Peladang tradisional membutuhkan perlindungan untuk menjalankan prakteik berladang mereka, bukannya pembatasan apalagi kriminalisasi.
Palangka Raya, 28 September 2020. Pada peringatan Hari Tani Nasional 2020, Walhi Kalimantan Tengah menggelar sebuah diskusi webinar terkait Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah tentang Pengendalian Kebakaran Lahan (Dakarla). Diskusi webinar yang mengangkat judul “Perlindungan Peladang Tradisional dilihat dari Perda Pemprov Kalteng No. 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan” ini digelar pada Kamis, 24 September 2020. Diskusinya sendiri berlangsung selama dua jam sejak pukul 14.00 hingga 16.00 WIB.
Diskusi ini merupakan sebuah diskusi lanjutan dari seri Diskusi Perda Dakarla yang sebelumnya telah digelar pada 20 Agustus 2020. Jika sebelumnya diskusi hanya melibatkan perwakilan dari kelompok masyarakat, diskusi kali ini melibatkan para pemangku kebijakan terkait. Hadir dalam diskusi Perda Dakarla #2, yakni Rio Jenerio dari Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Dr. Jhon Retei Sandi, S.S Sos, M. Si dari DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, Marang, SH, MH dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, M. Sajarod Zakun, SH, SIK, dari POLDA Kalimantan Tengah. Sedangkan dari kelompok masyarakat antara lain Dimas Novian Hartono dari Walhi Kalimantan Tengah, Kesiadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, Aryo Nugroho Waluyo dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Margaretha Winda Febiana bersama kelompok perempuan adat asal Desa Mantangai Hulu mewakili Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng, dan Tri Oktaviani dari Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Kalimantan Tengah.
Perda Dakarla yang baru disahkan pada awal bulan Juli 2020, telah menimbulkan banyak kebingungan di masyarakat. Meski dimaksudkan sebagai payung hukum bagi peladang tradisional, yang secara khusus disebut sebagai masyarakat adat dalam Perda, untuk membersihkan ladang dengan cara dibakar. Namun, isi Perda ini justru seakan membatasi praktik berladang tradisional masyarakat. Pasalnya Perda ini hanya memungkinkan pembukaan lahan untuk berladang di wilayah non gambut di luar kawasan hutan.
Pada Pasal 7 ayat 1 menyebutkan “lahan adalah satu hamparan ekosistem daratan di luar kawasan hutan yang peruntukannya untuk usaha atau kegiatan ladang atau berkebun bagi masyarakat.“ Padahal dari total wilayah seluas 15,3 juta hektar, Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luasan kawasan hutan mencapai 12 juta hektar lebih. Dimas Novian Hartono, Direktur Walhi Kalimantan Tengah, dalam diskusi menyebut masih banyak desa yang masuk kawasan hutan. “Dari RTRWP Kalteng desa-desa yang masih masuk kawasan hutan mencapai 400-600 desa, akan banyak petani peladang yang dianggap melanggar Perda ini,” ungkap Dimas.
Perempuan adat dari Desa Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, yang turut dalam diskusi mengaku bahwa di wilayah mereka hanya ada lahan gambut. Sehingga Perda Dakarla justru membuat mereka tidak mungkin dapat berladang. Menanggapi Perda Dakarla ini mereka mengatakan, “kami perlu ada jaminan bagi perempuan peladang untuk aktivitas menusul (berladang)! Karena itu sudah menjadi tradisi kami sejak nenek moyang dulu. Kalau tidak, sampai anak cucu kami Pemerintah harus memberikan bantuan!”
Dari diskusi Perda Dakarla #2 yang disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Walhi Kalimantan Tengah ini, masih terdapat sejumlah persoalan yang perlu dibahas dan dicari solusinya. Melihat kekosongan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, baik di tingkat nasional maupun daerah, perlu adanya kajian terkait posisi masyarakat adat. Hal ini disampaikan oleh Aryo Nugroho Waluyo dari LBH Palangka Raya. “Posisi masyarakat peladang ini memang perlu dikaji betul, tidak serta merta langsung adanya ditindak,” ujarnya.
Pemerintah perlu memastikan agar Perda ini benar-benar mampu mengakomodir hak-hak peladang tradisional di Kalimantan Tengah, bukan hanya masyarakat adat. Sebab Perda ini seharusnya bisa memberikan perlindungan yang selama ini dibutuhkan oleh peladang tradisional di Kalimantan Tengah yang seringkali dikriminalisasi ketika menjalankan praktik-praktik berladang mereka. Berladang bagi masyarakat Dayak bukan hanya untuk menjaga pangan, tapi punya fungsi spiritual sekaligus menjaga keragaman hayati dan memastikan keberlanjutan lingkungan. (akp)