Mencari Asa dalam Penggusuran Pasar Pelita Hilir Puruk Cahu

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pasar merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli. Pasar bisa di mana saja, tidak terbatas ruang dan tidak juga terbatas waktu. Selain sebagai tempat jual beli, sebagian besar masyarakat percaya bahwa pasar merupakan tempat saling silahturahmi, baik dengan teman, saudara bahkan kerabat jauh hingga tempat untuk membuka ruang relasi dalam perluasan usaha para pedagang.

Pada saat ini, terjadi pergeseran yang kerap terjadi, dimana pasar dianggap tradisional, tidak mengikuti perkembangan jaman dan semakin hari terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak pro-terhadap pedagang kecil. Pasar yang awal mulanya dibuat secara swadaya oleh masyarakat digantikan dengan bangunan baru yang dianggap oleh pedagang pasar tradisional “tidak layak”. 

Alasan ketidak layakan yang diungkapkan oleh pedagang kerap tidak didengar oleh para pengambil kebijakan, karena bangunan baru selalu dianggap sudah sesuai dengan spesifikasi kelayakan versi pemerintah.

Hal ini terjadi di Pasar Pelita Hilir, Kota Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Dimana para pedagang diminta untuk pindah atau relokasi dengan alasan telah dilakukan pembangunan pasar baru yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan para pedagang dan para pembeli.

Tentu hal ini terjadi pertentangan dengan para pedagang yang telah turun temurun berada di pasar tersebut, beberapa upaya telah dilakukan oleh pedagang, diantaranya melakukan komunikasi dan koordinasi dengan instansi terkait, anggota dewan, bahkan telah berupaya untuk berkomunikasi dengan Wakil Bupati dan Bupati Kabupaten Murung Raya.

Sejarah panjang 

Berdasarkan informasi dari H. Dudul, tokoh masyarakat yang telah berdagang di Pasar Pelita Hilir selama 22 tahun, pasar tersebut telah ada dan dibangun secara swadaya oleh masyarakat sejak jaman penjajahan Belanda. Pada mulanya Pasar tersebut bernama Pasar Benteng, karena posisi pasar tepat bersebelahan dengan markas pasukan Belanda yang ada disana, bahkan pasar tersebut menjadi salah satu pusat ekonomi pada saat penjajahan. 

Beralih pada penjajahan Jepang, pasar tersebut tidak digusur dan tetap berada di lokasi yang sama dengan sebutan Pasar Benteng, periode kemerdekaan, pasar tersebut berubah nama menjadi Pasar Pelita.

Sebelum terjadinya pemekaran kabupaten, pasar pelita masuk pada wilayah administrasi Kabupaten Barito Utara, pada saat itu, pasar berkembang pesat dan menjadi pusat perekonomian Puruk Cahu yang menghidupi desa-desa disekitarnya, karena perkembangan pasar yang cukup pesat, maka Pemerintah Kabupaten Barito Utara melakukan renovasi pasar dan melakukan perluasan pasar tersebut. Pada proses renovasi Pasar Pelita, para pedagang hanya dipindahkan sementara dan tidak jauh dari lokasi, sehingga tidak mengganggu proses pembangunan dan jual beli tetap berjalan seperti biasanya.

Setelah terjadinya pemekaran kabupaten, pada 2 Juli 2002, Murung Raya resmi menjadi kabupaten sendiri dan berpisah dengan Kabupaten Barito Utara. Pasar Pelita yang berada di Ibu Kota Kabupaten Murung Raya tetap bertahan, hanya terjadi perubahan nama menjadi Pasar Pelita Hilir.

Perbaikan dan pembangunan Pasar Pelita Hilir dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Murung Raya, bangunan yang sudah tidak layak diubah menjadi bangunan pasar permanen tingkat dua dan menggunakan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan nominal proyek mencapai angka 9,7 Milyar. Sayangnya terjadi praktek korupsi pada proses pembangunan pasar tersebut, menyebabkan bangunan yang sudah diresmikan dan ditempati oleh pedagang menjadi miring dan rusak.

Para pedagang pun berinisiatif untuk pindah ke halaman parkir agar tidak membahayakan para pedagang maupun pembeli. Tentu saja ini membuat prihatin banyak orang, karena prilaku korupsi yang terjadi dalam pembangunan pasar, malah membuat masyarakat dan pedagang secara swadaya membangun bangunan semi permanen agar perekonomian rakyat dapat terus berjalan.

Tulang Punggung dan Saksi Bisu Pembangunan

Pemekaran Kabupaten menjadi salah satu tolak ukur bagaimana sebuah daerah dapat menjadi lebih mandiri dalam pengembangan perekonomian di daerah tersebut, secara otomatis Pasar Pelita Hilir menjadi salah satu penopang bagi Ibu Kota Kabupaten Murung Raya dalam memastikan pasokan kebutuhan pokok masyarakat menjadi pusat pembangunan kerakyatan yang terjadi di sana dan secara otomatis merupakan urat nadi perdagangan tradisional.

Perlahan dan pasti, banyak pelaku ekonomi yang terlibat dalam pasar pelita hilir berkembang dan bertahan hingga menjadi pemasok utama kebutuhan dasar masyarakat setempat, sisi lain, pelaku ekonomi semakin berkembang dan membantu laju pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Murung Raya.

Upaya Relokasi Pasar

Paska terkuaknya kasus korupsi pembangunan Pasar Pelita Hilir, Pemerintah Kabupaten Murung Raya melakukan pembangunan pasar baru yang bernama Pasar Bahitom, pemerintah berencana menggabungkan beberapa pasar sayur dan ikan dan berpusat di pasar Bahitom. 

Terdapat pro dan kontra dalam pemindahan atau relokasi yang akan dilakukan ini, karena tidak semua pasar setuju di relokasi, Pasar Pelita Hilir dan Pasar Hunan merupakan pasar yang tidak setuju dilakukan relokasi. Hal ini dikarenakan dapat mengganggu perekonomian para pedagang, buruh angkut, tukang ojek dan getek penyebrangan. Banyak warga tidak setuju dengan adanya perpindahan pasar pelita hilir ke lokasi baru, dikarenakan jarak tempuh menuju Pasar Bahitom yang mencapai 7 kilometer lebih dari lokasi Pasar Pelita Hilir dan menambah pengeluaran baik pengeluaran para pedagang  itu sendiri maupun pengeluaran tambahan bagi masyarakat yang akan berbelanja

Hal ini sangat memberatkan para pedagang Pasar Pelita Hilir dan Hunan dan warga setempat, mereka tidak menolak adanya Pasar Bahitom, bahkan mempersilahkan apabila pemerintah ingin memperluas pasar didaerah lain guna laju pembangunan.

Hingga saat ini, alasan pemerintah untuk melakukan relokasi dikarenakan kondisi bangunan Pasar Pelita Hilir yang miring dan dapat membahayakan, tetapi para pedagang pun sudah mengosongkan bangunan Pasar Pelita Hilir yang rusak akibat korupsi tersebut dan lebih memilih berdagang di wilayah parkir yang berada didepan Pasar Pelita Hilir yang miring.

Upaya Penolakan

Beberapa upaya dilakukan oleh para pedagang, tukang ojek, buruh angkut, getek penyebrangan, dan warga setempat agar tetap bertahan dan tidak direlokasi ke Pasar bahitom, diantaranya dengan melakukan penolakan langsung ketika petugas Satpol PP melakukan pemberitahuan dan memberikan jangka waktu 3 hari untuk pindah. Upaya lainnya dengan berkomunikasi dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Murung Raya. 

Pada tanggal 4 Februari 2020, para pelaku pasar yang melakukan penolakan melakukan doa bersama dan mengundang instansi pemerintah daerah, anggota dewan, tokoh masyarakat setempat. Tujuan dari aksi doa bersama ini guna menolak akan dilakukannya relokasi terhadap Pasar Pelita Hilir ke Pasar Bahitom serta meminta secara langsung agar pemerintah lebih memperhatikan kembali kebutuhan dasar masyarakat dalam berlaku usaha khususnya agar tidak serta merta melakukan relokasi tanpa persetujuan dari mereka.

Mereka sepakat, bahwa pasar itu bagian dari roda perekonomian dimana pasar merupakan salah satu indikator dalam mengurai tingkat kesenjangan dan kesejahteraan masyarakat, maka di anggap perlu dan patut untuk menjadi skala prioritas perhatian pemerintah, tanpa harus memiskinkan mereka.

Pada kesempatan yang sama, pedagang melakukan penggalangan masa dalam proses penolakan perpindahan Pasar Pelita Hilir ke Pasar Bahitom, tercatat 2.496 orang menandatangani penolakan perpindahan pasara Pelita Hilir ke Pasar Bahitom. Masyarakat yang terlibat dan bergantung tehadap Pasar Pelita Hilir meyakini, dukungan ini akan terus meluas. Karena apabila dilakukan relokasi, maka yang terkena dampak bukan hanya para pedagang tetapi juga masyarakat yang bergantung didalamnya. (dnh)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *