Keadilan HAM dan Lingkungan SEKARANG!

Gagalkan Pembahasan Omnibus Law!

#AksiJegalOmnibuslaw #GlobalClimateStrike

Palangka Raya, 25 September 2020.

Walhi Kalimantan Tengah mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk menggagalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja!

Pada 7 September 2020, Walhi mengeluarkan data sebaran kasus konflik dan kriminalisasi selama pandemi virus korona COVID-19, periode Januari-September 2020. Data tersebut menunjukan setidaknya terdapat 18 kasus konflik dan kriminalisasi yang tersebar di 12 provinsi di Indonesia.

Kasus-kasus tersebut terjadi dalam berbagai bentuk tindak kekerasan, seperti penangkapan paksa, pembubaran, pemukulan, penggusuran, pembakaran, penyemprotan racun, hingga kriminalisasi yang bersumber dari konflik lingkungan dan sumber daya alam. Kasusnya sendiri tersebar dari Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Jambi, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Yogyakarta, Provinsi Riau, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi DKI Jakarta.

Ternyata pandemi COVID-19 tidak menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat. Masyarakat tetap harus berhadapan dengan ancaman dalam upaya mempertahankan dan memperjuangan hak-haknya. Berbagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan lingkungan terus terjadi disaat setiap sendi-sendi kehidupan rakyat harus lumpuh terdampak pandemi.

Tidak hanya menghadapi pandemi, intimidasi, dan kriminalisasi, masyarakat juga semakin terancam dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law). RUU sapu jagad yang kontroversial ini pembahasannya terus dikebut dan rencananya akan diselesaikan pada September 2020. Penegakan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan berpotensi akan semakin memburuk dengan penghapusan dan pelemahan yang disebabkan oleh revisi dalam Omnibus Law.

RUU Omnibus Law ini akan berakibat pada kekerasan aparat, pengekangan hak rakyat, perampasan tanah rakyat, menciptakan buruh murah dengan upah murah, banjir produk pangan impor, penguasaan sektor industri oleh swasta, penggusuran, polusi, kerusakan lingkungan, bencana ekologis, dan pengungsian. Pasalnya RUU yang memuat penyederhanaan 79 UU dengan 15 bab dan 174 pasal ini menyasar penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah), kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek Pemerintah, hingga kawasan ekonomi.

RUU ini bahkan telah bermasalah dari sejak penyusunannya yang tidak transparan, tanpa akses publik, dan minim partisipasi masyarakat. Hingga dalam proses pembahasannya dilakukan secara tergesa-gesa dan dipaksakan meski di tengah situasi pandemi. Karena mengatur banyak sektor sekaligus, Omnibus Law justru berpotensi menyebabkan kerugian, baik bagi rakyat dari berbagai kelompok, maupun negara itu sendiri.

Pembahasan RUU Omnibus Law harus dihentikan sekarang. RUU ini harus digagalkan pengesahannya karena tidak menampung suara rakyat yang hak-haknya terus dirampas dan diinjak-injak. Situasi yang lebih buruk justru akan ditimbulkan dari pengesahan Omnibus Law yang tidak memihak kepentingan rakyat, namun justru korporasi-korporasi besar. Kita membutuhkan perlindungan terhadap rakyat, lingkungan, serta pejuang hak asasi manusia dan lingkungan.

Kita tidak bisa hanya bergantung pada janji-janji Pemerintah untuk memastikan penegakan hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan. Dari sejumlah kasus kekerasan yang dialami oleh masyarakat telah memperlihatkan bagaimana Negara abai dalam memenuhi tanggung jawabnya untuk mengakui, menjunjung tinggi, memenuhi, dan melindungi hak-hak rakyat.

Dalam semangat peringatan Hari Tani dan Global Climate Strike 2020, Walhi Kalimantan Tengah menggelar aksi virtual Jegal Omnibus Law. Dengan seruan keras, kami memanggil pemuda pemudi, laki-laki dan perempuan, masyarakat adat, peladang, petani, nelayan, buruh, mahasiswa, aktivis, kelompok minoritas keyakinan, gender, dan seksualitas, khususnya rakyat Kalimantan Tengah turut menuntut Pemerintah dan DPR RI untuk mendengarkan suara rakyat dan menghentikan pengesahan RUU Omnibus Law!

Tidak ada jalan lain untuk melindungi rakyat dan lingkungan di Indonesia, selain mengagalkan pengesahan RUU Omnibus Law!

Mari bersatu melawan kesewenang-wenangan para penguasa! Jegal sampai gagal!

Gagalkan Omnibus Law!

Jangan diam, suarakan!

Jangan takut, lawan!

Salam adil dan lestari!

(akp)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *