Berpotensi sengsarakan peladang tradisional, Perda Dakarla patut ditolak.
Palangka Raya, 2 September 2020. Walhi Kalimantan Tengah menggelar sebuah seri diskusi webinar bertajuk “Waspada Perda Dakarla” pada Kamis, 20 Agustus 2020. Sebagai peringatan dari bulan Masyarakat Adat Sedunia dan Kemerdekaan Republik Indonesia, webinar ini digelar guna membahas Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah tentang Pengendalian Kebakaran Lahan (Dakarla) yang baru-baru ini keluar.
DPRD Kalimantan Tengah dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah secara resmi telah menetapkan dan mengesahkan Perda Dakarla pada Rapat Paripurna ke-5 masa persidangan II tahun sidang 2020 pada 7 Juli 2020. Menghadirkan narasumber dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng, Pimpinan Cabang Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PC KMHDI) Palangka Raya, dan masyarakat adat Dayak dari Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas.
Perda Dakarla dimaksudkan sebagai payung hukum untuk masyarakat adat membersihkan ladang dengan cara dibakar. Sehingga seharusnya dapat memberikan kabar baik bagi masyarakat adat disaat banyak Undang-Undang (UU) yang bisa digunakan untuk memenjarakan dan memberikan sanksi pada masyarakat yang berladang tradisional. Namun, Perda Dakarla justru berpotensi hanya membawa sengsara bagi masyarakat adat yang masih menjalankan perladangan dengan cara membakar. Aryo Nugroho Waluyo dari LBH Palangka Raya mengatakan, “Perda ini agak kacau, membingungkan. Satu sisi memperbolehkan, tapi sisi lain melarang. Sehingga perlu banyak kajian dan perlu ada sikap masyarakat sipil terkait dengan Perda ini.”
Hingga saat ini masih belum ada regulasi yang mengakui dan melindungi masyarakat adat secara khusus, meski hak-hak masyarakat adat dan wilayahnya telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Masyarakat hukum adat masih diatur secara terpisah dan tidak komprehensif dalam UU sektoral. Dampaknya masyarakat adat sangat rentan terampas hak-haknya dan kesulitan mengupayakan pemulihan hak.
Padahal perlindungan terhadap masyarakat adat bukan hanya soal penegakan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan, tapi juga perlindungan terhadap nilai-nilai tradisi dan budaya. Ketua AMAN Kalimantan Tengah, Ferdi Kurnianto, menggarisbawahi hal ini dalam paparannya. “Bagi orang Dayak berladang tidak hanya berbicara bagaimana pemenuhan kebutuhan pangan konsumsinya, tapi ada nilai-nilai spiritual, ada budaya yang terus dijaga keberlangsungannya,” ujarnya.
Herta Sihotang dari SP Mamut Menteng turut menyinggung meski telah menginjak peringatan yang ke- 75 tahun kemerdekaan, namun belum ada jaminan untuk melindungi masyarakat adat dan kedaulatan mereka atas tanah. “Bagi kami merdeka itu bahwa masyarakat adat laki-laki dan perempuan bebas mengakses dan mengelola lahannya sendiri tanpa adanya intimidasi dan kriminalisasi dari negara,” tegas Herta.
Sebagai perwakilan dari generasi muda, Yongki Agustar, Ketua PC KMHDI Palangka Raya, bahkan mengaku baru mendengar terkait Perda Dakarla ini. Yongki mengaku bingung sebab Perda ini justru cenderung berpotensi mengebiri hak masyarakat adat. “Perlu pendalaman lagi, juga sosialisasi kembali, apakah ini benar-benar untuk rakyat atau justru bersembunyi dibelakang nama rakyat,” ujar Yongki sewaktu diminta memberikan pandangannya terkait Perda ini.
Pada akhirnya, atas pengesahan Perda yang perlu dilengkapi dengan Peraturan Gubernur (Pergub) dalam pelaksanaannya, masyarakat perlu menimbang bagaimana Perda ini akan berdampak pada masyarakat dan tradisi berladang tradisional. Mewakili perempuan adat dari Desa Mantangai Hulu, Bu Remi, memberikan tanggapan tegas setelah mendengar perihal Perda Dakarla. Bu Remi menegaskan, “kami hanya ingin berdaulat untuk tanah kami sendiri! Karena berdaulat itu tujuan kami sebenarnya untuk anak-cucu kami nanti!” (akp)