Dirasa ada kejanggalan atas kasus penangkapan dan penahanan 3 orang pejuang agraria Desa Penyang oleh Polda Kalimantan Tengah, Koalisi Lembaga Bantuan Hukum dan Organisasi Lingkungan mengajukan pra peradilan.
Rabu (18/3/2020), Koalisi Keadilan untuk Pejuang Agraria Desa Penyang mendaftarkan permohonan pra peradilan di Pengadilan Negeri Palangka Raya. Permohonan ini berkaitan dengan kasus penangkapan dan penahanan tiga orang pejuang agraria asal Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Foto: Walhi Kalteng
Ketiga orang tersebut adalah Hermanus dan Dilik yang ditangkap pada 17 Februari 2020, dan James yang ditangkap pada 7 Maret 2020 oleh Kepolisian Daerah (Polda) Kalteng. Ketiganya ditangkap dan ditahan dengan dugaan pencurian buah kelapa sawit perusahaan atas laporan dari pihak yang disinyalir bersangkutan dengan perusahaan. Namun, Koalisi Keadilan untuk Pejuang Agraria Desa Penyang melihat ada kejanggalan dari penangkapan yang dilakukan oleh Polda Kalteng.
Pada pukul 10.00 WIB perwakilan Koalisi berbondong-bondong mendatangi Pengadilan Negeri Palangka Raya. Koalisi yang didukung oleh 10 orang advokat dari Kota Palangka Raya dan Jakarta ini mendaftarkan pra peradilan untuk dapat menguji dugaan cacat prosedur atas penangkapan dan penahanan tiga pejuang agraria Desa Penyang. Koalisi menganggap proses penangkapan dan penahanan perlu diuji untuk memastikan keadilan bagi ketiganya.
Aryo Nugroho Waluyo, salah satu pendamping dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Palangka Raya, mengatakan, “ketiga warga ditangkap dan ditahan dengan dugaan pencurian buah kelapa sawit, namun kasus sebenarnya adalah adanya kasus sengketa lahan. Kasus ini tidak berdiri sendiri dan bukan merupakan kasus kriminalitas biasa, tapi ada kasus yang melatar belakangi.” Ia juga menyebut hal ini mengindikasikan adanya skenario yang sedang berjalan.
Tiga orang yang ditahan merupakan pejuang agraria yang saat ini tengah memperjuangkan hak warga Desa Penyang atas lahan sengketa dengan perusahaan. Sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT. HMBP II, telah melakukan penyerobotan lahan warga pada tahun 2005. Lahan seluas 117 hektar milik warga Desa Penyang hanyalah sebagian kecil dari lahan yang digarap secara illegal oleh perusahaan. Terdapat lebih dari 1.800 hektar lahan yang berada di luar kawasan HGU (Hak Guna Usaha) dan izin perusahaan digarap dan ditanami pohon kelapa sawit.
Berbagai langkah telah diupayakan oleh warga, hingga mendapat sejumlah rekomendasi dari pejabat dan institusi terkait. Mulai dari rekomendasi Pansus DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kotim, Bupati Kotim, BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kotim, hingga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dalam rekomendasi-rekomendasi tersebut disebutkan bahwa pihak PT. HMBP II harus mengembalikan lahan warga dan beroperasi di dalam kawasan izinnya. Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Novian Hartono, dalam hal ini menegaskan, “sengketa dimulai ketika pihak perusahaan melakukan penyerobotan lahan warga. Seharusnya yang ditindak tegas justru PT. HMBP II, bukan warga yang memperjuangkan hak-haknya.” Ia menambahkan bahwa hal ini sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang berbunyi, “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”

Foto: Walhi Kalteng
Menurut Muhammad Habibi dari Save Our Borneo, berdasarkan hasil temuan Pansus DPRD Kotim tahun 2011, PT. HMBP II tidak hanya beroperasi di luar kawasan HGU dan IUP (Izin Usaha Perkebunan) yang melanggar UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, namun juga dalam kawasan hutan yang bertentangan dengan UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Perlindungan Hutan. Selain itu, perusahaan juga bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, berupa rusaknya sungai dan hilangnya danau yang melanggar UU PPLH No. 32 tahun 2009.
Hingga kini kasus sengketa lahan antara perusahaan dan warga Desa Penyang masih belum terselesaikan karena tidak adanya pertanggung jawaban yang dijalankan oleh perusahaan atas berbagai rekomendasi yang ada. Sehingga mencuatnya kasus penangkapan dan penahanan tiga pejuang agraria Desa Penyang dianggap janggal oleh Koalisi. Sebab jika merujuk pada peraturan perundang-undangan, apabila terjadi kasus pidana di atas kasus perdata seperti kasus sengketa lahan, maka kasus perdata tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu agar dapat diketahui siapa yang dirugikan. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Bama Adiyanto, pendamping dari LBH Kairos, “kami menyayangkan kenapa kasus ini diproses sementara kasus perdatanya belum selesai, sehingga kami ingin memastikan bahwa ini sesuai dengan hukum yang berlaku.” (akp)