Gagalkan Korupsi Kebijakan Omnibus Law

Draft Omnibus Law yang pengesahannya menuai aksi protes dari masyarakat memang bukanlah kejahatan biasa, tapi sebuah korupsi kebijakan.

Di tengah peningkatan angka kasus positif virus corona COVID-19, pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law) tetap akan dilaksanakan pada 16 Juli 2020. Draf RUU Omnibus Law yang diajukan Pemerintah Indonesia berisi penyederhanaan 79 UU dengan 15 bab dan 174 pasal yang menyasar 11 klaster (news.detik.com). Draf yang dirancang Pemerintah ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah mengklaim Omnibus Law merupakan penyederhanaan regulasi tanpa mengabaikan prinsip lingkungan. Sejumlah aturan penting dalam penegakan hukum lingkungan dan sumber daya alam mengalami perubahan.

Ambisi Pemerintah untuk mengesahkan Omnibus Law terlihat sejak wacana ini pertama kali disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada 24 Oktober 2019 (jabar.tribunnews.com). Sejak bulan Februari 2020, Pemerintah memasukan draf RUU Omnibus Law ini ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (mongabay.co.id). RUU Omnibus Law ini pun masuk ke dalam daftar program legislasi nasional 2020. Meski mendapatkan penolakan yang cukup keras dari kalangan aktivis pejuang lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM), pembahasan RUU Omnibus Law ini dipaksakan terus berlanjut di tengah pandemi dimana ruang gerak publik menjadi terbatas.

Dilihat dari prosesnya, baik penyusunan hingga pembahasannya, RUU Omnibus Law yang tanpa transparansi dan minim partisipasi publik mengindikasikan adanya penyelewengan wewenang atau korupsi kebijakan. Istilah korupsi kebijakan pertama kali digunakan oleh Sudirman Said, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. Korupsi kebijakan mengacu pada penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat negara untuk kepentingan sendiri dan merugikan keuangan negara. Padahal pejabat negara memiliki tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagai pelayan publik dengan tujuan mensejahterakan rakyat. Seperti korupsi jenis lainnya, korupsi kebijakan juga melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 atau 3 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Kini, kebijakan publik tidak saja dianggap sebagai alat untuk melakukan tindak korupsi, tapi juga telah menjadi jenis korupsi tersendiri. Menurut Made (2016) jika dilihat dari perspektif kriminologi, korupsi kebijakan termasuk dalam kualifikasi white collar crime (kejahatan kerah putih) dengan turunannya yaitu occupational crime dan discretionary crime. Istilah ini diberikan pada tipe pelaku kejahatan yang berasal dari kelas sosial ekonomi tinggi, seperti pejabat publik, yang melakukan pelanggaran hukum. Korupsi kebijakan dapat terjadi karena adanya kekuasaan yang diperoleh dari suatu jabatan tertentu sehingga memungkinkan untuk menyalahgunakan demi memperoleh keuntungan sendiri atau kelompok dan justru merugikan masyarakat secara luas.

Pengesahan RUU Omnibus Law tidak hanya akan mengancam hak-hak rakyat, mencederai demokrasi, dan mencelakakan lingkungan, tapi juga merugikan negara. Ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan berpotensi besar merugikan negara atas dampak-dampak kerusakan lingkungan dan bencana ekologis, seperti kebakaran hutan dan lahan, yang diakibatkan. Revisi dan penghapusan dalam RUU Omnibus Law dilakukan atas pasal-pasal dalam UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Perubahan diantaranya adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kini hanya menjadi faktor yang dipertimbangan bagi usaha dengan resiko berbahaya, izin lingkungan dihapus, pengadaan lahan dan penggunaan kawasan hutan dipermudah, beberapa pasal sanksi hukum dilemahkan, strict liability dihapus, kewenangan daerah atas perizinan dipangkas, dan hak partisipasi publik melalui jalur peradilan untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan atau izin usaha melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak ada lagi.

Revisi aturan yang termuat dalam Omnibus Law memang mengutamakan investasi dengan memberikan keleluasaan dan kelonggaran kepada korporasi-korporasi besar, namun dampaknya penerimaan negara justru akan hilang. Menurut ICW (Indonesian Corruption Watch), Omnibus Law akan merugikan negara lantaran adanya penghapusan royalti dalam Pasal 128A Omnibus Law, iuran wajib pengusaha kepada negara setelah mengeruk mineral dan batubara (alinea.id). Negara juga akan dirugikan dengan adanya ‘konsesi abadi’, dimana jangka waktu hak pengelolaan tanah atau Hak Guna Usaha (HGU) diperpanjang menjadi 90 tahun, yang tidak mewujudkan kemandirian dalam pengelolaan sumber daya alam negara (Omnibus Law Bagian Keempat Tentang Pertanahan Pasal 127).

Jika dinilai dari dampak lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya yang akan ditimbulkan, RUU Omnibus Law sudah sepatutnya ditolak dan digagalkan. Sehingga jika nantinya akan tetap disahkan dalam rapat Paripurna DPR mendatang, pengesahannya harus dianggap sebagai sebuah tindak pidana korupsi kebijakan. Sebab menurut Pasal 2 atau 3 UU Tipikor, tindak pidana korupsi melalui kebijakan publik sudah terjadi sempurna (voltooid) ketika kebijakan itu sudah diambil secara sah, meski belum dilaksanakan atau menimbulkan kerugian. (akp)

Referensi:

  1. ICEL Keberatan Izin Lingkungan Dihapus di Omnibus Law
  2. Mengenal Omnibus Law yang Ditolak Buruh, Diucapkan Jokowi dalam Pidato Pertama Setelah Dilantik
  3. Bisa Celakakan Lingkungan, Banyak Kalangan Protes RUU Omnibus Law
  4. Made Sugi Hartono “Korupsi Kebijakan oleh Pejabat Publik (Suatu Analisis Perspektif Kriminologi)”, Jurnal Komunikasi Hukum Vol. 2 No. 2 Tahun 2016, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
  5. ICW: RUU Cipta Kerja Lahirkan Korupsi Kebijakan

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *