Diskusi Webinar “Perda Dakarla #2”

Memperingati Hari Tani 2020

Perlindungan Peladang Tradisional dilihat dari Perda Pemprov Kalimantan Tengah No. 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan


Berladang tradisional, praktik bercocok tanam dengan kearifan lokal, menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah. Praktik berladang tradisional sarat dengan nilai sosial budaya dan spiritualitas. Dengan berladang tradisional, masyarakat adat Dayak juga berperan penting dalam mempertahankan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.

Berladang tradisional dengan kearifan lokal sejatinya diakui dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 34 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Pasal 69 Ayat 2 Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup juga memuat pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Berladang tradisional sendiri termasuk dalam hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang ditegaskan dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Sehingga seharusnya dilindungi, ditegakan, dijunjung tinggi, serta dipenuhi oleh Negara sesuai dengan Pasal 8 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 

Meski terdapat sejumlah landasan hukum bagi perlindungan praktik berladang dengan kearifan lokal, peladang tradisional masih rentan dikriminalisasi. Menurut data yang dihimpun oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, terdapat sebanyak 32 kasus terkait peladang dengan 35 orang terdakwa pada tahun 2019. Hal ini salah satunya disebabkan oleh belum adanya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat secara utuh dan spesifik, sehingga membutuhkan pengakuan dari daerah masing-masing.

Provinsi Kalimantan Tengah hingga saat ini belum mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi maupun Kabupaten yang spesifik terkait dengan masyarakat adat. Hanya terdapat sejumlah Perda yang berkaitan dengan masyarakat adat, seperti Perda No. 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan (Dakarla). Perda Dakarla telah secara resmi ditetapkan dan disahkan oleh DPRD Kalimantan Tengah dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah pada Rapat Paripurna ke-5 masa persidangan II tahun sidang 2020 pada 7 Juli 2020.

Perda Dakarla dimaksudkan sebagai payung hukum untuk masyarakat adat membersihkan ladang dengan cara dibakar. Namun, dengan kondisi dimana terdapat banyak UU yang bisa digunakan untuk memenjarakan dan memberikan sanksi bagi peladang tradisional, perlu kajian mendalam terhadap Perda Dakarla ini. Perlu dilihat apakah Perda ini dapat sepenuhnya melindungi masyarakat adat dari jerat hukum, serta mampu melindungi praktik berladang tradisional. 

Sebelumnya Walhi Kalimantan Tengah telah menggelar sebuah diskusi webinar terkait Perda Dakarla. Diskusi ini dilakukan antar perwakilan masyarakat dan organisasi. Dari diskusi tersebut, Walhi Kalimantan Tengah melihat perlu adanya diskusi lanjutan bersama sejumlah pemangku kebijakan terkait agar mendapatkan gambaran yang lebih baik terkait dengan Perda Dakarla ini. Maka dari itu dalam semangat peringatan Hari Tani 2020, Walhi Kalimantan Tengah menggelar diskusi webinar dengan judul “Perda Dakarla #2: Perlindungan Peladang Tradisional dilihat dari Perda Pemprov Kalimantan Tengah No. 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan.”

Dalam diskusi ini Walhi Kalimantan Tengah menghadirkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Tengah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Solidaritas Perempuan (SP) Mamut Menteng, dan Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Kalimantan Tengah. Walhi Kalimantan Tengah juga melibatkan para pemangku kebijakan terkait. Hadir dalam diskusi Perda Dakarla #2, yakni Rio Jenerio dari Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Dr. Jhon Retei Sandi, S.S Sos, M. Si dari DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, Marang, SH, MH dari Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah, M. Sajarod Zakun, SH, SIK, dari POLDA Kalimantan Tengah.

Aryo Nugroho Waluyo dari LBH Palangka Raya mengatakan Pemerintah masih harus membahas banyak persoalan dalam Perda ini. Juga perlu kajian lebih dalam terkait posisi masyarakat peladang, sehingga tidak serta merta mudah dikriminalisasi. 

Terkait Perda ini, Kesiadi dari AMAN Kalimantan Tengah, mengatakan Pemerintah harus melibatkan masyarakat agar Perda ini dapat mengakomodir hak-hak masyarakat adat di Kalimantan Tengah. Tri Oktaviani dari DPD GPM sebagai perwakilan anak muda di Kalimantan Tengah berharap Perda ini dapat mencakup seluruh masyarakat agar tidak terjadi konflik horizontal yang dinilai berdampak negatif bagi masyarakat Dayak itu sendiri.

Sedangkan sejumlah perempuan adat dari SP Mamut Menteng menuntut adanya jaminan bagi perempuan peladang untuk beraktivitas. Karena berladang telah menjadi tradisi masyarakat sejak dulu. Mereka menegaskan Pemerintah harus memberikan bantuan terus-menerus kepada masyarakat jika mereka tidak bisa berladang lagi.

Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Hartono, menutup diskusi dengan mengatakan Pemerintah Daerah perlu menginventarir wilayah pertanian masyarakat yang masuk kawasan hutan agar peladang tradisional dapat melakukan praktik-praktik berladang tanpa takut dikriminalisasi. (akp)

Paparan Narasumber

Rio Jenerio – Biro Hukum Setda Provinsi Kalimantan Tengah

Historis dari Pengendalian Kebakaran; Kalimantan Tengah memiliki Perda No. 5/2003 yang pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Gubernur  tapi dicabut karena pada masa bencana asap peladanglah yang membuat sumber bencana di Kalimantan Tengah. Secara urutan waktu Perda No. 5/2003 muncul sebelum UU PPLH No. 32/2009 dimana ada norma larangan membuka lahan dengan cara bakar, di Perda No. 5/2003 sudah terakomodir pengecualian yang ada di UU No.32/2009 juga melahirkan Peraturan Pelaksana Menteri LH No. 10/2010. Awal 2016 Pemprov menyusun naskah akademik tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan karena ada gejolak pangan sejak dilarangnya peladang membuka lahan dengan cara bakar sehingga ada data penurunan produksi pangan sampai 70% di Kalimantan Tengah. Naskah akademik di satu untuk melindungi peladang tradisional juga mencari solusi terhadap bencana kebakaran di Kalimantan Tengah.

Tahun 2020 rancangan Perda ditetapkan menjadi Perda No. 1/2020 Pengendalian Kebakaran Lahan dan ada beberapa substansi yang diatur; pencegahan, pemadaman kebakaran lahan, penanganan paska kebakaran lahan, pemberdayaan masyarakat, sistem informasi dan komunikasi. Dalam pencegahan ada larangan untuk kegiatan membuka lahan dengan cara bakar. tapi dalam Perda tersebut, ada pengecualian yang bersifat khusus di lahan bukan gambut, di lahan gambut diberlakukan zero burning, tidak boleh ada pembakaran sama sekali didasari dengan peraturan perlindungan ekosistem gambut. Pengecualian dilakukan oleh petani peladang atau pekebun dari anggota masyarakat hukum adat, awalnya kami inginkan petani peladang tradisional karena perasa masyarakat hukum adat agak memberatkan karena di Kalimantan Tengah belum ada penetapan tentang masyarakat hukum adat secara permendagri. Peraturan Menteri LH No. 10/2010 menjadi dasar untuk mengevaluasi dan memfasilitasi rancangan Perda Provinsi Kalimantan Tengah tentang Pengendalian Kebakaran Lahan. Pengecualian ini akan tercantum dalam pergub sebagai peraturan pelaksana dari Perda ini, Pergub sekarang posisi di Mendagri untuk dievaluasi.

Sejak UU No. 1/2020 di undangkan ada kesalahan persepsi di masyarakat bahwa dengan Perda No. 1/2020 masyarakat boleh membakar, secara hukum tidak sesuai dengan roh yang ada di Perda No. 1/2020. Boleh dan pengecualian berbeda, boleh dengan kondisi apapun bisa dilakukan tapi pengecualian ada syarat yang harus dipenuhi baru bisa dilakukan. Dalam Perda ini ada isu yang baik tapi tenggelam. Pembuatan rencana induk pengendalian kebakaran dan lahan. Harapannya isu ini yang dinaikkan ke masyarakat, sehingga seperti apa pengendalian kebakaran lahan sekaligus mengakomodir keinginan perlindungan terhadap masyarakat petani peladang tradisional di Kalimantan Tengah.

Di dalam pencegahan ini ada beberapa larangan dan kewajiban perusahaan untuk memiliki sistem pengendalian kebakaran dan lahan sifatnya mengikat sehingga kewajiban tidak dipenuhi ada sanksi administratif dan pidana yang dibebankan oleh Perda ke perusahaan yang tidak dapat membuat sistem pengendalian kebakaran lahan. Dalam Perda juga terdapat substansi pemadaman, kewajiban Pemerintah, unit pengelola, perusahaan dan masyarakat bersama-sama melakukan pemadaman ketika ada kebakaran. Perusahaan wajib melakukan pemadaman di wilayah perizinannya dan melaporkan dan berkoordinasi dengan Pemerintah daerah agar ke depan tau apa penyebabnya dan bagaimana menanggulangi. Pengaturan pasca kebakaran yang akan dilakukan sesuai dengan rencana induk pengendalian kebakaran yang dibebankan ke Pemda khususnya di bawah lingkungan hidup.  

Pemberdayaan masyarakat sebagai ujung tombak dalam pencegahan ada kewajiban pelatihan, penguatan kelembagaan, fasilitasi, atau penyuluhan yang dilakukan Pemerintah Daerah, koordinasi dan bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten, Kota, Desa, unit pengelola, dan perusahaan. Perda ini juga membuka peluang kerja sama untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan antara Pemerintah daerah atau pihak ke-3 lainnya. 

Dalam ketentuan pidana ada sanksi pidana yang melanggar ketentuan sesuai dengan UU No. 12/2011 turunan pidana maksimal 6 bulan atau denda maksimal 50 juta. Sanksi dilihat dari tindak pidana yang dilakukan. Jika pelanggaran dilakukan perusahaan karena tidak memiliki sistem pengendalian kebakaran lahan maka diberikan tuntutan dengan sesuai dengan Perda ini. 

Dr. Jhon Retei Alfri Sandi, SS. Sos, M. Si – DPRD Provinsi Kalimantan Tengah

Marang SH, MH – Kejaksaan Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah

Terkait Perda Pemrov No. 1/2020 hasil penyidikan terkait kebakaran lahan masih menggunakan UU No. 32/2009 dan UU terkait lainnya. Dari Perda No. 1/2020 semua yang terkait kearifan lokal dan kekhawatiran terkait kriminalisasi sudah ada di dalam Perda dan mengakomodir apa yang menjadi permasalahan kearifan lokal dalam membuka lahan dengan cara membakar. Perlu segera dilakukan sosialisasi kepada masyarakat adat di Kalimantan Tengah dan perlu banyak edukasi terkait masalah lingkungan hidup. kegiatan membuka lahan dengan cara membakar dampaknya baru dipermasalahkan sekarang, masyarakat adat dulu sudah tahu dampak dari pembakaran lahan sehingga dilakukan pencegahan agar tidak berdampak kebakaran lahan yang luas karena masyarakat adat atau lingkungan bagian dari kehidupan masyarakat. Perda ini bisa sebagai payung hukum dalam membuka lahan dengan cara membakar

Terkait penegakan hukum dalam membuka lahan dengan membakar, secara pidana merupakan upaya terakhir ultimum ke medium. Saat ini yang dikedepankan bagaimana upaya penegakan hukum terkait lingkungan hidup yang perlu disosialisasikan dan diedukasi kepada masyarakat dalam upaya pencegahan agar masalah lingkungan hidup bisa terjaga dengan baik dan tidak ada dampak kebakaran. 

Tugas kita sekarang berperan serta agar Perda bisa berjalan dengan baik dan upaya pencegahan lingkungan hidup bisa berjalan dengan baik, jika ada dampak yang terjadi seminimal mungkin diminimalisir sehingga tidak ada lagi pidana cukup denda dan sanksi. Jika kita bisa melibatkan seluruh unsur kita bisa menegakkan aturan yang ada dengan mengedepankan upaya pencegahan. Terkait pembukaan lahan oleh masyarakat adat bagaimana masyarakat bisa berkebun, di lingkungannya sendiri dan bisa berkelanjutan sehingga menjadi warisan anak cucunya. 

Harapannya kalau masyarakat adat bisa eksis dan paham cara melestarikan lingkungan menjadi daya proteksi dari pihak korporasi yang melakukan kegiatan lingkungan yang berdampak luas bagi masyarakat, jangan sampai terjadi pembiaran dan segera memberikan informasi kepada Pemerintah supaya bisa dilakukan upaya pencegahan. 

M. Sajarod Zakun, SH, SIK – Polda Kalimantan Tengah  

Terkait penangan karhutla ada 3 hal yang perlu dibahas; pencegahan, pemadaman, penegakan hukum sebagai kunci terakhir dalam penanganan karhutla agar tidak terkesan kriminalisasi.

Presiden dalam rapat terbatas terkait pencegahan dan penanganan karhutla; manajemen lapangan harus terkoordinasi dengan baik dengan memanfaatkan teknologi yang ada, dan sekecil apapun api segera tanggap dilakukan pemadaman dan penegakan hukum harus tegas tanpa kompromi karena karhutla 99% ulah manusia selebihnya oleh alam. Maklumat Kapolda Kalimantan Tengah terkait penanggulangan karhutla sebagai pijakan dalam melakukan penanganan lebih lanjut.

Situasi Kalimantan Tengah  dengan luas 153 ribu KM2 (13 kabupaten dan 1 kota atau 14 Polres dan 1 kota), sebaran gambut 2 juta hektar, kedalaman 0-2 meter, luas hutan 10 juta hektar pekerjaan masyarakat; petani, pekebun, swasta, dan pekerja Pemerintahan, karakteristik berbagai macam suku dan penegakan hukum karhutla mengacu pada Perpu yang berlaku; KUHP, UU No. 41/1999 tentang kehutanan, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU N0. 39/ 2014 tentang perkebunan, Perda Provinsi No 1/2020, Permen LH No. 10/2010 tentang mekanisme pencegahan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan. 

Dalam Permen LH No. 10/2010 Pasal 4 Ayat 1: masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan maksimum 2 hektar per KK dan wajib melaporkan kepada Kepala Desa. Ayat 2: Kepala Desa menyampaikan laporan tersebut pada instansi bidang perlindungan dan lingkungan hidup kabupaten/kota. Ayat 3: pembakaran lahan tidak berlaku pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, atau iklim kering. Ayat 4: Kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang atau iklim kering sesuai dengan verifikasi lembaga non kementerian bidang meteorologi dan klimatologi. 

Perda No. 1/2020 Pasal 5: setiap orang maupun perusahaan dilarang melakukan kegiatan pembakaran lahan, poin [2] pembakaran dikecualikan untuk hal-hal yang bersifat khusus yang ada pada lahan bukan gambut. [3] Pembakaran dilakukan oleh petani, peladang, pekebun berasal dari anggota masyarakat hukum adat. [4] untuk ekosistem lahan gambut pembakaran tidak diberikan izin dengan alasan apapun. [5] pengecualian pembakaran lahan tidak berlaku bila Gubernur. Pemerintah setempat menyatakan status siaga darurat bencana saat ini status siaga darurat di 10 kabupaten. 

Perda No. 1/2020 pasal 6 mengatur bagaimana masyarakat akan melakukan atau membuka lahan dengan cara membakar. [1] pembakaran di lahan bukan gambut dengan luas lahan maksimal 1 hektar/KK untuk ditanami jenis padi atau tanaman pangan semusim, pemberian izin di lahan bukan gambut paling banyak 20 hektar dalam satu wilayah desa pada hari yang sama, kegiatan membuka lahan dilakukan lebih dari 1 km jaraknya. 

Penanganan pasca kebakaran dengan pemberdayaan masyarakat, koordinasi dan kerjasama lintas sektoral, sistem informasi dan komunikasi, pemantauan, dan pelaporan. Pihak Polda telah membentuk 145 posko yang dikendalikan oleh Ditreskrimsus. Sehingga semua titik hotspot yang terpantau dan memberikan notifikasi ke posko terdekat sehingga bisa melakukan ground check dan melakukan pemadaman sehingga api tidak berdampak luas.

Terkait pembinaan dan pengawasan melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan lebih baik membuka lahan tidak dengan cara membakar sehingga tidak berdampak luas dan kerusakan lingkungan. Terkait ketentuan pidana setiap orang dan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Perda akan dipidana penjara selama 6 bulan atau denda Rp. 50 juta. Penegakan hukum yang terakhir, karena kasus pidana terhadap lingkungan hidup adalah ultimum remedium.     

Tanggapan Para Penanggap

Kesiadi – AMAN Kalimantan Tengah

Untuk Biro Hukum Setda Provinsi Kalimantan Tengah, ada pengecualian antara UU. 32/2009 dan munculnya Perda 5/2003.

Untuk DPRD Kalimantan Tengah, jaminan hukum ada di Perda hanya ada syaratnya? Apa saja yang jadi pemisah terkait petani dan peladang? Berbicara siklus yang berbeda kalau definisi menurut masyarakat Dayak.  

Dalam Perda secara keseluruhan belum menyinggung tentang kebakaran lahan dan kabut asap di lahan gambut, bagaimana dengan kondisi yang ada di tanah mineral yang tidak pernah menyebabkan kabut asap dan di Perda ini belum menyangkut hal-hal tersebut,  dan belum berbicara secara spesifik terkait pengendalian kebakaran lahan hanya berbicara di lahan gabut bukan secara keseluruhan di Kalimantan Tengah.

Untuk Polda Kalimantan Tengah,  tentang penegakan hukum, AMAN Kalimantan Tengah mendata untuk komunitas di tahun 2019 terjadi penangkapan karena membakar sekumpulan kecil sampah di ladang. Apakah ini tetap berlanjut atau tidak karena Perda sudah ditetapkan setelah kejadian 2019?

Dimas Novian Hartono – Walhi Kalimantan Tengah

Untuk Biro Hukum Kalimantan Tengah, beban ini ada di pundak Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten. Karena di Pasal 7  ayat 1: “lahan adalah satu hamparan ekosistem daratan di luar kawasan hutan yang peruntukannya untuk usaha atau kegiatan ladang atau berkebun bagi masyarakat”. Kalimantan Tengah dengan luas 15, 3 juta hektar, kawasan hutan 12 juta hektar lebih (SK 529) dimana masih banyak desa yang masuk kawasan hutan.

Bagaimana dengan desa-desa yang tidak bergambut, tapi masuk kawasan hutan? Otomatis tidak bisa melakukan aktivitas perladangan dengan cara memurun. Artinya sama saja terjadi pelarangan bagi desa di Kalimantan Tengah yang  statusnya masuk kawasan hutan. Dari RTRWP Kalimantan Tengah, desa–desa yang masih masuk kawasan hutan mencapai 400-600 desa. Akan banyak petani peladang yang dianggap melanggar Perda ini.

Di Perda ini ada 2-3 Pergub yang harus dibuat secepatnya guna menjalankan aktivitas terkait masterplan pencegahan kebakaran hutan, sistem informasi, dsb. Kapan ini bisa mulai? Di sisi lain pelaporan dari Pemda terjadi penurunan pangan di Kalimantan Tengah sangat drastis dari tahun 2015 sampai sekarang. Bagaimana menjawab itu? Karena akan banyak petani yang sudah merasa ada ruang dengan cara memurun tapi akhirnya tertangkap karena status kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan belum terjadi, tata ruang belum mengakomodir wilayah yang masuk kawasan hutan. 

Sedikit tambahan terkait gambut, masyarakat tidak tahu batasan gambut dimana berdasarkan peta gambut Pemerintah. Tapi kalau berdasarkan keilmuan masyarakat tahu yang mana gambut. Tapi berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah, masyarakat tidak tahu batasan gambutnya dimana saja. Bagaimana mensinkronkan keilmuan masyarakat terkait wilayah gambut dengan aturan Badan Balai Besar Pertanian di Kementerian Pertanian sudah mengeluarkan peta baru? 

Tanggapan Narasumber

Rio Jenerio – Biro Hukum Kalimantan Tengah 

Untuk Kesiadi, UU No. 32/2009 dan Perda 5/2003. keduanya membuat pengecualian terhadap pembukaan lahan dengan cara bakar kepada khususnya petani peladang tradisional. Dari Perda No. 5/2003 sudah berusaha memberikan peluang bagi petani dan peladang, dan sudah diatur dalam UU No. 32/2009 tentang PPLH. Walaupun ada larangan di batang tubuh, tapi dalam penjelasannya ada pengecualian. Sisi positifnya ada celah bagi petani peladang tradisional untuk melanjutkan pola hidupnya sementara. Perda No. 5/2003 dan UU No. 32/2009 sudah searah/ sejalan, hanya permasalahanya keduanya tidak mengatur secara rigid. Perda No. 5/2003 mencoba mengatur secara rigid dari 4 Pergub yang menyebabkan Kalimantan Tengah terkena bencana asap karena ada pembolehan membakar. Pada kenyataannya tidak ada izin yang dikeluarkan berdasarkan Pergub.

Saya setuju dengan Wakajati, Perda ini keluar setelah era milenium, dan menurut itu budaya sejak lama dan kenapa sekarang dipermasalahkan. Pemda ingin memperjelas bukan petani peladang tradisional yang menyebabkan bencana asap dan itulah kita ingin melindungi dan memberi payung hukum agar tetap melakukan bertani dan peladang lewat Perda No. 5/2003 dan No. 1/2020.

Untuk Dimas, sepakat Perda ini banyak membebankan ke Pemda baik Pemprov dan Pemkab karena sudah selayaknya Pemda yang dikenakan tugas dari Perda ini dilihat dari pasal 1 ayat 7. Ini pergolakan yang lama di Permendagri karena kami tidak ingin ada pembatasan antara kriteria hutan dan non hutan. Sisi lain Perda ini sebagai suplemen Pemda, sebagai masukan dalam PK peninjauan RTRW-nya dan ada sekitar 600-an desa yang masuk kawasan hutan. Bolehkah memurun? Secara aturan tidak boleh, tapi kembali lagi Pemda dan forum memfasilitasi orang-orang dalam mencukupi kebutuhannya, karena menurut saya urusan perut nomor 1,  dan 600 desa sudah masuk dalam bagian yang akan diubah status kawasannya.

Terkait 2-3 aturan yang harus dibuat dalam Perda sudah diamanatkan aturan pelaksana Perda ini paling lambat 6 bulan dan 1 sudah di posisi Kemendagri, draf mengenai tata cara membuka lahan dengan memurun. Tinggal rencana induk pengendalian kebakaran dan sistem informasi dan DLH sudah tau betul Pr-nya yang akan dilaksanakan di 2021 sesuai dengan anggaran baru. 

Dr. Jhon Retei Alfri Sandi, SS. Sos, M. Si – DPRD Provinsi Kalimantan Tengah

Terkait beda petani peladang dan pekebun, dalam Perda No. 1/2020, aktivitas khusus dalam pembakaran pada jenis komoditas padi atau yang sejenis/semusim. Dalam konteks lahan yang dibakar untuk aktivitas pertanian/perladangan perkebunan harus dilakukan sosialisasi lebih dalam kepada masyarakat sehingga dalam konteks pembakaran dengan berladang dipahami masyarakat tidak diarahkan untuk komoditas tanaman keras. Pada draf awal yang beberapa kali dikonsultasikan ke Kementerian salah satunya menyangkut tentang lahan dan hutan.

Menyangkut tentang lahan gambut dan yang ada di kawasan hutan, ini permasalahan yang harus dipikirkan ke depan. Pemda dan DPRD tetap berupaya, khususnya permasalahan terkait petani peladang dan tradisional bisa dijawab minimal melalui Perda ini.

Secara spesifik karena Perda Kalimantan Tengah harusnya melihat menyeluruh tentang Kalimantan Tengah, tapi untuk Peraturan Daerah perlu penyesuaian lain dengan peraturan lain untuk mampu di formulasikan dan ditetapkan sesuai dengan yang diinginkan.

Kita apresiasi terhadap pertanyaan dan menjadi bahan masukan bagi peraturan dan mengakomodir semua kebutuhan yang ada di masyarakat. Minimal bagi yang ada di tanah mineral bisa melakukan, dan budaya memarun bisa dilakukan. Yang perlu dipikirkan untuk wilayah hutan menjadi persoalan yang bisa dilakukan. 

Terkait Perda sebelumnya juga berbicara tentang pedoman pembukaan lahan dan pekarangan menjadi kewenangan Pemerintah dan harus dipikirkan menjadi terobosan bagi Pemda kepada komunitas, petani, peladang, dan kebun, khususnya di wilayah mineral untuk melindungi kelompok masyarakat yang tidak terlindungi melalui peraturan ini.

M. Sajarod Zakun, SH, SIK – Polda Kalimantan Tengah  

Apakah penangkapan tahun 2019 akan berlanjut? Perlu diperjelas kembali kapan, dimana, siapa, apabila tindakan tersebut bagi Polri menyalahi aturan yang berlaku. Silakan melaporkan ke Propam jika ada unsur kelalaian atau ketidak profesionalan. Jika tertangkap tangan melakukan pembakaran, sengaja atau tidak, yang berdampak luas dan mengakibatkan kerugian dan menyebabkan pengaduan dari orang lain, dsb, wajib dilakukan tindak kepolisian. Dan Perda ini sudah mengatur bagaimana membuka lahan dengan cara membakar sesuai kearifan lokal yang ada di Kalimantan Tengah. Dalam hal penanganan kebakaran hutan dan lahan ada 3 hal: pencegahan, pemadaman, dan penegakan hukum. Pasal 5, 6 pada Perda No. 1/2020 sudah diatur mekanisme dan luasan cara membakar. Jika tidak diindahkan dan aturan mainnya dilanggar, artinya ada konsekuensi hukum yang harus ditegakkan.

Marang SH, MH – Kejaksaan Tinggi Provinsi Kalimantan Tengah

Banyak masyarakat yang bermukim di kawasan hutan yang akan berpotensi melakukan pelanggaran terkait lingkungan hidup. Sehingga perlu menghadirkan pihak terkait (kehutanan, BPN), perlu dipetakan supaya ada ketegasan terkait hukum. Untuk kawasan hutan di Sulsel, ada masyarakat yang bermukim di kawasan hutan dan ada yang di luar dan berhimpitan dengan batas kawasan hutan. Masyarakat yang ada diberikan kesempatan mengelola di sekitar kawasan tapi tidak merusak hutan, tetapi terakhir bermasalah hukum Ternyata masyarakat yang ada di situ memohon atas haknya dan berproses, kemudian keluar sertifikat kepemilikan hanya masuk kawasan hutan. Di kawasan hutan Malino menggeser tapal batas kawasan konsevasi dan dibagun vila yang mendapatkan izin dari Pemda. Perlu menyingkapi bersama, menghadirkan pihak terkait untuk diperjelas agar jangan ada lagi kriminalisasi masyarakat dan perlu segera diperbaiki.    

Aryo Nugroho Waluyo – LBH Palangka Raya

Daftar Inventarisasi Masalah Perda No. 1 Tahun 2020 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan

LBH Palangka Raya melihat Perda 1/2020 khusus pengendalian kebakaran, dikaitkan dengan perlindungan masyarakat adat, peladang dan petani masih jadi perdebatan. Beberapa persoalan substansial yang membuat Perda ini dibuat, tapi tidak bisa dilaksanakan. Semua diawali pada pasal 5 dan UU No. 32 yang berbicara di lahan yang tidak gambut. Bagaimana membedakan yang gambut dan tidak, khususnya di masyarakat? Karena fungsi gambut berperan penting. Perda ini jika untuk melindugi peladang tradisional dan masyarakat adat, berat untuk dilakukan. 

Pasal 5 ayat 3 yang digunakan, pendekatan LHK 2010-2020 perwakilan Kalimantan Tengah mendorong adanya Perda perlindungan masyarakat sesuai dengan Permendagri No. 52/2014, bahwa Pemda punya kewajiban menginventarisir masyarakat adat. Sampai sekarang belum ada dan jika ada masyarakat adat apakah Pergub ini bisa menjamin bahwa yang membakar memang masyarakat adat atau bukan. Di pasal 67 ayat 2 UU Kehutanan, ada tidaknya eksistensi masyarakat adat ditetapkan oleh Peraturan Daerah. Lagi-lagi Perda ini dibuat, tapi tidak dilaksanakan untuk perlindungan masyarakat adat.

Pasal 5 menjadi berat lagi, beberapa kabupaten sudah menyatakan siaga darurat, sehingga Perda ini tidak bisa melindungi karena sudah ada status darurat. Permen LH No. 10/2010 tidak ada terkait dengan status darurat bencana. Ini akan sangat menghambat atau mengurangi esensial pengecualian yang ada di Perda ini. Lahirnya Perda ini harusnya bisa memberikan harapan dan perlindungan bagi masyarakat, sepertinya tidak efektif. Perda No. 5/2003 banyak kasus yang ditemui untuk menjerat pembukaan lahan dengan cara membakar. Dalam Perda ini juga bahasan untuk peladang dan masyarakat sangat kecil. Perda ini bisa dikatakan untuk melindungi masyarakat adat dengan membuka lahan dengan cara membakar agak susah diimplementasikan. 

Ada aturan baru yang sudah digunakan dan perlu sosialisasi, dsb.  Sejak tahun 2003, ada Perda Kalimantan Tengah yang membolehkan membuka lahan dengan cara tertentu. Namun, dari pihak penyidik Kepolisian sosialisasi berbicara ancaman. Hal ini menjadi dilema membuka lahan dengan membakar untuk makan. Saran saya sosialisasi yang dilakukan Kepolisian perlu balance, tidak hanya ancaman sehingga orang takut.

Terkait 2019, berbicara kebakaran hutan dan lahan, tidak hanya individu tapi juga korporasi. Tahun 2019  ada 50 perusahaan yang terindikasi lahan mereka terkabar berdasar UU perkebunan dana linkungan hidup mereka punya tanggung jawab tapi faktanya banyak masyarakat yang di vonis, berdasarkan informasi di pengadilan tinggi Kalimantan Tengah sudah ada 33 orang masyarakat divonis bersalah melakukan pembakaran di lahannya sendiri dengan menggunakan peraturan perundangan-undangan dari kehutanan, perkebunan, dan Perda no.5/2003, kenapa masyarakatnya yang di vonis dibandingkan perusahaannya 

Margaretha Winda Febiana dan Perempuan Adat – SP Mamut Menteng 

Kami berada di Desa Mantangai Hulu bersama ibu-ibu yang juga ingin menanggapi terkait diskusi hari ini.

Menanggapi Pergub itu sangat tidak bagus bagi kami. Dan Pergub ini sangat membingungkan, kenapa dikeluarkan? Sedangkan keselamatan untuk peladang tidak ada. Bahkan dengan pengecualian yang disebutkan Bapak-Bapak itu, kami seperti disudutkan karena cara kami berladang dengan menusul bukan memaru. Menusul sudah biasa bagi kami, dan di bulan Oktober di awal atau pertengahan, sudah mulai menggarap lahan, akan melakukan menusul. Agar Bapak-Bapak bisa menyampaikan ke pihak Gubernur kalau kami akan melakukan menusul dan kami tidak akan menusul dengan membakar lalu meninggalkan lahan. Tapi tetap menjaga supaya tidak merambat ke lain, karena kebiasan kami seperti itu. Masyarakat tidak mau membakar sembarangan karena disamping kami ada kebun karet, rotan, sebagai tempat mencari makan sebelum padi berbuah.

Terkait yang dibilang Bapak-Bapak, mereka berharap masyarakat untuk mematuhi peraturan Pergub itu, tapi bagaimana kami? Peraturan itu jangankan untuk menenangkan kami, malah memojokkan. Dikasih peraturan boleh membakar, tapi tidak dijaminkan. Boleh membuka lahan 1 hektar, tapi berjarak 1 km. Sedangkan kebiasaan kami berladang, biasanya berhamparan, karena musuh akan terbagi-bagi kalau berhamparan. Kalau untuk berjalak 1 km, percuma saja membuka ladang, akan habis dimakan musuh saja. Jika tidak boleh membakar lahan, kami minta bantuan beras 1 pikul 1 keluarga!

Tri Oktaviani – Perwakilan Anak Muda/DPD GPM 

Perda Dakarla, Bab 2 Pasal 5 Ayat 3: kegiatan pembakaran di lahan yang bersifat khusus pada lahan bukan gambut sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan oleh petani peladang atau pekebun yang berasal dari anggota masyarakat hukum adat. Ayat 3 ini mempertegas pengecualian larangan kegiatan pembakaran lahan oleh petani peladang atau pekebun yang berasal dari masyarakat hukum adat. Saat ini secara legalitas masyarakat hukum adat peraturannya masih disusun, masyarakat hukum adat itu siapa? bukankah kita semua masyarakat hukum adat yang di setiap daerah memiliki norma yang mengikat sebagai masyarakat adat sekalipun berada di kota ketika melakukan acara selalu ada ritual adatnya itu menandakan kita bagian dari masyarakat hukum adat. Namun dalam banyak kasus peladang yang telah mendapat izin dari Kepala Adat bisa ditangkap dengan tuduhan pembakaran lahan yang menyebabkan kebakaran dan izin-izin dari Kepala Adat secara hukum positif tidak diakui. Yang boleh membakar 1 hektar/KK adalah anggota yang berasal dari masyarakat hukum adat, dibuktikan dalam bentuk apa? Apakah kawan-kawan SP Mamut Menteng di desa juga sebagai masyarakat hukum adat ketika secara legalitas dari kacamata Pemerintahan belum ada?

Perda Dakarla ini sebagai angin surga pagi peladang yang membuka lahannya dengan cara kearifan lokal dengan membakar. Karena selama ini peladang ditakut-takuti dengan aturan larangan membakar lahan milik mereka sendiri yang luasnya tidak sebanding dengan kebakaran lahan milik konsesi. Realitanya masih banyak peladang tradisional yang ditangkap karena membakar lahannya sendiri dengan tuduhan menyebabkan kebakaran. Sekuat apa Perda No. 1/2020 melindungi petani tradisonal yang ada di Kalimantan Tengah?

Tanggapan Narasumber 

M. Sajarod Zakun, SH, SIK – Polda Kalimantan Tengah 

Dari LBH Palangka Raya terkait peradilan kasus karhutla tahun 2019, tidak hanya perorangan. Namun ada korporasi juga yang terjerat hukum terkait kasus karhutla, sehingga kita tidak tebang pilih jika terjadi kasus di sana.

Saya sangat senang dengan Ibu-Ibu di Mantangai Hulu. Mungkin itulah marwah dari Perda ini, mengatur bagaimana membuka lahan dengan cara kearifan lokal dengan membakar. Namun, kami juga mendorong Pemerintah setempat di provinsi dan kabupaten/kota bahwa membuka lahan tidak dengan cara membakar sesuai dengan rencana induk.

Dari Tri Oktaviani, terkait penegakan hukum bahwa kegiatan penangkapan tidak serta merta dilakukan tanpa ada dasar dan bukti yang cukup. Semua berawal dari kegiatan yang dilakukan pelaku itu sendiri. Jika ada petani peladang yang membiarkan kegiatan membuka lahan dengan cara membakar sehingga berdampak luas dan mengakibatkan kebakaran yang sangat hebat, bayangkan bagaimana dampaknya bagi masyarakat sekitar? Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik diatur melalui Perda ini dengan membuka lahan dengan kearifan lokal dan masalah ini juga sudah didiskusikan secara lintas sektoral masalah hukum adat seperti apa yang diatur dalam Perda ini.

Rio Jenerio – Biro Hukum Kalimantan Tengah 

Ketika penyusunan Perda, tim penyusun bisa lebih luas menjangkau penyusunan Perda ini, harapannya petani peladang tau bahwa ada niat baik dari Pemda untuk melindungi masyarakatnya, khususnya petani peladang. Karena ada 1 provinsi yang Perdanya sama dengan kita dalam pengendalian kebakaran dan lahan dengan menerapkan zero burning, tidak peduli tanah mineral, kawasan gambut, atau bukan. Tidak boleh ada pembakaran, tapi kita tidak mau, bang Aryo LBH Palangka Raya berbicara Perda ini dibuat tapi belum bisa dilaksanakan karena substansi pentingnya sendiri didelegasikan ke Pergub jadi harus menunggu pergub dulu. Pengaturan ini sangat sensitif jangan sampai memblunder di Pemda dan petani peladang.

Berbicara pemetaan gambut akhirnya menjadi PR Pemprov dan Pemda Kabupaten/Kota. Informasi keputusan RPEG (Rencana pengelolaan Ekosistem Gambut) yang di dalamnya ada peta kawasan gambut dan SK, tinggal menunggu tanda tangan. Dan itu yang akan diadopsi kabupaten/kota untuk menetapkan wilayah gambutnya dan menjadi salah satu solusi si pemberi izin bagi petani peladang tradisional.

Tentang MHA (Masyarakat Hukum Adat) sesuai dengan ketentuan UU No. 12/2011 pengertian yang dipakai dalam pasal 1 dari Perda 1/2020 dengan pendekatan sosiologis. Bagaimana cara menentukannya diserahkan kembali dalam ketentuan kelembagaan adat yang ada di masing-masing wilayah, baik dari Mantir atau Damang dan kita lihat respon dari Permendagri. Secara penetapan Perda ada aturan pusat lainnya kenapa tidak diselaraskan juga dari UU kehutanan, Permendagri, sementara Permen LH sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 32/2009 berbicara lain. Perda ini kiblatnya UU 32/2009 karena mengatur masalah pengecualian terhadap pembukaan lahan dengan cara bakar. Secara logika hukumnya betul saja menggunakan pengertian Permen LH No. 10/2010 yang tidak meminta penetapan MHA dengan Perda. 

Berbicara kebakaran lahan, status siaga yang dimaksud siaga karhutla dan sekarang ada 10 kabupaten/kota yang menetapkan status siaga karhutla.

Untuk SP Mamut Menteng merasa tersudutkan dengan Perda ini, tidak ada niat untuk menyudutkan. Mungkin Perda ini tidak bisa memenuhi 100% keinginan Ibu-Ibu, perjuangan sampai hari ini yang maksimalnya, Pergubnya sudah kita kirim ke Kemendagri. Bagaimana bisa mengakomodir menghilangkan rasa disudutkan baik manusul dan mamurut hanya perbedaan kosakata berdasarkan KBBI. Kita betul-betul mengadopsi kearifan lokal yang sering dilakukan masyarakat dan diadopsikan dalam Pergub. Tata cara membakar dipastikan mengadopsi kearifan lokal yang ada di Kalimantan Tengah. Mengenai luasan 1 hektar dan jarak 1 km, mau tidak mau ini masukan dari KLHK dan Permendagri karena ini menunjukan pengendaliannya dan 1 hari maksimal 20 hektar. Mudahan Pergubnya bisa memberi angin segar bagi Ibu-Ibu. Perda ini ujungnya tujuannya PLTB. Mudahan program ini bisa tercapai secara bertahap untuk sekarang tidak bisa, kedepannya menuju ke situ.            

Dari GPM, ini bukan angin surga setidaknya impian yang suatu saat bisa menjadi kenyataan. Dengan Perda ini kita harap tidak ada kriminalisasi bagi petani peladang. Bagaimanapun dari atas sudah ada kontradiksi pengertian di Permen LH dan UU Kehutanan dan pengertian Kementrian sendiri. Pertama kami ingin melindungi dulu walaupun caranya sulit, dan PR bagi si pembuat Perda – Pemda. Ke depan banyak PR yang harus dilakukan. Mudahan ini menjadi pintu pembuka agar semua bisa terlaksana setelah adanya Perda. Siapakah masyarakat hukum adatnya? Ini akan dijabarkan dalam Pergub dan siapa saja yang bisa diberikan izin atau rekomendasi oleh Kelembagaan Adat Dayak itu yang diakui sebagai masyarakat hukum adat. 

Dr. Jhon Retei Alfri Sandi, SS. Sos, M. Si – DPRD Provinsi Kalimantan Tengah

Pemprov dan DPRD berupaya memberikan yang terbaik untuk masyarakat Kalimantan Tengah dengan membuat kebijakan dalam bentuk Perda dan pasti tidak bisa mengakomodir semua kebutuhan masyarakat. Dari diskusi masih banyak meragukan bagaimana proses implementasinya dari ruang-ruang yang mesti diperkuat bersama mencermati apa yang menjadi kendala dan tantangan dan menjadi catatan penting . 

Terkait teknis, di Pergubnya masih tahap pembahasan dievaluasi di Permendagri dan tahapan implementasi. Harapannya masyarakat bisa sabar dan mensosialisasikan terkait Perda yang akan disahkan Pemerintah Pusat. Kebijakan yang ada di tingkat daerah harus harmonis dengan kebijakan pusat, dan Pemerintah bersama DPR berupaya mengharmoniskan dan kepentingan masyarakat yang ada di daerah di semua lapisan bisa dilindungi dan dijaga, dan semua komponen masyarakat bisa menikmati kemerdekaan dan keberhasilan pembangunan.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *