Food Estate: Sebuah Proyek Daur Ulang

Sudah seharusnya lahan gambut yang telah rusak akibat proyek ambisius minim kajian di Kalimantan Tengah dilindungi, bukan justru semakin dihancurkan dengan proyek serupa.

Palangka Raya, 29 Juli 2020. Pemerintah berkomitmen untuk terus melanjutkan proyek food estate di Provinsi Kalimantan Tengah. Proyek food estate atau lumbung pangan ini dipastikan pengembangannya di lahan bekas Proyek Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. Dengan maksud memberikan gagasan awal terkait proyek food estate ini, Walhi Kalimantan Tengah menggelar sebuah diskusi webinar pada Kamis, 23 Juli 2020.

Diskusi Webinar Walhi Kalimantan Tengah yang berlangsung selama dua jam sejak pukul 14.00 WIB ini menghadirkan sejumlah narasumber. Antara lain Esau A. Tambang dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Tengah, Pendeta Merilyn dari Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi (Peruati) Kalimantan Tengah, Alfrit Dody dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Palangka Raya, dan Norhadie Karben sebagai peladang tradisional Dayak, selain dari Walhi Kalimantan Tengah sendiri, Dimas Novian Hartono.

Proyek food estate yang akan dijalankan bukan hanya akan berdampak pada keberlanjutan lingkungan, termasuk upaya restorasi di lahan gambut eks PLG, tapi juga nasib masyarakat lokal, dan para pekerja yang akan dihasilkan. Menurut Dimas Novian Hartono selaku Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah, proyek ini justru akan menambah kerugian negara. “Apabila ada kegagalan yang menerima dampaknya itu di masyarakat, dan proses pemulihan lingkungan itu sangat besar daripada investasi,” ujar Dimas.

Hingga saat ini informasi yang dapat diakses oleh masyarakat masih sangat terbatas, salah satunya terkait Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), kajian yang harus dilakukan Pemerintah sebelum memberikan izin pengelolaan lahan maupun hutan menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahkan Esau A. Tambang dari DLH Provinsi Kalimantan Tengah menyatakan pihaknya tidak tau apakah KLHS tersebut telah selesai atau belum. “KLHK juga sudah melakukan KLHS, namun KLHS nya sampai sekarang belum selesai atau sudah dianggap selesai, saya juga nggak tau,” ujarnya.

Proyek food estate di Kalimantan Tengah ini nantinya akan dijalankan dengan pola investasi. Pupuk, benih, tenaga kerja, dan mekanisasi dengan menggunakan teknologi akan dilakukan oleh pihak swasta. Sedangkan petani tidak mendominasi dan hanya dijadikan sebagai pekerja. Alfrit Dody dari GMKI Cabang Palangka Raya menanggapi hal ini dengan menekankan penting adanya payung hukum yang dapat melindungi masyarakat lokal dan memastikan pemberdayaannya. Dody menambahkan dengan sepotong ayat dari Alkitab ulangan 28 ayat 13 yang berbunyi, “jadilah kepala, bukan ekor.”

Tanggapan lebih keras disampaikan oleh Norhadie Karben yang mengaku keluarganya sudah melakukan praktek berladang tradisional secara turun temurun. Norhadie menegaskan, “intinya saya menolak program lumbung pangan yang dari Pemerintah Pusat itu, kalau mereka tetap menggunakan pola zamannya eks PLG. Apalagi kalau misalkan dalam menjalankan proyek lumbung pangan menggunakan tangan-tangan orang-orang aparat keamanan.” Pasalnya dampak proyek PLG yang terdahulu saja telah berdampak besar terhadap kehidupan keluarganya dan peladang yang lain. Paska gagalnya proyek tersebut, mereka berupaya melindungi lahan tersebut dari potensi bahaya yang lebih buruk dengan menerapkan pengetahuan lokal mereka. Seperti membiarkan gambut di beberapa titik lokasi untuk memperbaiki diri dan tidak berladang diatasnya. Norhadie mengaku ‘penelantaran’ lahan eks PLG menurut Pemerintah justru sebenarnya adalah upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan yang dilakukan oleh masyarakat.

Dilihat dari perspektif teologi Kristen pada penciptaan dalam pandangan feminis, proyek food estate ini menganut pandangan yang keliru. Tidak ada hierarki dalam relasi manusia dan lingkungan, sebab ada saling ketergantungan antara makhluk hidup. Terlebih kerusakan lingkungan akan berdampak lebih besar, khususnya terhadap perempuan. Pendeta Merilyn dari Peruati Kalimantan Tengah menyebut pandangan yang tidak memperhitungkan keberadaan hutan, tanah, alam, apalagi manusia sebagai cara berfikir tafsir tradisional. Pendeta Merilyn menambahkan, “keselamatan kekal adalah hak segala ciptaan atau segala makhluk.. Yesus Kristus diutus oleh Allah untuk menyelamatkan seluruh makhluk yang diciptakan oleh Allah. Jadi keselamatan selama-lamanya, keselamatan kekal itu hak segala makhluk, bukan hanya hak manusia.”

Menutup seri Diskusi Webinar kali ini, Ayu Kusuma, Manajer Kampanye Walhi Kalimantan Tengah, selaku moderator diskusi mengajak seluruh masyarakat, khususnya di Kalimantan Tengah, untuk mulai dan terus menyerukan pandangan dan pendapat kepada Pemerintah. Ayu mengatakan, “justru karena kita mempercayai Pemerintah kita, maka kita harus lebih kritis dan lebih mau aktif lagi dalam menanggapi proyek-proyek dan agenda-agenda yang direncanakan oleh Pemerintah.”

(akp)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *