Diskusi Mengenal Ekosida

Ekosida yang berdampak masif harus dianggap sebagai sebuah kejahatan serius karena mengancam keberlanjutan kehidupan.

Palangka Raya, 5 September 2020. Baru-baru ini Walhi Kalimantan Tengah menggelar sebuah diskusi tentang ekosida. Diskusi bertajuk “Mengenal Ekosida” ini digelar pada Kamis, tanggal 3 September 2020 di pendopo Sekretariat Walhi Kalimantan Tengah. Diskusi ini berlangsung selama dua jam, sejak pukul 14.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.

Jalannya diskusi difasilitasi oleh Departemen Kampanye Walhi Kalimantan Tengah dengan narasumber sekaligus peserta sebanyak lebih dari dua puluh orang. Mereka berasal dari berbagai organisasi dan komunitas muda di Kota Palangka Raya, yakni Comodo Mapala Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Palangka Raya (UPR), Mapala Dozer Fakultas Teknik (FT) UPR, Mapala Adiwiyata FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) UPR, Mapala Figure FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan), Mapala UPP Universitas PGRI Palangka Raya, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Cabang Palangka Raya, FSLDK (Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) Kalimantan Tengah, Esbisquet, dan Pramuka Saka Wanabakti Kalimantan Tengah.

Diskusi “Mengenal Ekosida” didorong oleh adanya keingintahuan kelompok muda mengenai topik ekosida. Sejak tahun 2005, Walhi telah mulai mengangkat ekosida sebagai sebuah diskursus baru dalam memberikan gambaran dan kecenderungan sebuah sistem eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara terus menerus hingga mengarah pada pemusnahan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan manusia. Namun sebagai sebuah diskursus baru, ekosida belum banyak dipahami oleh publik, khususnya kelompok muda. Menurut staf Kampanye Walhi Kalimantan Tengah, Ayu Kusuma, tujuan dari diskusi kali ini mencoba menjawab kebutuhan tersebut. “Supaya menjawab pertanyaan dari kawan-kawan tentang apa sih ekosida. Itu saja sebenarnya tujuan dari diskusi ini. Harapannya akan bisa berlanjut ke diskusi yang lebih mendalam lagi,” ujar Ayu.

Narasumber yang juga merupakan peserta diskusi mencoba memahami apa yang dimaksud sebagai ekosida. Dalam diskusi yang cukup singkat ini disepakati bahwa ekosida merujuk pada eksploitasi lingkungan hidup dengan skala luas dan berat yang berdampak besar, berjangka panjang, dan tidak dapat dipulihkan. Sehingga ekosida dapat dianggap sebagai kejahatan karena mengancam kehidupan makhluk hidup. Doni, peserta dari Saka Wanabakti mengatakan, “ekosida harus dianggap sebagai suatu kejahatan yang serius karena lingkungan itu sangat berarti bagi manusia. Kalau lingkungan rusak, otomatis kita akan terkena dampaknya.”

Selama diskusi, para peserta juga mencoba melihat ekosida dalam konteks di Kalimantan Tengah. Mereka melihat kejadian tahunan kebakaran hutan dan lahan serta asap sebagai salah satu contohnya. Sehingga peserta melihat pentingnya ekosida dapat dimasukan dalam kategori kejahatan serius di tingkat internasional disamping genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Acha dari Mapala Dozer FT UPR secara langsung menyebut, “ekosida harus dipisahkan dari kejahatan perang agar bisa memiliki aturan yang jelas karena seperti karhutla sudah termasuk besar skala besar dan berdampak luas.” Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bayu Herinata, Kepala Departemen Organisasi dan Pendidikan Walhi Kalimantan Tengah, ketika membuka diskusi. “Harus ada pemahaman terkait dengan ekosida agar kejahatan ini bisa dianggap sebagai kejahatan serius, baik oleh Pemerintah maupun dunia internasional,” ujarnya.

Menutup seri diskusi, Departemen Walhi Kalimantan Tengah membagikan souvenir berupa pin dan gantungan kunci untuk setiap peserta. Souvenir menjadi salah satu media untuk menyuarakan komitmen Walhi Kalimantan Tengah dalam menolak deforestasi lebih lanjut di provinsi ini. (akp)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *