17 Agustus menjadi hari peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia. Di tahun 2020 ini, peringatannya telah memasuki usia ke-75. Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia justru masih tergolong tidak sejahtera. Meski ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan yang konsisten, pertumbuhan tersebut hanya memberi manfaat kepada 20 persen orang paling kaya di Indonesia saja (Riset Bank Dunia: 2016). Hal ini dikuatkan dengan laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang menyatakan bahwa separuh aset nasional hanya dimiliki 1 persen masyarakat Indonesia.

Disamping pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, hak-hak masyarakat juga belum sepenuhnya dilindungi dan dipenuhi. Masyarakat adat, misalnya, meski hak-hak masyarakat adat dan wilayahnya telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, namun hingga kini belum ada pengakuan dan perlindungan khusus dari Negara. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat adat rentan dirampas hak-haknya dan kesulitan mengupayakan pemulihan hak. Padahal dengan Pemerintahan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi melalui eksploitasi sumber-sumber daya alam, masyarakat adat menjadi sangat rentan terdampak.
Saat ini, masyarakat hukum adat masih diatur secara terpisah dan tidak komprehensif dalam UU sektoral. Sehingga pengakuan masyarakat adat harus melalui penetapan oleh produk hukum daerah dan harus dipengaruhi oleh proses politik di daerah. Di Provinsi Kalimantan Tengah sendiri baru-baru ini telah dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian Kebakaran Lahan (Dakarla). DPRD Kalimantan Tengah dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah secara resmi telah menetapkan dan mengesahkan Perda Dakarla pada Rapat Paripurna ke-5 masa persidangan II tahun sidang 2020 pada 7 Juli 2020.
Perda Dakarla dimaksudkan sebagai payung hukum untuk masyarakat adat membersihkan ladang dengan cara dibakar. Pasalnya, perladangan dengan cara membakar merupakan tradisi peladang tradisional di Kalimantan Tengah. Sejak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi agenda tahunan di provinsi ini, peladang tradisional termasuk masyarakat adat menjadi pihak yang di kambing hitamkan dan kerap kali dikriminalisasi.

Hingga dikeluarkannya Perda Dakarla ini, masih belum ada regulasi yang mengakui dan melindungi masyarakat adat. Sehingga penting dipahami seperti apa sebenarnya Perda Dakarla ini. Perlu dilihat apakah Perda ini dapat sepenuhnya melindungi masyarakat adat dari jerat hukum, serta mampu melindungi praktek perladangan tradisional oleh masyarakat adat. Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan ini dalam semangat peringatan Hari Kemerdekaan dan bulan Masyarakat Adat Sedunia, Walhi Kalimantan Tengah menggelar sebuah diskusi webinar untuk membahas secara khusus Perda Dakarla ini. Dengan mengusung judul “Waspada Perda Dakarla”, webinar ini diharapkan mampu memberikan informasi dasar kepada publik dan landasan argumen dalam diskusi-diskusi lanjutan terkait masyarakat adat.
Paparan
Testimoni dari Perwakilan Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah

dari Desa Mantangai Hulu,
Kabupaten Kapuas
Pada jaman dulu hampir satu desa semuanya berladang, bukan desa sini saja tapi di desa lain. Pada saat pembakar lahan tidak pernah mengakibatkan kebakaran hutan dan menimbulkan asap yang tebal. Karena pada saat membakar lahan masyarakat adat menjaga api dengan cara kearifan lokal. Tentunya perkebunan karet, rotan, dan lain-lain tidak pernah terbakar.
Jaman dulu perempuan Dayak menggunakan daun-daun untuk mengusir hama yang ada pada tanaman padi. Dan hasil kami berladang dulu bisa mencukupi kebutuhan kami. Satu, dua, sampai tiga tahun tidak membeli beras, bahkan bisa untuk dijual hasilannya.
Dengan adanya aturan larangan membakar lahan, semua berubah. Di dalam satu desa hanya ada beberapa orang yang berani untuk berladang. Dan bahkan satu, dua tahun ini hampir tidak ada masyarakat yang berladang karena penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup. Bahkan untuk mengembalikan bibit pun tidak ada dikarenakan berkurangnya masyarakat yang berladang. Sehingga mengharuskan masyarakat Dayak, khususnya perempuan Dayak, yang ingin berladang harus menggunakan bahan kimia, seperti racun dan pupuk organik lainnya.
Karena adanya kebijakan Pemerintah ini (Perda Dakarla) membuat kami perempuan Dayak dan masyarakat pada umumnya banyak yang meninggalkan kampungnya mencari pekerjaan lain dan membuat masyarakat menjadi miskin. Anak-anak banyak putus sekolah karena ikut orang tua bekerja. Karena ada aturan Pemerintah, satu keluarga hanya boleh berladang 1 hektar saja. Maka tidak usah saja berladang, lebih baik tidak usah saja, kecuali Pemerintah sanggup memberikan bahan pokok untuk masyarakat 100 kg beras per KK. Di desa kami tidak ada tanah mineral, hanya tanah gambut. Bagaimana nasib kami dan anak cucu kami jika hanya diperbolehkan membuka lahan di lahan mineral saja.
Masyarakat tidak pernah diberi tahu bahwa ada Perda pengendalian kebakaran lahan yang sudah disahkan. Perda ini hanya membuat masyarakat, khususnya perempuan Dayak tidak bisa berladang dengan cara kearifan lokal dan mengakibatkan dampak yang sangat buruk untuk masyarakat di sini. Kami hanya ingin berdaulat di tanah kami sendiri, kami hanya ingin mengelola tanah kami secara kearifan lokal tanpa diatur oleh aturan-aturan yang ada. Kami tidak pernah tau kalau ada Perda yang disahkan untuk saat sekarang.
Kondisi Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah


dari AMAN Nusantara Kalteng
Kita sepakat Perda ini diwaspadai karena banyak hal yang substansial yang rentan kriminalisasi terjadi terhadap peladang. berdasarkan topik yang diberikan kepada AMAN Kalteng terkait kondisi masyarakat adat di Kalteng kita melihat banyak peluang dan tantangan yang terjadi di masyarakat adat di Kalteng, banyak variabel yang menjadi tantangan masyarakat adat di Kalteng.
Selama 75 tahun Indonesia merdeka dan 26 tahun hari masyarakat adat sedunia ternyata banyak masyarakat adat dalam bayang-bayang kriminalisasi, diskriminasi, banyak hak-hak yang masih tidak diakui, maupun masyarakat adatnya sendiri sebagai subyek hukum dari negara ini. Akhirnya berbicara terkait masyarakat adat banyak hal-hal klasik di permasalahannya, misalnya terkait dengan kawasan hutan.

Berdasarkan SK 529/2012 banyak kawasan hutan yang masuk dan menggerus wilayah adat, dan kawasan adat semakin terancam, misalnya dalam konteks hutan produksi ada banyak larangan ketika masyarakat adat ingin mengusahakan kebutuhannya dari wilayah hutan adat tersebut. Di wilayah ruang hidup masyarakat adat banyak dibebankan pada konsesi perizinan, bisa melalui HPH, perizinan pertambangan atau perkebunan. Hal ini berkaitan dengan pengakuan masyarakat adat, wilayah adat, dan hutan adatnya.


Kalau kita lihat Kalteng ini miskin dengan regulasi daerah terutama terkait dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adatnya. Dibandingkan dengan provinsi Kalbar sudah ada 7 Perda yang mengakui terkait masyarakat adat, tapi di kalteng sampai hari ini tidak ada perda provinsi atau kabupaten yang mengakui dan melindungi masyarakat adat secara spesifik atau utuh. Yang ada hanya Perda kelembagaan adat atau Perda lainnnya, seperti Perda pengendalian kebakaran lahan ini hanya terkait masyarakat adat juga tetapi tidak membicarakan masyarakat adatnya secara utuh dan spesifik.

Perbedaan cara pandang antara negara dan masyarakat adat terkait hak-hak masyarakat adat, misalnya dalam konteks hutan adat dalam skema perhutanan sosial. Negara melihat hutan adat sudah ada lokasi tertentu yang bisa diusulkan menjadi hutan adat, tapi menurut masyarakat adat lokasi yang diberikan Pemerintah tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Belum lagi ketika berbicara pengakuan kawasan hutan adat dalam konteks perhutanan sosial, banyak tantangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan. Misalnya ketika area yang diusulkan ada di kawasan hutan, syarat utama yang diminta ada Perda yang mengakui masyarakat adat. Berbeda ketika lokasi hutan adat yang diusulkan berada di kawasan HPL atau lainya akan lebih simpel, hanya membutuhkan SK Bupati dan saat ini hanya ada di 2 kabupaten; di Pulang Pisau masyarakat adat Pilang dan Simpur dan di Sukamara ada 6 komunitas masyarakat adat yang ditetapkan Bupati Sukamara.


Berbagai wacana pembangunan yang tidak kontekstual dengan kebutuhan masyarakat adat terkait food estate sendiri, jika dikesampingkan dengan peladang banyak terjadi kriminalisasi. Berbicara terkait ketahanan pangan, kenapa tidak memberikan apa yang sudah ada di masyarakat? Misalnya mengakui perladangan dan dipersilahkan karena itu sudah terbukti menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat adat sejak dulu. Juga terkait dengan ancaman kelangsungan teknologi, produksi dan konsumsi lokal masyarakat adat. Misalnya biasanya dulu membuka ladang dengan cara membakar ladang dan sekarang kemungkinan akan dijerat hukum dan ini menjadi masalah dan banyak komunitas di hutan adat yang sudah ada di masyarakat seperti rotan, damar, karet, tapi dalam konteks sekarang kurang menghasilkan pemasukan daerah. Beda hal dengan sawit sehingga komunitas lokal semakin ditinggalkan dan dianggap tidak menghasilkan, padahal itu yang membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka.


Terkait situasi penguasaan lahan di Kalimantan Tengah, dari 15 juta Ha wilayah Kalteng, 12 juta Ha lebih sudah dibebani oleh ijin konsesi, baik di kehutanan, perkebunan, maupun di pertambangan. Begitu pula dalam konteks kehutanan, di kawasan HPL yang harusnya jadi areal pemukiman dan sebagainya justru lebih diincar korporasi karena lebih mudah perizinannya dibanding yang masih di kawasan hutan.



Berbicara daerah yang minim regulasi, secara nasional pun RUU masyarakat adat tidak kunjung disahkan Pemerintah, dan tidak ada perda provinsi dan kabupaten. Dan saat ini dibentuk panitia masyarakat adat berdasarkan instruksi Permendagri No.52/2014 fungsinya untuk mengakomodir, mengidentifikasi, memverifikasi, dan validasi keberadaan masyarakat adat yang ada di Kalteng. Dari 7 kabupaten yang membentuk panitia masyarakat adat, masih sedikit yang berjalan karena berdasarkan hasil pertemuan dengan dinas terkait panitia masih bingung dengan apa yang harus dikerjakan. Saran kami, selain panitia membentuk susunan struktural, perlu ada kebijakan yang berbicara terkait petunjuk teknis agar panitia ini bisa bekerja.
Banyak masalah ketika masyarakat adat mencoba mempertahankan hak-haknya, malah lebih dekat pada bayang-bayang kriminalisasi. Misalnya di Kinipan yang mencoba mempertahankan haknya secara administrasi malah dikriminalisasi. Keadilan itu masih jauh bagi masyarakat adat, bahkan kami menganggap Negara belum sepenuhnya hadir bagi masyarakat adat dengan semua perlakukan, kebijakan, dan regulasi yang dikeluarkan.

Perda Provinsi Kalteng dan Perlindungan Peladang Tradisional


dari LBH Palangka Raya
Perda ini harapannya memberikan kabar baik bagi masyarakat adat karena terkait dengan peladang sendiri secara membakar banyak UU yang bisa digunakan untuk memenjarakan dan memberikan sanksi di lapangan. Dengan adanya Perda ini harapannya bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat adat di Kalteng.


Dari Perda No. 5/2003 sampai yang terbaru tahun 2020 yang ada tujuannya untuk melindungi masyarakat, tapi justru menjerat para peladang. Pergub No. 15 dicabut waktu terjadi kebakaran hebat tahun 2015 dengan alasan komposisi yang ada di pasal-pasalnya dari 2 Pergub yang ada No. 52/2008 dan No. 15/2020 haluannya berubah. Perda No. 1/2020 sebenarnya merubah dari Perda No. 5/2003 terkait pasalnya hanya 18 lembar, jika melihat urgensinya harusnya lebih banyak.



Perda No.15 /2020 sebenarnya membingungkan. Harusnya Perda ini untuk solusi jalan keluar bagi kesejahteraan masyarakat adat, tapi justru membasuh dan membungkam. Ada aturan yang tidak bisa untuk dijalankan, jadi untuk apa? Pada pasal 6 seperti yang disampaikan Bu Remi, satu keluarga hanya boleh membuka lahan 1 Ha per KK/musim dan ini sangat memberatkan. 1 Ha itu ada di areal satu desa.

Pada ayat 3 jika melakukan pembukaan lahan dengan membakar tidak boleh bersama atau dengan jarak 1 KM. Di pasal lain 6,7,8 kami menemukan perlu adanya Pergub dan konon katanya sudah ada Pergubnya karena Pergub digunakan untuk menjalankan Perda. Pada pasal 27 ayat 2 atau pasal 7 ayat 1 kalau dia tidak mencegah maka akan kena sanksi.
Kami sempat berpikir apakah Perda ini diterima atau ditolak. Jika pada akhirnya hanya membawa sengsara bagi masyarakat adat yang masih menjalankan perladangan dengan cara membakar, maka tentu saja harus ditolak. Dan agak kacau, membingungkan, satu sisi memperbolehkan tapi sisi lain melarang, sehingga perlu banyak kajian dan perlu ada sikap masyarakat sipil terkait dengan Perda ini.
Pandangan Perempuan Adat Terhadap Perda Dakarla


dari SP Mamut Menteng
Sebelum membakar masyarakat punya kearifan lokal sendiri bagaimana cara membakar, dimulai dari mana, tidak langsung dibakar dan ditinggalkan begitu saja sehingga menyebabkan kebakaran yang besar dan pengetahuan mereka secara turun temurun.

Kearifan lokal perempuan Dayak itu bertani sebagai identitas. Hilangnya pertanian sama halnya hilangnya identitas perempuan. Dan hubungan perempuan dengan alam sangat erat sekali, bagaimana mereka memperoleh makanan, sayuran, dan ikan dari tanah mereka.




Perda ini malah membatasi akses dan kontrol terhadap lahannya sendiri harusnya Perda ini menjamin dan melindungi hak–hak masyarakat adat, khususnya perempuan dalam mengelola lahannya sendiri.

Tanya Jawab
Sejauh mana Perda tentang perlindungan perladang ini untuk melindungi hak-hak peladang terutama masyarakat adat?
Aryo: Satu sisi ini dikatakan peluang, tapi di sisi lain menjerat. Sehingga selaku masyarakat adat, kita tidak boleh diam dan secara umum hak-hak konstitusional harus direbut. Lagi-lagi kita belum bisa bicara banyak terkait dengan Perdanya sendiri karena ini belum ada jalan tengahnya. Dan kalau membaca Perdanya sendiri, menurut kami rancu dan tidak jelas, sehingga secara umum kalau pembuatan peraturan perundangan-undangan Raperda juga tidak ada, pembentukannya bagaimana, apakah ada naskah akademiknya? Aturan itu tidak serta merta prosesnya, harus tau walaupun jadi Perda sekalipun banyak yang tidak tau. Isi di dalam juga belum dibahas dan di Perda ini berbeda dengan Perda sebelumnya dan menghilangkan kata “hutan”. Hall ini juga membingungkan terkait dengan status kawasa hutan dan tidak. Wilayah hutan di Kalteng sendiri realnya di lapangan masih masuk kawasan hutan.
Kedua persoalan di lahan gambut dan seperti yang disampaikan Bu Remi juga bagaimana jika hampir seluruh wilayah gambut, dan ini agak diskriminatif. Kalau secara peraturan Perda ini harus dicek terkait dengan naskah akademiknya dan dipastikan keterlibatan masyarakat dalam perumusan pembuatan Perda ini sejauh mana Sehingga dengan banyaknya pembahasan yang kita dengar ini suatu yang sia-sia dan saya minta teman-teman Walhi mengajak DPR atau Pemerintah daerah untuk membahas ini kita ingin mendengarkan langsung dari Pemerintah.
Kembali ke pertanyaan tadi, sejauh mana ya tidak jauh-jauh, masih di situ saja. Artinya apakah ini bisa jadi penyelamat? Saya agak ragu.
Apakah selama ini status masyarakat adat harus dibikin dalam suatu Perda atau UU sehingga masyarakat adat sendiri bisa memiliki haknya di atas tanahnya sendiri?
Ferdi:
Kita berbicara sebagai masyarakat adat dalam konteks negara Indonesia. Secara kebangsaan itu kewajiban karena secara De Facto masyarakat adat ada sejak dulu, tapi secara De Jure pengakuan itu belum ada. Sesama kita pengakuan itu sudah ada, tapi secara yuridis pengakuan itu belum ada. Yang menjadi permasalahan atau konflik yang menyangkut masyarakat adat yang akan diperkarakan di pengadilan karena semua kebutuhan untuk membuktikan masyarakat adat itu ada dengan adanya regulasi.
Berkaca dari kasus peladang tradisional yang dijerat hukum pada tahun 2019 yang ada di Murung Raya, Pak Safrudin sudah mendapatkan ijin dari mantir adat dan desa untuk membuka ladang dengan cara membakar, dan DAD menyatakan beliau sebagai masyarakat adat. Tapi ketika masuk persidangan dalam hukum formal, apa bukti pak Safrudin mengaku sebagai masyarakat adat, sedangkan Murung Raya tidak mengeluarkan Perda terkait perlindungan dan pengakuan masyarakat adat. SK Bupati pun tidak ada yang menyatakan bahwa Juking Pajang ditetapkan sebagai masyarakat adat. Dan ini menjadi permasalahan ketika dinaikkan ke tatanan hukum formal. Sehingga banyak kritisi AMAN terkait dengan Perda pengendalian kebakaran lahan, misalnya pada “Ketentuan umum” angka 7 pada Perda ini disebutkan “lahan yang dimaksud itu adalah ekosistem yang berada di luar kawasan hutan,” “lahan adalah satu hamparan ekosistem yang berada di luar kawasan hutan.” Jadi batasan larangan berladang bagi masyarakat adat itu tidak hanya bagi masyarakat adat yang tinggal di dalam atau di kawasan gambut, tapi yang ada di luar gambut juga dibatasi. Misalnya tata cara pembakaran ladang atau membuka ladang dengan cara dibakar tidak bisa dilaksanakan di areal gambut, tapi di luar areal gambut atau di areal mineral. Dan masih dibatasi juga jika di luar areal kawasan gambut, maka harus di luar kawasan hutan. Bagaimana dengan kampung-kampung atau lewu yang selama ini 70% ada di kawasan hutan. Karena kita membuka ladang dan ladang itu banyak di areal kawasan hutan, dan jika membuka ladang di areal hutan ancamannya tidak hanya sebagai pelaku pembakaran hutan dan lahan tapi masyarakat adat juga diancam sebagai perambah hutan, ini menjadi salah satu permasalah juga.
Kedua, ketika berbicara masyarakat adat, di Perda ini menyebutkan ketentuan untuk membakar ladang hanya diperbolehkan untuk masyarakat adat atau warga yang berasal dari masyarakat adat. Korelasinya pengakuan itu betul menurut mantir, damang, tapi itu jika tidak ada permasalahan atau ditangkap dan dikriminalisasi. Tapi ketika ditangkap, pengakuan dan pernyataan dari mantir, damang, pengakuan sebagai masyarakat adat tidak akan kuat jika dihadapkan pada permasalahan hukumnya.
AMAN menghimbau kepada masyarakat adat atau komunitas tetap saja berladang dengan kebiasaan membakar, tapi juga harus waspada dan hati-hati karena kriminalisasi masih terbuka kemungkinan besar terjadi bagi masyarakat adat. Kami mengharapkan kepada komunitas adat dalam keanggotaan AMAN untuk tetap kritis dalam memandang berbagai wacana dan regulasi yang keluar. Seperti Perda Dakarla terkesan baik bagi masyarakat adat, tapi secara substansial masih jauh, sehingga masyarakat adat harus kritis. Perda ini juga lebih bagus jika dibarengi dengan disahkan Perda Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Kalteng karena Perda ini yang akan memperkuat dari klausul substansi masyarakat adat yang termuat dalam pasal–pasal dari Perda Darkarla ini jika ada upaya kriminalisasi sehingga ditangkap. Maka Perda pengakuan dan Perlindungan masyarakat adat inilah yang akan membuktikan bahwa mereka dari masyarakat adat secara yuridis.
Secara status masyarakat adat belum memiliki kekuatan legal, tapi di kalteng memiliki Dewan Adat Dayak. Selama ini apa fungsi dewan adat itu? Apakah mereka benar-benar telah memperjuangkan hak masyarakat adat atau hanya sebagai organisasi yang hanya mengatasnamakan adat saja sehingga selama ini banyak kasus-kasus kriminalisasi peladang?
Ferdi:
Di Kalteng sejak ada Perda kelembagaan adat dulu sudah ada Dewan Adat Dayaknya, tapi Perda itu hanya mengatur terkait kelembagaan adat yang ada di Kalteng. Tapi secara substansial subyek hukum masyarakat adatnya itu sendiri belum diatur. Terkait peran atau tupoksi DAD, DAD lah yang lebih memahami untuk dapat menjelaskan lebih baik. Hanya yang perlu ditekankan bahwa masih belum cukup secara regulasi, tapi jangan juga ketika regulasi terkait masyarakat adat di kalteng atau RUU masyarakat adat belum disahkan negara, kita sangat khawatir dengan apa yang sudah menjadi tradisi kearifan lokal selama ini. Tetap saja dilaksanakan sesuai dengan konseptual dari masyarakat adat karena UUD pasal 18 ayat 2 menjamin bahwa masyarakat adat itu diakui, tapi turunannya saja yang belum khusus membicarakan masyarakat adat. Apapun itu ketika Perda ini masih rentan melindungi masyarakat peladang, tapi jangan sampai membuat masyarakat takut berladang karena berladang itu sudah terbukti menjamin ketahanan pangan masyarakat adat sampai dengan sekarang.
Aryo: UU kehutanan pasal 6-7, bahwa masyarakat adat eksistandingnya ada atau tidak diatur oleh peraturan daerah dan hampir seluruh aturan pasca adanya UU kehutanan 1999 ini semua mengatur kita dan menjadi persoalan sehingga masyarakat adat itu tidak bisa secara aturan negara bahwa dia hanya masyarakat adat. Dan hemat saya ke depan perlu Bupati/ Walikota untuk mengesahkan Permendagri tahun 2014. Juga sudah disinggung, ada beberapa wilayah di Pulpis dan Sukamara. Ini bukan hanya tanggung jawab masyarakat adat, tapi juga tanggung jawab Pemerintah daerah, Bupati, dan Walikota. Cara berfikirnya kalau perusahaan diberikan wilayah, kenapa masyarakat adat itu sendiri tidak disegerakan dan seolah-olah itu diputus dan ini sangat memprihatinkan.
Tentang Narasumber
AMAN Kalimantan Tengah merupakan sebuah Organisasi Masyarakat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang mendorong kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan kekayaan alam. Link Website
LBH Palangka Raya merupakan Lembaga Bantuan Hukum yang fokus pada isu Pelanggaran HAM dan kasus-kasus struktural. Link Facebook Page
SP Mamut Menteng merupakan Komunitas Solidaritas Perempuan Mamut Menteng wilayah yang memiliki konteks isu Sumberdaya Alam memiliki tujuan menguatkan gerakan perempuan pemimpin dan mendorong penghapusan kebijakan diskriminatif di Kalimantan Tengah. Link Website
(akp)