Diskusi Webinar Omnibus Law dan Masa Depan Lingkungan di Kalimantan Tengah adalah sebuah seri webinar dari Walhi Kalimantan Tengah. Webinar ini dilaksanakan pada Kamis, 9 Juli 2020. Pada seri webinar ini, Walhi Kalimantan Tengah mengundang sejumlah pemantik dan penanggap dari berbagai kalangan dan kelompok organisasi. Antara lain LBH Palangka Raya, PROGRESS, SP Mamut Menteng, Palangkaraya Clean Action, BEM Universitas Palangka Raya, dan FSLDK Kalimantan Tengah.

Sejak tahun 2019, masyarakat Indonesia dibuat gelisah oleh Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Istilah Omnibus Law atau Omnibus Bill merujuk pada suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih sederhana (wartaekonomi.co.id). Pemerintah telah memasukan draf RUU Omnibus Law ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia sejak bulan Februari lalu (mongabay.co.id). RUU Omnibus Law ini masuk daftar program legislasi nasional 2020.
Draf RUU Omnibus Law yang diajukan Pemerintah Indonesia berisi penyederhanaan 79 UU dengan 15 bab dan 174 pasal yang menyasar 11 klaster (news.detik.com). Draft yang dirancang Pemerintah ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah mengklaim Omnibus Law merupakan penyederhanaan regulasi tanpa mengabaikan prinsip lingkungan. Sejumlah aturan penting dalam penegakan hukum lingkungan dan sumber daya alam mengalami perubahan. Perubahan-perubahan itu tertuang dalam bagian tiga tentang Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan Pengadaan Lahan.
Revisi dan penghapusan dilakukan atas pasal-pasal dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Perubahan diantaranya adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kini hanya menjadi faktor yang dipertimbangan bagi usaha dengan resiko berbahaya, izin lingkungan dihapus, pengadaan lahan dan penggunaan kawasan hutan dipermudah, beberapa pasal sanksi hukum dilemahkan, strict liability dihapus, dan hak partisipasi publik melalui jalur peradilan untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan atau izin usaha melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak ada lagi.
Nantinya, seluruh kewenangan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, sementara kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten, maupun Kota dihilangkan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, menyebut bahwa hal ini bertujuan agar Pemerintah mempunyai daya paksa untuk mempersoalkan dampak lingkungan yang rusak oleh proyek industri (katadata.co.id).
RUU ini akan menyederhanakan aturan perizinan dengan pendekatan berbasis risiko dengan standar yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dalam Peraturan Pemerintah (PP). Namun, kewenangan eksklusif Pemerintah Pusat semacam ini justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Kewenangan instansi berpotensi lebih mudah diubah karena hanya diatur dalam level PP (katadata.co.id). Apalagi selama ini kemampuan Pemerintah Pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia masih sangat terbatas, sedangkan masalah lingkungan hidup bersifat spesifik pada lokasi (Indonesian Centre for Environmental Law/ICEL).

Walhi Kalimantan Tengah secara khusus ingin menyoroti ancaman RUU Omnibus Law ini pada masa depan lingkungan di Provinsi Kalimantan Tengah. Potensi ancaman terhadap lingkungan melalui perubahan-perubahan seperti revisi terhadap aturan sertifikasi AMDAL, penghapusan atas pasal 88 UUPPLH terkait strict liability, dan penghapusan pasal 98, 99, dan 109 berkaitan dengan sanksi pidana terhadap perusahaan, perlu diperhatikan.
Maka dari itu, melalui diskusi webinar ini, Walhi Kalimantan Tengah bermaksud memberikan ruang diskusi kepada berbagai elemen masyarakat. Diskusi webinar yang mengusung judul “Omnibus Law dan Masa Depan Lingkungan di Kalimantan Tengah” Ini diharapkan mampu memberikan gambaran kepada publik terkait dengan RUU yang berpotensi mencelakakan lingkungan hidup dan merugikan masyarakat secara luas.
Alam Surya Anggara dari LBH Palangka Raya menyebut bahwa RUU Cilaka (Cipta Lapangan Kerja) ini bukan menjadi sebuah solusi, tapi menjadi sebuah involusi, pengerutan, atau sebuah kemunduran. Dan jika dilihat dalam prakteknya masyarakat sudah tidak dilibatkan, maka RUU ini justru akan menjadi ancaman bagi masyarakat adat, perempuan, dan terutama masyarakat di Kalimantan Tengah.
Dari PROGRESS, Kartika Sari, mengingatkan bahwa petani, masyarakat adat, buruh, dan perempuan, serta masyarakat di sektor lainnya untuk bersatu menolak Omnibus Law karena memang sama sekali tidak mengutamakan rakyat. Tapi justru mengutamakan hutang dan investasi. Sehingga penting bagi seluruh masyarakat untuk bersama-sama berjuang menuntut hak-hak dasarnya sebagaimana telah diatur di dalam konstitusi.
Sebagai perwakilan suara perempuan, Margaretha Winda menuntut pengembalian wilayah kelola kepada perempuan dan kepada rakyat. Karena mereka punya kemampuan untuk menjaga. Winda menegaskan untuk tidak membiarkan investor yang akan merusak lingkungan, kearifan lokal, budaya gotong royong, dan sumber-sumber dari hutan yang selama ini dimanfaatkan oleh perempuan. Winda menyebut bahwa merdeka adalah dimana rakyat, perempuan, bebas untuk mengelola lahan dan hutannya.
Dimas Novian Hartono, direktur Walhi Kalimantan Tengah menyerukan untuk mengembalikan hak-hak masyarakat dalam hal pengelolaan wilayah. Dimas menyebut hukum di indonesia akan mengalami kemunduran dengan adanya Omnibus Law ini, dimana satu UU mengatur banyak aspek. Sehingga akhirnya memicu banyak gejolak di masyarakat. Dimas menutup dengan tuntutan kepada Pemerintah untuk membatalkan RUU ini dan mempertegas kembali UU yang sudah ada.
Paparan
Krisis Lingkungan di Kalimantan Tengah
Dipaparkan oleh Dimas Novian Hartono – Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah

Ini merupakan gambaran umum kondisi Kalimantan Tengah saat ini. Kalimantan Tengah terdiri dari 15,3 juta hektar yang tentu saja 12 juta hektarnya merupakan kawasan hutan berdasarkan SK (Surat Keputusan) 529 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui SK KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) nya. Dan terdapat sekitar 2,9 juta hektar wilayah yang kita sebut APL (Area Penggunaan Lain), itu bisa pemukiman, bisa infrastruktur dan lain sebagainya.

Untuk hutan primer itu sendiri dari 12,29 juta hektar terdapat 1,24 juta hektar itu merupakan hutan primer dan sisanya hutan sekunder nya itu 6,6 juta hektar yang lainnya bisa macam-macam, ada semak belukar dan sebagainya. Tetapi statusnya masih masuk kawasan hutan.
Dengan luas gambut mencapai 3,3 juta hektar, ini berdasarkan data gambut yang dikeluarkan Kementan (Kementrian Pertanian) pada 2011 yang lalu. Kalau untuk update terkininya itu dikeluarkan Kementan pada tahun 2019 kemarin. Kita belum mengetahui berapa luasan yang tersisa untuk gambut. Kenapa? Karena memang hingga detik ini pun Kementan belum merilis secara terbuka terkait luasan gambut yang SK-nya terbit pada 2019 yang lalu.
Tentu saja dengan sumber daya alam yang besar ini banyak lokasi-lokasi atau kawasan hutan yang saat ini masih berkonflik, khususnya dengan masyarakat dimana banyak ladang-ladang atau wilayah kelola masyarakat yang masuk kawasan hutan tanpa sepengetahuan masyarakat yang ada didalamnya itu sendiri.
Kalau berdasarkan tata ruang Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat 400 desa dalam kawasan hutan. Meskipun terminologi ini kami kurang begitu menyetujui. Kenapa? Karena kan sebenarnya kawasan hutan itulah yang masuk ke dalam kawasan desa, bukan desa yang masuk ke dalam kawasan hutan. Tetapi karena ini terminologi yang dikeluarkan oleh tata ruang kita, maka terdapat 400 desa masuk ke dalam kawasan hutan.

Ini merupakan izin-izin yang ada di Provinsi Kalimantan Tengah, untuk HPH, HTI, dan restorasi ekologis terdapat 5.4 juta hektar yang sudah dikuasai oleh investasi. Dan untuk sektor pertambangan sendiri terdapat 1,8 juta hektar sedangkan untuk industri perkebunan kelapa sawit itu terdapat 3.9 juta hektar.
Sehingga kan memang bisa kita lihat berdasarkan peta tersebut, hampir sekitar 80% sudah dikuasai oleh investasi untuk wilayah Kalimantan Tengah. Ini persentase penguasaan lahannya yang sudah ada disitu luas wilayah kita seluas 13,4 juta hektar, kawasan hutannya sudah dipenuhi, terus belum lagi ada izin pertambangan, izin kehutanan, dan izin perkebunan kelapa sawit.
Dan tentu saja karena adanya perizinan tersebut terdapat 72 desa yang masuk dalam kawasan perizinan perkebunan, bahkan ada desa yang berada di dalam HGU (izin) perusahaan. Yang seharusnya juga sekali lagi kalau kata kami terminologi yang sebenarnya adalah perusahan-perusahaan tersebut itulah, izin-izin perkebunan tambang dan industri kehutanan itu yang masuk ke kawasan desa. Tetapi tata ruang kita selalu menyatakan 72 desa termasuk dalam perizinan perkebunan.

Ini sedikit gambaran yang sedang ramai saat ini, food estate yang akan ada di Kalimantan Tengah. Tentu saja data ini belum kita update karena berdasarkan dorongan dari Pemerintah Provinsi sendiri sekitar 700.000 hektar itu akan ada rencana pengembangan food estate. Sedangkan dari Pemerintah pusat, dari 900.000 turun ke 300.000 turun ke terakhir ini ada 165.000 hektar.
Peruntukannya untuk siapa? Berdasarkan pengembangan yang dilakukan Banlitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Provinsi Kalimantan Tengah sendiri, murni dikembangkan melalui sektor swasta. dan atau pola kemitraan. Sehingga ketika dipertanyakan apakah ini diperuntukan untuk petani-petani lokal, ketika Banlitbang menyatakan itu murni untuk sektor swasta, maka saya menapikan itu memang buat masyarakat, tetapi memang fungsinya untuk sektor swasta atau perusahaan.
Karena berbicara food estate sebenarnya, pengertian dari food estate itu kan korporatisasi tanaman pangan. sehingga corporate lah yang akan bekerja beraktifitas di dalam food estate tersebut, bukan petani-petani lokal maupun bukan masyarakat setempat yang mengelola wilayah itu sendiri.

Kami melihat adanya penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam ditambah dengan lemahnya regulasi dan penegakan hukum, baik oleh aparat penegak hukum di tingkat daerah maupun nasional itu menambah kembali persoalan dalam mewujudkan tata kelola lahan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tercatat berdasarkan data yang kami kelola di Walhi sendiri terdapat 344 konflik lingkungan di Kalimantan Tengah. Dan ini beberapa dokumentasi kita.

Selain regulasi yang diatur pemerintah, ada penegakan hukum yang tegas, kolaborasi dengan masyarakat sipil untuk mengawasi dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran di wilayah mereka, menjadi aspek penting dalam mewujudkan penegakan hukum di sektor sumber daya alam. Ini yang harus diperbaiki sebenarnya, bagaimana regulasi yang diatur pemerintah serta tegasnya penegakan hukum itu, khususnya bagi korporasi-korporasi yang melanggar hukum itu bisa ditegakan.

Dan kolaborasi bukan hanya dengan oknum-oknum tapi seluruh masyarakat sipil untuk mengawasi dan melaporkan pelanggaran yang ada di wilayah mereka. Sisi lain daerah juga harus lebih kritis dan tidak menjadi pengikut untuk program-program pusat. Kenapa kita bilang menjadi pengikut?
Karena begini, berdasarkan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) salah satu contoh kasusnya, yang ditandatangani melalui Perpres nomor 18 tahun 2020 yang lalu bahwa tidak ada percetakan sawah di Kalimantan Tengah atau di wilayah eks PLG (Pengembangan Lahan Gambut). Realitanya saat ini tiba-tiba tercetus lah melakukan program cetak sawah atau food estate di lokasi eks PLG yang seharusnya diperuntukan untuk reforestasi maupun restorasi.

Memang dalam prakteknya, mewujudkan transformasi di sektor penegakan hukum sumber daya alam memerlukan komitmen aparat penegakan hukum, sistem pengawasan, dan pelaporan tersosialisasi dan dimonitoring dengan baik. Komitmen inilah yang harus didorong dari pusat ke daerah maupun sebaliknya. Memperkuat perlindungan bagi pejuang lingkungan dan saksi ahli lingkungan hidup, serta transparansi data perizinan serta pelanggaran administratif yang dilakukan industri berbasis lahan.
Kenapa menjadi penting perlindungan bagi pejuang lingkungan? Karena hingga detik ini banyak sekali masyarakat yang dikriminalisasi karena melakukan perjuangan-perjuangan terhadap perlindungan wilayahnya, khususnya dari investasi yang masuk.
Celakanya apabila Omnibus Law ini akan hadir atau sudah terbit, maka bagi pejuang lingkungan, khususnya di sektor pertambangan itu tidak bisa lagi memperjuangkan wilayah kelolaannya atau mempertahankan wilayah kelolanya dan itu bisa dikriminalisasi.

Yang menjadi penting ke depan adalah bagaimana melakukan evaluasi perizinan di sektor pengelolaan sumber daya alam, diantaranya perkebunan, pertambangan, dan industri kehutanan. Melakukan audit lingkungan dan mendorong pertanggungjawaban mutlak korporasi dalam perusakan lingkungan yang terjadi, menyelesaikan konflik-konflik lahan yang ada di Kalimantan Tengah, serta tidak ada pemberian izin-izin baru, dan memberikan pengakuan atas wilayah kelola rakyat dan yang terakhir melaksanakan putusan kasasi atau gugatan asap oleh warga negara.
Ini yang menjadi sangat penting juga, karena kita ketahui bersama warga negara Kalimantan Tengah sudah melakukan gugatan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ke Pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Di Pengadilan Negeri, masyarakat Kalimantan Tengah menang, di Pengadilan Tinggi pun dimenangkan oleh masyarkat Kalimantan Tengah, hingga ke Mahkamah Agung. Sayangnya eksekusi dari putusan tersebut tidak pernah berjalan atau tidak pernah dilaksanakan.
Kalau ini bisa dijalankan, maka kita berharap karhutla tidak perlu terjadi lg di tahun-tahun berikutnya. Serta banyak masyarakat Kalimantan Tengah yang sudah terpapar oleh asap dari karhutla dan menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) itu bisa diobati di Rumah Sakit kelas A yang dibangun sendiri di Kalimantan Tengah, khusus Rumah Sakit paru-paru
Ini adalah contoh dimana para pejuang lingkungan yang akhirnya dikriminalisai. Ini di Desa Penyang. Sebenarnya ada tiga, cuma salah satunya sudah meninggal. Disini ada Dilik dan james Watt, yang meninggal adalah Almarhum Hermanus.

Kita ingat bahwa dulu ketika Tjilik Riwut pernah mengatakan orang Dayak punya harta berupa tanah dan air, tapi selalu kesusahan bahkan berkekurangan. Kenapa? Karena mereka tidak bisa mempertahankan wilayah keolala rakyatnya dan merasa dimunafikan, bahwa mereka mampu untuk mengelolanya.

Ancaman RUU Omnibus Law terhadap Lingkungan
Dipaparkan oleh Alam Surya Anggara – Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya

Jika berbicara Omnibus Law, saya teringat dengan karya Samuel Beckett yang berjudul menunggu Godot (Waiting for Godot). Kenapa akhirnya saya anggap RUU Cilaka ini sebagai Godot? Pertama, karena rakyat Kalimantan Tengah terdampak asap karhutla itu telah kehilangan haknya untuk menikmati lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Kemudian kekerasan terhadap perempuan, dan lagi konflik sumber daya alam terus meningkat setiap tahunnya, dan rakyat Kalimantan Tengah juga telah kehilangan Hermanus. Yang dia harus meregang nyawa setelah mengalami penangkapan bersama James Watt dan Dilik yang saat itu sedang memanen di atas tanahnya sendiri.

Sebenarnya mereka sedang menunggu pemenuhan hak-haknya, mereka bukan sedang menunggu Godot. Godot itu nama tokoh yang ditunggu-tunggu oleh dua sahabatnya. Tapi bahkan mereka tidak tahu siapa dan untuk apa mereka menunggu.
Jadi jika Godot itu adalah RUU Cilaka yang diharap-harap oleh Pemerintah, maka justru ia sangat dikhawatirkan oleh rakyat. Karena tak jelas substansinya dan hanya membuat rakyat cemas. Dan bisa jadi rakyat tertindas oleh situasi yang sangat membingungkan. Jangan sampai kita menjadi Vladimir dan Estragon (tokoh yang menunggu Godot) yang terus menantikan Godot.

Jelas RUU Cilaka ini akan berdampak buruk dan akan meminggirkan kelompok rentan.

Kemudian jika melihat banyak pembahasan di dalam RUU Cilaka Omnibus Law ini adalah kalau saya meminjam istilahnya (tidak terdengar), bis yang overload. Kenapa? Karena ada sekitar 11 klaster, kemudian kurang lebih ribuan pasal.

Kemudian ada pembagiannya, kurang lebih menjadi penerapan perizinan-perizinan berusaha, penyederhanaan persyaratan dasar penyederhanaan perizinan berusaha sektor dan kemudahan serta persyaratan investasi.

Setidaknya ada tiga persoalan yang memang membuat RUU Cilaka harus digugat, yaitu prosesnya tertutup dan tidak transparan. Bahkan di tengah pandemi COVID saat ini, DPR itu tetap melanjutkan pembahasan RUU Cilaka, tanpa keterlibatan dari masyarakat. Kemudian prosesnya juga tidak melibatkan masyarakat yang akan terdampak. Dan proses rencana dan penyusunnya melanggar berbagai asas dan ketentuan hukum.

Banyak pakar menganggap bahwa RUU Cilaka ini banyak pertentangannya antara satu dengan lainnya. Kemudian saya mencatat ada tiga sektor kritis, pertama terkait dengan yang paling banyak pembahasannya, mengenai sektor ketenagakerjaan, tapi juga sektor pertanahan, dan lingkungan serta pangan.

Kemudian saya mencatat ada tiga sektor kritis, pertama terkait dengan yang paling banyak pembahasannya, mengenai sektor ketenagakerjaan, tapi juga sektor pertanahan, dan lingkungan serta pangan.

Kita tahu bahwa Omnibus Law ini memang mungkin menurut Pemerintah memang diharapkan untuk memudahkan investasi, tapi jangan salah bahwa ada banyak hal yang ada banyak alasan sehingga Omnibus Law ini dicetuskan oleh Pemerintah. Salah satunya karena kegagalan kekalahan kita di WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), yang terkait dengan impor pangan.

Mungkin tidak mudah dengan begitu saja memudahkan urusan investasi kemudian mengabaikan rakyat. Salah satunya dengan ada ruang hidup masyarakat yang kemudian dirampas. Bagaimana soal tanggung jawab korporasi soal AMDAL, soal konsesi abadi, yang dalam hal ini Prof. Maria sebagai pakar pertanahan juga kurang setuju dengan konsep membuat konsesi menjadi abadi. Justru malah ini bertentangan dengan semangat reformasi.
Setidak-tidaknya YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) mencatat bahwa ada gejala atau modus ini, semacam arus balik. Jadi kita sudah berada di era desentralisasi, tapi kemudian Pemerintah ingin menarik lagi kembali ke konsep sentralisasi. Yang kita tahu bahwa selama 32 tahun kekuasaan penuh ada di sentral, ada di pusat.
Kemudian ada ketimpangan sanksi pidana bagi masyarakat dan pengusaha, itu terlihat jelas sekali di beberapa pasal di RUU Omnibus Law dan justru itu meningkat, jika RUU Cilaka ini disahkan. Ini justru semakin meningkatkan ketidakpastian usaha. Bayangkan saat ini pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), pelaku usaha kecil di Kalimantan Tengah terdampak karena COVID. Bisa jadi dengan disahkannya RUU Cilaka ini malah justru tidak ada jaminan bagi pelaku UMKM.

Ada tiga poin tuntutan masyarakat terhadap RUU cilaka saat ini yang pertama adalah menghentikan pembahasan RUU Cilaka dan RUU lainnya dalam kerangka Omnibus Law. Jadi setidaknya ada beberapa RUU yang menggunakan konsep atau kerangka Omnibus Law, salah satunya RUU Cilaka ini.
Dan sebenarnya pemerintah justru harus lebih fokus pada pemenuhan hak-hak kelompok rentan, masyarakat miskin, masyarakat yang terdampak asap di Kalimantan Tengah, dan terutama pelaku UMKM, dan melibatkan masyarakat secara sungguh-sungguh dalam setiap proses perubahan kebijakan.
Kita tahu bahwa kita bisa bilang bahwa pembahasan RUU Cilaka ini sangat tergesa-gesa. Kita pernah punya catatan, kita pernah punya ingatan, bahwa dengan disahkannya UU KPK dengan terburu-buru, kemudian baru saja kita juga ada dikejutkan dengan pengesahan uu pertambangan, minerba. Bayangkan masyarakat yang terdampak, sudah bisa dipastikan tidak dilibatkan dalam setiap proses perubahan kebijakannya.

Dampak Omnibus Law Terhadap Kehidupan Masyarakat di Kalimantan Tengah
Dipaparkan oleh Kartika Sari – Direktur dari Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (PROGRESS)

Latar belakang lahirnya Omnibus Law di indonesia. Krisis ekonomi sebagai dasar lahirnya Omnibus Law di indonesia. Kalau kita melihat pertumbuhan ekonomi di dunia hari ini hanya 3-4%. Hal ini menunjukan bahwa adanya stagnasi dan memburuknya perekonomian di dunia akibat kebijakan neoliberal yang terus menerus dipaksakan untuk diterapkan dalam mengatasi krisis. Hal ini tampak dari adanya defisit yang secara terus menerus, baik di Amerika Serikat maupun Uni Eropa.
Kebijakan neoliberal itu sendiri kemudian bertujuan untuk mempercepat eksploitasi sumber daya alam, mobilisasi buruh murah, dan pasar. Karena di negara-negara maju itu kecenderungan mereka over produksi, sehingga mereka perlu pasar untuk membuang barang-barangnya. kemudian dengan menghilangkan hambatan dengan cara menambah hutang, mencabut subsidi, mempermudah investasi, memotong upah buruh.

Bagaimana dengan perekonomian di indonesia? Hari ini rata-rata perekonomian di indonesia itu 5,3% pertumbuhannya menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2020, kalau kata Sri Mulyani ini akan melebar hingga 6,72% dari pendapatan domestik bruto. Atau sekitar 1.028,6 triliun. Padahal target Pemerintah itu kalaupun ada defisit itu 5% hingga 5,07%, artinya sekitar 830-an triliun.

Kemudian solusi yang ditawarkan dari Pemerintah hari ini untuk menangani masalah krisis ekonomi di indonesia, yaitu menggunakan Omnibus Law karena Omnibus Law ini adalah konsep pembentukan UU untuk mengatur masalah yang sebelumnya diatur oleh sejumlah UU yang sekaligus bisa merevisi beberapa UU atau regulasi yang tumpang tindih, serta memangkas kendala birokrasi di sektor investasi.
Dalam hal ini Pemerintah meminta DPR untuk menggabungkan UU ini kedalam 2 bentuk. kemudian Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Omnibus Law Perpajakan. Harapan Pemerintah atas Omnibus Law dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan investasi dan ekspor. Selain itu juga menyerap tenaga kerja lebih besar lagi, karena kalau kita lihat juga pengangguran bertambah drastis terutama di saat COVID ini. Serta kemudian menghilangkan tumpang tindih antar perundang-undangan dan menghilangkan birokrasi yang berbelit. Makanya kalau kata Jokowi, segala bentuk kendala regulasi harus disederhanakan, harus dipotong, harus dipangkas.

Ini beberapa klaster pembahasan untuk Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Kalau dari pembahasan ini saja kalau kita melihat penyederhanaan izin berusaha, kemudian dimudahkannya investasi, adanya revisi untuk masalah ketenagakerjaan, serta pengadaan lahan, ini menunjukan sekali bagaimana Pemerintah hari ini lebih memihak semata-mata kepada perusahaan-perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan besar. Karena kalau kita melihat persentase peningkatan dari perekonomian itu ya di kalangan-kalangan tertentu saja, di kalangan pengusaha-pengusaha besar. Tapi tidak kemudian dengan rakyatnya. terutama dalam kondisi COVID dimana banyak PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan susahnya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri.

Kalau ini untuk di perpajakan, bahkan di perpajakan sekalipun tarif penghasilan, pajak penghasilan untuk badan usaha itu dipermudah. Jadi tidak hanya kemudian perijinan pengadaan tanahnya, dan tenaga kerjanya, tapi juga masalah pajaknya. Kalau saat ini untuk tarif pajak itu kan 25% untuk perusahaan atau badan, ini akan diturunkan ke 22% sampai di 2023 akan diturunkan menjadi 20%. Begitu juga adanya pengurangan tarif untuk pajak badan yang go public. Ini sangat nampak kalau kita melihat Omnibus Law nya sendiri.

Apakah kemudian ancaman kepada masyarakat Kalimantan Tengah pada khususnya terkait dengan Omnibus Law? Penguasaan Kalimantan Tengah hari ini banyak dikuasai oleh korporasi besar, baik itu HTI (Hutan Tanaman Industri) ataupun tambang dan sawit. Belum Omnibus Law ini diberlakukan, konflik itu sudah muncul, sudah sangat banyak, sudah sangat masif.
Penguasaan lahan juga sudah sangat masif, investasi, apalagi kemudian nanti kalau Omnibus Law ini diberlakukan. Artinya rakyat harus siap-siap bertambah beban berkali-kali lipat karena kalau kita melihat ancamannya kaum tani, masyarakat adat, perempuan, itu akan semakin menderita dengan semakin masifnya perampasan lahan oleh korporasi besar. Dengan meningkatnya investasi, mereka juga kehilangan akses dan kontrol atas sumber daya alam.
Semakin meningkatnya secara otomatis meningkatnya kekerasan yang dilakukan oleh negara untuk melancarkan jalannya investasi ini dengan semakin banyaknya kriminalitas dan represifitas, seperti yang terjadi di Penyang. Kemudian pencabutan subsidi bagi masyarakat, bahkan di tengah COVID sekalipun, listrik naik, BPJS naik, dan kebutuhan dasar kebutuhan pokok masyarakat juga naik. Padahal banyak orang yang di PHK. Artinya dari situ saja sudah kelihatan bagaimana buruh menderita.
Hari ini buruh tidak sudah berurusan dengan upah yang dibayar dibawah UMP (Upah Minimum Provinsi). Kalau kemudian Omnibus Law diberlakukan akan semakin mempermudah dalam memangkas upah buruh, semakin mudah terjadinya PHK masal, memperburuk kerja buruh, dan bertambahnya beban kerja. Karena kalau kita lihat Omnibus Law ada pertambahan jam kerja, kemudian tidak perlu adanya pesangon, PHK, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi neoliberal itu terbukti semakin memperburuk kehidupan rakyat.

Omnibus Law ini semata-mata dibuat untuk mempermudah masuknya investasi yang dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi dan tanpa memperdulikan pendapat rakyat yang sedang menghadapi derita wabah COVID-19. Kemudian pertambahan dan percepatan investasi terutama oleh korporasi besar secara langsung akan mengakibatkan semakin bertambahnya perampasan dan rusaknya sumber daya alam.
Masyarakat adat, petani, buruh, dan masyarakat di sektor yang lainnya dengan melihat kenyataan seperti ini, kemudian ini yang menjadi dasar untuk menolak Omnibus Law. Dan ini juga yang menjadi dasar untuk terus berjuang dalam menuntut hak-hak dasarnya sebagaimana sebenarnya itu sudah diatur di Konstitusi.
Potensi Ancaman RUU Omnibus Law dan Dampaknya Terhadap Perempuan
Dipaparkan oleh Margaretha Winda Febiana Karotina – Direktur dari Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng

SP melihat jika RUU ini disahkan, jika RUU ini jadi pedoman, tentunya masyarakat, khususnya perempuan Dayak yang akan menderita. Kenapa menderita?

Karena selama ini perempuan Dayak sangat bergantung terhadap hutan. Ketika RUU ini disahkan kemudian banyak investasi yang masuk, tentunya perempuan akan kehilangan akses dan kontrol terhadap hutan dan lahan yang dimana tempat mereka, pasar bagi mereka, lumbung kehidupan bagi mereka.

Yang kedua, saya melihat ketika ada rencana program cetak sawah ternyata bibit-bibit dan metode pertaniannya akan berbeda dengan apa yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh orang Dayak, perempuan Dayak. Berarti lambat laun, kearifan lokal perempuan Dayak dan masyarakat pada umumnya akan hilang. Padahal pola-pola pertanian mereka sudah dilakukan secara turun temurun.
Yang ketiga, ada program transmigrasi Pemerintah yang tentunya akan meminggirkan inisiatif dan pengetahuan perempuan dalam mengelola dan memanfaatkan lahan gambut. Dari dulu masyarakat Dayak, perempuan Dayak itu, sudah punya inisiatif untuk mengelola lahannya, untuk mengelola sumber penghidupannya dengan cara mereka. Kalau misalnya sekarang harus berubah cara, berubah untuk mengelola pertaniannya, tentunya butuh proses yang memang harus mereka pelajari.
Dan saat ini yang dibutuhkan oleh mereka bukan orang baru yang mengajari mereka tentang tata cara berkebun, tapi bagaimana mereka diajari untuk pertanian model baru. Tapi saya yakin itu tidak akan berhasil karena masyarakat terutama perempuan Dayak sudah punya inisiatif secara turun temurun, sudah punya pengetahuan yang turun temurun untuk mengelola lahannya. Masuk investasi mengakibatkan semakin sempitnya ruang kelola hutan dan lahan perempuan akibat perampasan lahan. Ini pasti akan terjadi. Kita bisa lihat jika investasi ini sudah mulai masuk.
Berhubungan dengan lumbung pangan perempuan, dimana selama ini perempuan Dayak itu melestarikan bibit lokal kemudian menjaga, merawat, ada inisiatif dan pengetahuan dalam mengelola sumber penghidupannya, yakni lahan dan hutan. Ketika masuk investasi, tentunya ruang kelola mereka semakin sempit dan mereka tidak bisa mengakses kembali hutannya. Karena ada pembatasan-pembatasan pasti yang dibangun oleh investasi.

Terkait penghapusan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), ini yang lebih parahnya lagi ketika dalam RUU Cilaka ini juga melemahkan posisi AMDAL yang akan berdampak pada semakin rentannya masyarakat mengalami pelanggaran hak, termasuk pelanggaran hak atas lingkungan yang sehat. Kita juga sebagai manusia, sebagai rakyat Indonesia juga punya hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat. Tapi ketika AMDAL ini dihapuskan, tidak wajib ada AMDAL, maka ruang partisipasi masyarakat pun menjadi semakin kecil.
Selama ini perempuan selalu jadi nomor dua dalam ruang-ruang pengambilan keputusan, dalam ruang-ruang partisipasi. Kemudian ketika AMDAL ini dihilangkan tentunya semakin mengerucut, semakin meminggirkan perempuan dalam ruang-ruang pengambilan keputusan, membatasi akses masyarakat baik perempuan atau laki-laki untuk menyampaikan pendapat atau mengajukan keberatan atas proyek/investasi di dalam dan sekitar wilayah kelola mereka. Ini mengerikan bagi saya!

Dokumen AMDAL dibuat dengan salah satunya mewajibkan adanya konsultasi dan pelibatan masyarakat secara rencana proyek yang akan masuk di wilayah mereka. Kalau AMDAL tidak diwajibkan lagi, bagaimana nantinya partisipasi masyarakat untuk menyetujui, melihat proyek ini bagus atau tidak atau investasi ini baik atau tidak bagi mereka? Ada tercantum di PP No.24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik. Ini menyeramkan bagi saya!

Ini dia inisiatif dan pengetahuan perempuan untuk kedaulatan pangan. Kalau kita bicara, kita diskusi dengan perempuan-perempuan Dayak. Ketika mereka mengelola lahannya, hasil panennya itu tidak habis dimakan dua tahun.
Berbeda dengan sekarang, bibit yang diberikan yang diimpor dari luar itu ternyata gagal panen. Pupuk pun dikenalkan dengan pupuk-pupuk kimia. Padahal perempuan zaman dulu tidak pernah menggunakan pupuk kimia, adapun pupuknya selalu tradisional yang ramah lingkungan.
Dan kalau sekarang percetakan sawah ini ada, saya dengar-dengar juga bibitnya akan didatangkan dari luar. Kemudian pasti menggunakan pupuk-pupuk kimia yang tentunya akan menghancurkan lingkungan.

Selain lahan perempuan, perempuan juga memanfaatkan sumber daya hutan, salah satunya rotan. Rotan adalah salah satu komoditi yang memiliki nilai ekonomi bagi perempuan. Pada zaman dulu perempuan Dayak ini selalu menganyam, ada nilai ekonomi, perempuan bisa membuat anyaman dan menjualnya. Saat ini semakin sempit ruang kelola, ruang aksesnya untuk mengakses hutannya. Sehingga rotan ini semakin sulit untuk dijumpai.

Penanggap
Efapras Meihaga – Presiden Mahasiswa BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Palangka Raya
Disini kita dari mahasiswa juga sebenarnya sudah beberapa kali mengkaji terkait Omnibus Law ini, khususnya dalam bidang lingkungan. Disini juga kita ada catatan tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam RUU Omnibus Law Cilaka.
Disana memang dijelaskan lingkungan hidup itu adalah lingkungan fisik, kimia, kondisi masyarakat di sekeliling, dan organisme hidup yang ada disana. Jadi lingkungan hidup itu bukan hanya kita berbicara tentang hutan, tumbuhan, dan sebagainya, tapi juga tentang apa yang hidup disana juga. Kemudian keseluruhan lingkungan fisik, ekonomi, budaya, kesenian dan lingkungan sosial, serta beberapa faktor di sekeliling yang mempengaruhi nilai kepemilikan dan kualitas hidup masyarakat. Itu juga termasuk dalam masalah lingkungan.
Tapi hadirnya Omnibus Law ini yang menjadi pertanyaan kita bersama. Pertanyaan pertama yang kami lontarkan adalah untuk siapa ini dibuat? Apakah ini memang kemauan masyarakat atau memang kepentingan dari Pemerintah? Memang tujuan utamanya adalah baik, untuk pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Tapi yang harus kita perhatikan juga masyarakat kita di Kalimantan Tengah, terkhususnya. Apakah ini menguntungkan bagi masyarakat atau hanya bagi sebagian korporasi?
Kemudian disini, Omnibus Law membuat lingkungan hidup semakin terancam. Ada beberapa hal yang menjadi indikator kami dalam diskusi biasanya. Berubahnya perizinan berusaha menjadi berbasis risiko, dengan tidak ada kejelasan indikator risiko. Jadi banyak sekali perubahan yang terjadi disana. Dalam pembahasannya juga tidak ada transparansi, tidak ada keterlibatan masyarakat, melanggar berbagai asas-asas hukum dan prinsip-prinsip seperti yang sudah disampaikan tadi. Memang benar adanya.
Bahkan kami juga berdiskusi dengan Serikat Buruh kemarin. Mereka juga kurang, tidak ada partisipasi dari mereka untuk membahas tentang hal-hal seperti ini. Yang kita takutkan adalah ketika ini disahkan itu tadi neoliberalisme terjadi di wilayah kita. Yang pasti adalah konflik agraria pasti terjadi, perampasan lahan itu akan terjadi.
Dalam pengimplementasinya, penerapan perizinan berbasis risiko dinilai bahaya sekali. Potensi terjadinya bahaya terbagi menjadi empat, tidak pernah terjadi, jarang terjadi, pernah terjadi, sering terjadi. Jadi berubah dia konsep-konsep masalah lingkungan, perizinannya diubah, perizinan lingkungan diubah menjadi perizinan tingkat resiko.
Jadi dilihat dari resikonya, kemudian tadi masalah kita bahas juga AMDAL, kriteria AMDAL dihilangkan, dan AMDAL dihapus, diganti dengan dampak penting yang ada di lingkungan. Yang saya ingin sampaikan adalah tentang lingkungan kita nanti kedepannya bagaimana? Setiap orang yang tindakannya, usahanya, atau kegiatannya di wilayah kita itu bagaimana? Apakah dia nanti akan mengikuti Omnibus Law atau tidak?
Kemudian yang paling kami soroti adalah kembalinya sentralisasi oleh Pemerintah Pusat dan berkurangnya partisipasi masyarakat dan kearifan lokal. Jadi secara tidak langsung disini memang kita rasa semangat reformasi, semangat juang kita ‘98, untuk adanya desentralisasi itu sudah hilang. Dan kita lihat sekarang perizinan-perizinan sudah tidak ada di kabupaten, kota, provinsi.
Beberapa hari yang lalu ada senior saya juga yang mau mengurus izin, itu harus ke pusat. Jadi masalah perizinan, masalah perundang-undangan ini dipusatkan ke Pemerintah Pusat, tidak ada lagi di daerah. Ini yang menjadi kekhawatiran kita bersama, mahasiswa yang ada di seluruh Indonesia.
“Bangkitnya Orde Baru Banget”. Itu adalah tagline yang kita bawakan. Dalam Pasal 18 UU 1945 disebutkan secara jelas hubungan dan kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dalam UU memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Dan kalau seperti ini berarti tidak memperhatikan keragaman daerah yang ada.
Hubungan pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan lain-lain, antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan UU, berdasarkan aturan diatas. Maka dapat dikatakan bahwa secara garis besar hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah baiknya menyangkut hubungan kewenangan maupun keuangan harus dilaksanakan secara selaras dan adil berdasarkan UU.
Terkait kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Pasal 63 UUPPLH diatur mengenai tugas dan wewenang dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Namun pada Omnibus Law seluruh kewenangan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Dan dihilangkannya kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten, maupun Kota di atas berpotensi memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Dan ini juga mencederai otonomi daerah dan partisipasi dari masyarakat itu sendiri. Ini yang kita takutkan terjadi.
Di dalam negara kita dan hari ini juga kalau kita lihat banyak sekali program Pemerintah Pusat tentang di bidang pendidikan, khususnya di kemahasiswaan itu kampus mengharuskan kita fokus untuk berkuliah. Dimana ruang diskusi kita untuk mendiskusikan hal-hal seperti ini kita semakin dikekang oleh aturan-aturan seperti ini. Jadi ruang demokrasi kita dipersempit. Rakyat disini menjerit, siapa lagi kalau tidak kita, kaum intelektual, pemuda saat ini. Masyarakat luas tidak bisa berbicara, rakyat semakin menjerit.
Siapa yang diuntungkan disini? Itu jadi pertanyaan bagi kita. Yang diuntungkan sudah jelas kita tahu bersama, kaum-kaum elit kita yang ada disana, bukan rakyat disini.
Indra Hari Darmawan – Ketua Palangkaraya Clean Action (PCA)
Mengenai pendapat dari saya sendiri sebagai milenial dan juga anggota maupun ketua dari komunitas yang memang fokusnya ke bidang lingkungan. Jadi memang seperti yang disebutkan oleh teman-teman tadi, sebelumnya pemateri atau penanggap dari Presma UPR itu benar sekali. Karena memang Omnibus Law yang khususnya di RUU Cipta Kerja ini. Walaupun sebenarnya masih bersifat draft, belum UU resmi. Tapi kemungkinan dalam pikiran kami, sendiri bahwa ini akan dikebut untuk pengesahannya.
Karena yang pertama yang disebutkan oleh pemateri tadi, berkaitan dengan COVID, berkaitan dengan pembukaan lapangan kerja, dimana proses Omnibus Law ini akan mendukung yang namanya pengikatan investasi di suatu daerah. Tapi yang kami perhatikan sendiri sebagai pemerhati lingkungan itu terkait ada beberapa poin.
Salah satunya poin yang kami sedikit mengerutkan dahi karena di tahap yang di UU sebelumnya bahwa memang yang disebutkan AMDAL sekarang dihapuskan, digantikan dengan penilaian resiko tadi. Dimana waktu dulu perizinan AMDAL itu dibentuk dan diawasi oleh masyarakat, sehingga bukan hanya masyarakat yang terdampak tapi juga pemerhati lingkungan, seperti contohnya mungkin Walhi dalam hal ini bisa menyampaikan opini, bahkan mungkin opininya bisa diterima dalam penyusunan AMDAL. Sehingga itu yang akan digaris bawahi sebagai bentuk perizinan usaha. Tapi sekarang tidak lagi, bahkan sekarang lingkupnya sudah dikecilkan sebagai masyarakat yang terdampak ini.
Yang sering kami pertanyakan bahkan ke Dinas Lingkungan Hidup, bahwa masyarakat yang terdampak ini lingkupnya dari bagian mananya. Sementara kalau yang teman-teman kita yang merasa juga terdampak, walaupun radius tinggalnya tidak dekat dengan unit produksi. Apakah mereka tidak bisa protes? Atau opininya tidak didengarkan? Itu kan menjadi satu pertanyaan dari kita.
Kenapa AMDAL ini mulai dihapus? Mungkin ada tendensi untuk menguntungkan investor dan pelaku usaha. Yang mana kami sendiri berpikir bahwa AMDAL itu sangat penting. Pertama poinnya adalah sebagai rem, bagi pelaku industri untuk memperhatikan kebijakannya ataupun proses produksinya agar lebih ramah lingkungan. Tapi dengan tidak adanya AMDAL, dan malah digantikan untuk resiko yang standarnya distandarisasi ringan, sedang, berat. Dan standarnya ini berlaku sifatnya untuk seluruh Indonesia.
Jadi bayangkan kondisi geografis kita, kondisi bentang alam kita berbeda di setiap daerah, dari Sabang sampai Merauke itu berbeda. Tapi dalam kasus ini, dalam RUU ini semua disamaratakan sebagai standar risiko yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Itu juga yang dari PCA itu sering diskusi juga.
Memangnya kaitannya metodologi yang mereka lakukan itu seperti apa? Kami tidak pernah juga berpikir bahwa apakah para ahli, misalnya yang sering kita sebut tadi tentang food estate. Apakah pemerhati lingkungan juga diambil opininya? Atau dari ahli-ahli gambut kita teman-teman kita yang berfokus untuk penggunaan gambut bukan sebagai konservasi lagi, tapi sudah digunakan untuk sebagai ladang usaha, ladang pertanian itu, apakah diambil juga opininya? Jadi metodologinya, pendekatannya, itu masih rancu.
Bahkan walaupun kami bilang ini masih berupa rancangan, Pemerintah sebenarnya harusnya wajib memberikan kejelasan kepada masyarakat. Karena itu absolutenya demokrasi karena kita memang berpegang negara demokrasi. Itu poin yang kami selalu tekankan. Tapi memang berapa kali dalam rancangannya ini sangat tertutup, sangat benar-benar tertutup. Kadang beberapa RUU bisa keluar tiba-tiba bahkan sebelumnya belum pernah ada di media, kami melihat cikal bakalnya tidak ada sama sekali.
Dan dari pandangan milenial sendiri, kita dirugikan contohnya yang pertama seperti ini. Mungkin teman-teman berpikir COVID hanya rangkaian kecil masalah. Tapi sebenarnya kalau dirunut dari balik itu sebenarnya ada penelitian bahwa laju deforestasi hutan, penebangan, itu berimbas terhadap munculnya virus-virus baru yang belum teridentifikasi. Jadi ada kemungkinan dengan tidak adanya AMDAL, dengan Pemerintah memberikan keleluasaan terhadap investor dan pengusaha untuk membuka lahan tidak berbasis dengan ramah lingkungan itu akan membuat bakteri ataupun virus baru keluar. Karena ekosistemnya terganggu. Karena memang metodologinya tidak jelas.
Jadi kalau misalnya nanti, kalau sampai ada virus baru karena memang ini kan khususnya untuk meningkatkan siklus ekonomi, arus ekonomi, arus investasi, meningkatkan lapangan kerja. Tapi jangan sampai mempersingkat perizinan, regulasi, juga mempersingkat umur kita. Dari yang awalnya kita mungkin punya usia produktif sampai usia 40 tahun, bertahan hidup sampai 60 tahun. Ini kita persingkat karena tadi kebebasan untuk menghirup udara segar, alam yang baik, itu direnggut karena cuma berpikir untuk ekonomi, ekonomi, dan ekonomi lagi.
Apalagi kearifan lokal itu mulai dihapus, perempuan Dayak dikurangi opininya, itu bisa menjadi salah satu indikator bahwa kita bukan menjaga demokrasi lagi. Kita sudah tertutup untuk melihat itu, bahkan demokrasi itu hanya plakat saja, plakat penggembira, bahwa kita suara kita mungkin kita merasa ada yang didengar. Tapi dengan adanya RUU ini yang dari pemerhati lingkungan sudah tidak didengar lagi. Masyarakat yang terdampak sudah tidak didengar lagi. Jadi siapa yang didengar? Jadi mungkin teman-teman yang tidak berfokus ke lingkungan mulai sadar bahwa sebenarnya kebebasan kita ini sedang dipertanyakan.
Reza Amelia – Anggota Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Kalimantan Tengah
Disini saya akan menanggapi bukan hanya sebagai perwakilan, tapi jauh sebagai masyarakat Kalimantan Tengah yang mempunyai tanggung jawab. Sangat umum diketahui bahwa masyarakat Kalimantan Tengah itu adalah masyarakat yang bekerja di ladang. Dan juga sangat umum kita ketahui bahwa hutan Kalimantan adalah yang termasuk paru-paru dunia.
RUU ini tentu banyak sekali meresahkan masyarakat sejak awal ditawarkan. Setelah mendengar RUU ini dan membaca isinya, saya langsung teringat sendiri pada ayat Al-Qur’an dimana Allah menyebutkan, “telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat perbuatan tangan manusia” (Al Baqarah (2): 60).
Sebagai seseorang yang tentu setiap pribadi kita diciptakan untuk memimpin, inilah tanggung jawab kita sebagai orang Kalimantan Tengah. Bagaimana kita mempunyai tanggung jawab untuk melindungi hutan-hutan kita. Ayat ini juga mengandung petunjuk bagaimana kaitan eratnya dengan hidup manusia, terutama masa depan masyarakat Kalimantan Tengah, sebagai generasi masa depan yang bertanggung jawab terhadap banyak titipan Allah.
Sekarang kita dihadapkan pada pr (pekerjaan rumah) besar. Tentu kita mempunyai pr besar sebagai khalifah di muka bumi. Yang pertama, yaitu untuk membudayakan alam kita yang sebagaimana kita ketahui begitu besar. Hutan-hutan banyak dimanfaatkan hasilnya. Inilah, kita mempunyai tugas membudayakan alam, yakni alam yang tersedia agar dibudayakan. Bukan hanya untuk kepentingan investor, sehingga menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi kemaslahatan manusia.
Sebagai khalifah yang juga diciptakan untuk menjaga bumi dan seisinya, kita juga dipercayakan untuk mengalamkan budaya.Yakni budaya atau hasil kerja manusia harus disesuaikan dengan kondisi alam. Jangan sampai merusak alam atau lingkungan hidup agar tidak menimbulkan bencana bagi manusia dan lingkungannya. Dan juga sebagai seorang khalifah, yang dititipi menjaga lingkungan, kita mempunyai hakikat untuk terus sebagai generasi muda mempunyai pr besar.
Saya juga pernah mewawancarai salah satu warga yang berusaha UMKM, karena sekarang sedang sulitnya COVID dan ditambah lagi pr besar untuk hal-hal seperti ini akan menyempitkan kembali lapangan pekerjaan masyarakat Kalimantan Tengah. Daan kedepannya juga mereka mengharapkan pemerintah lebih memperhatikan hak milik mereka.
Tanya Jawab
Bukankah omnibus law sendiri memperhatikan keseimbangan ekosistem ya?
Dimas: Kalau melihat dengan dicabutnya izin lingkungan dan bahkan ada upaya mencabutnya strict liability bagi perusahan yang merusak lingkungan. Atau misalnya ada perusahaan yang lokasinya terbakar pencabutan terkait strict liability nya atau tanggung jawab penuhnya itu, agak aneh kalau dinyatakan itu menjaga keseimbangan lingkungan. Karena sebenarnya Omnibus Law ini adalah UU yang bisa menabrak UU lainnya. Dimana kalau kita ibarat dengan Kalimantan, misalnya dibagi-bagi dengan banyaknya perizinan. Berbicara keseimbangan itu di sektor mananya?
Tadi juga jelas dikatakan dimana banyak sektor sisi budaya masyarakat, khususnya budaya masyarakat Dayak yang akan hilang. Sedangkan kita ketahui banyak budaya masyarakat yang dilaksanakan secara arif dan menggunakan keilmuan tradisional, dan tidak merusak skala luas. Jadi ketika berbicara ini menjaga keseimbangan itu juga yang kita pertanyakan. Keseimbangan di sisi mananya? Sedangkan kepentingan dari Omnibus Law ini sendiri adalah bagaimana peningkatan sektor perekonomian. Jadi tidak berbicara bagaimana melakukan pelestarian lingkungan. Jadi memang targetnya Omnibus Law adalah bagaimana mendapatkan pendapatan daerah atau negara sebanyak-banyaknya.
Alam: Kita lihat sekaligus menjawab pertanyaan pasal yang paling berbahaya bagi lingkungan. Setidak-tidaknya saya melihat bahwa satu kepentingan investasi ini mengatasnamakan kepentingan umum yang kemudian berakibat hak rakyat terampas. Jadi di poin Pasal 122 RUU Cilaka, dia menghapus persyaratan alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan umum. Jadi ini justru akan sangat, akan merampas hak-hak rakyat, ibarat sudah jatuh dia tertimpa tangga, tertimpa genteng lagi.
Kemudian yang kedua, dia menurunkan standar lingkungan hidup. Tadi yang menghapuskan izin lingkungan, dia menjadi persetujuan lingkungan. Kemudian keharusan UKL/UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) diturunkan standarnya. Kemudian yang paling miris adalah AMDAL dan UKL/UPL tidak menjadi syarat izin usaha dan keputusan kelayakan lingkungan tidak wajib diumumkan kepada masyarakat. Jadi maksudnya apa?
Ketika masyarakat tidak mengetahui keputusan kebijakan yang dibuat, kemudian dia juga akan mengaburkan hal-hal yang sudah diatur secara detail dan jelas. Jadi kriteria usaha dan atau kegiatan yang wajib AMDAL atau berdampak penting kemudian dikaburkan dan dibuat secara umum. Dan celakanya lagi diatur dengan peraturan pemerintah.
Di RUU Cilaka ini mengubah ketentuan Pasal 23 UUPPLH dan terkait pengampunan terhadap kejahatan serius dan berdampak luas. Jadi pelanggar lingkungan hidup saat ini akan hanya menerima sanksi administratif saja. Karena memang di RUU Cilaka ini memang mengubah sanksi menjadi sanksi administratif.
Ada pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang kemudian ini ditarik kembali ke pusat. Jadi Pemda hanya mengurus pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengelolaan, tapi semua perizinannya dikembalikan ke pusat.
Kartika: Mungkin sebenarnya sudah jelas terkait pasal-pasal yang dihapus untuk skip soal lingkungan, terutama di AMDAL. Dari situ kelihatan contohnya hari izin-izin sawit itu banyak yang masih izin lokasi sudah digarap, tidak memperdulikan AMDAL, dan sebagainya. Banyak juga yang melakukan, meski belum selesai HGU itu sudah digarap, dikerjakan. Apalagi ketika ini dilegalkan ibaratnya kalau kemarin mereka melakukan secara ilegal, diam-diam mengerjakan padahal itu ada izin AMDAL, dan sebagainya. Sampai menuju ke HGU, baru mereka boleh beroperasi. Kalau hari ini disahkan dan kemudian AMDAL itu juga dicabut apalagi tidak secara transparan ke masyarakat, maka ini akan semakin menjadi. Ini akan memperparah, memperburuk kondisi masyarakat di Kalimantan Tengah. Dan memang sepenuhnya based on profit kalau aku melihatnya. Hanya mementingkan kepentingan korporasi besar.
Winda: Bagaimana perempuan akan kehilangan akses dan kontrol, kearifan lokal yang sudah dijaga secara turun temurun, itu tentunya akan terkikis mulai hilang. Terbukti dengan sekarang belum saja disahkan sudah mulai banyak kearifan lokal yang terpinggirkan.
Apakah perancangan omnibus law dapat dikualifikasikan sebagai “Kejahatan Politik”?
Alam: Saya lebih mengarah kepada ada yang hilang dalam proses penyusunan Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Jadi RUU ini kan dirancang dan kemudian dimasukan ke dalam Prolegnas. Saya ingin menekankan bahwa sebenarnya baik eksekutif, dalam hal ini presiden, maupun legislatif, DPR. Presiden dan DPR punya hak veto. Jadi ketika misalnya RUU ini oleh rakyat sebaiknya dibatalkan ketika RUU ini misalnya diajukan, maka dia berhak menolak baik eksekutif maupun legislatif. Kelihatannya saat ini penolakan itu tidak ada, bahkan tadi saya sudah sampaikan. Di tengah pandemi COVID-19 ini saja pembahasan tetap dilanjutkan. Berarti kan tidak ada penolakan, baik itu dari eksekutif maupun legislatif. Padahal desakan dari masyarakat untuk menghentikan, untuk membatalkan RUU Omnibus Law ini cukup tinggi, tapi tetap saja dilangsungkan pembahasannya.
Pasal yang paling berbahaya bagi lingkungan? Dan bagaimana nasib hutan di Kalimantan Tengah?
Winda: Terkait penghapusan AMDAL itu berbahaya sekali karena dimana kalau misalkan tidak ada proses AMDAL tentunya penghancuran lingkungan akan lebih besar-besaran. Karena apa yang dilakukan hanya berdasarkan komitmen. Oke, saya akan membuat AMDAL, tapi mereka bisa langsung bekerja, langsung berproses. Tapi AMDAL nya bisa disusulkan. Dan bagaimana nasib hutan indonesia? Kita sama-sama bisa membayangkan hutan kita akan dibagi-bagi seperti kue, dimana ruang-ruang itu isinya adalah investor. Terus dimana letak masyarakat? Dimana letak perempuan yang bergantung pada hutan? Kita bisa membayangkan itu, dan apa yang terjadi pada perempuan Dayak yang sudah terpinggirkan? Tentunya akan konflik berkepanjangan, mungkin bisa terjadi kelaparan, dan lain-lain.
Kartika: Pasal mana yang berbahaya? Hampir semua pasal ini yang digodok adalah pasal-pasal untuk mempermudah investasi. Kalau kita melihat kemudian penyederhanaan izin lokasi, pengadaan lahan dan bisa untuk pemanfaatan kawasan hutan. Artinya pasal-pasal yang direvisi ini adalah pasal yang memudahkan untuk investasi di Indonesia, termasuk juga masalah pajak tidak hanya kluster masalah Cipta Lapangan Kerja, tapi juga pajak itupun juga dipermudah dengan diturunkannya pajak untuk investasi untuk badan usaha. Artinya pasal-pasal yang ada ini memang bermasalah semua. Kalau pasal mana yang bermasalah, aku pikir semua pasal bermasalah disini.
Dimas: Menariknya dalam Omnibus Law ini kita menyebutnya dia mengatur banyak hal, yaitu ini ibarat kitab suci ya. Kenapa? Karena dari mulai tenaga kerja, pertanian, perikanan, kelautan, pendidikan, peternakan, pertambangan, minyak dan gas bumi, lingkungan, kehutanan ketenagalistrikan, hingga pers diatur dalam Omnibus Law ini. Sehingga pasti catatan-catatan merah atau pasal-pasal yang dianggap berbahaya bagi setiap sektor. Yang tertuang di dalam UU ini tentu saja itu ada banyak hal. Misalnya kalau berbicara tentang tenaga kerja, mereka membuka lebar terkait outsourcing dan tenaga asing. Terus perusahaan berhak melakukan PHK secara sepihak tanpa melihat kondisi riil perusahaan itu sendiri.
Terus melakukan eksploitasi, karyawan kontrak akan sulit menjadi pegawai tetap. Itu yang ada kita berbicara tentang tenaga kerja, terkait lingkungan, terkait dengan masalah dimana perusahaan diberikan imunitas maupun kemudahan dalam perizinan. Misalnya tanpa adanya izin lingkungan itu bisa dengan mudah beraktifitas. Kedua imunitas bagaimana strict liability, atau berbicara terkait dengan tanggung jawab penuh itu pun dihilangkan.
Sisi lain, yang berhak melakukan gugatan terhadap perusahaan adalah orang yang berdampak langsung dengan adanya perusahaan tersebut. Ini kan ibaratnya terjadi kemunduran dalam sistem hukum di Indonesia. Sehingga kemudahan-kemudahan itu hanya diperuntukan kepada investasi yang akan masuk. Ini yang banyak menjadi protes dari berbagai pihak, teman-teman Serikat Buruh pun banyak melakukan protes, teman-teman lingkungan juga.
Ini yang kita lihat catatan-catatan merah ini, sayangnya tidak didengar secara langsung oleh si pembuat Omnibus Law ini sendiri, baik itu di legislatif maupun di eksekutif. Meskipun diantara mereka berdua ini akan ada saling pemangkasan kewenangan. Yang tadinya ada kewenangan di daerah itu dipangkas menjadi kewenangan pusat semua. Perizinan akan menjadi kewenangan pusat, sedangkan sisi lain Pemerintah Pusat itu tidak melihat langsung kondisi langsung di lapangan.
Makanya di laporan saya tadi sebelumnya menyatakan bahwa sebenarnya Pemerintah Daerah pun berhak mengkritisi semua aktivitas program yang didorong dari pusat ke daerah. Jangan mengiyakan saja, hanya melihat dari kondisi, ada investor akan masuk tanpa melihat kondisi riil di lapangan. Banyak masyarakat yang hak-haknya akan hilang, hak-haknya akan diambil alih oleh investasi Kalimantan Tengah saja yang sudah 80% diambil alih oleh investasi, apakah kedepan akan diambil alih terus? Tidak ada ibaratnya kedaulatan dalam hal mengelola lahannya sendiri atau masyarakat tidak berdaulat atas lahan itu sendiri.
Alam: Jadi Omnibus Law ini biasanya memang untuk satu kluster sejenis. Misalnya di Filipina itu ada Omnibus Law tentang Pemilu, ada di Amerika ada Omnibus Law untuk imigrasi. Tapi kemudian pendekatan Omnibus Law di RUU Cilaka ini menjadi begitu banyak, ini jadi UU sapu jagad. Tadi yang saya katakan jadi bis yang overload, semuanya diatur disitu. Bayangkan apakah nanti dalam implementasinya itu tidak menimbulkan pertentangan.
Kemudian terbatasnya pelibatan masyarakat, stakeholder, kemudian menimbulkan kesan bahwa jangan-jangan ini memang hanya untuk kepentingan investasi, kepentingan korporasi, bukan untuk rakyat.
Saya tambahkan ini yang paling krusial bahwa ada pelemahan peran serta masyarakat di RUU Cilaka. Dalam konteks AMDAL nantinya masyarakat tidak dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL.
Kita tahu bahwa misalnya saya ambil contoh ada lima kasus prioritas yang ditangani oleh Walhi Kalimantan Tengah. Itu salah satunya adalah dalam penyusunan AMDAL nya tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Dan bisa dibayangkan belum ada RUU Cilaka saja, prakteknya sudah sedemikian rupa. Bagaimana ketika ada RUU Cilaka, ini menjadi legitimasi.
(akp)