harus berakhir. (akp)

Banyak hal yang dialami oleh para peserta dalam perjalanan mereka ke Rimba Terakhir. Pengalaman itu mereka tuangkan dalam bentuk tulisan. Ayo mengenal mereka lebih jauh melalui perkenalan singkat dan tulisan mereka disini dan disini!

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *