Atas pengesahan UU Cipta Kerja yang tidak mengindahkan suara rakyat, aksi unjuk rasa penolakan oleh mahasiswa adalah mutlak.
Palangka Raya, 16 Oktober 2020. Sejak pukul 08.00 WIB, Kamis (15/10/2020), area depan Kantor Inspektorat Kota Palangka Raya mulai didatangi kerumunan. Dengan berpakaian serba hitam, mereka menunggu kedatangan massa yang lain. Kantor yang terletak di Jl. Yos Sudarso, Kota Palangka Raya, itu menjadi lokasi berkumpul peserta aksi unjuk rasa yang tergabung dalam Sidang Rakyat 15 Oktober. Aksi tersebut merupakan lanjutan dari Aksi Gerakan 8 Oktober untuk menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
Tidak jauh berbeda dari sejumlah aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang berlangsung di berbagai daerah lainnya di Indonesia, bentrokan juga tidak dapat dihindari pada aksi dari 700 orang mahasiswa di Palangka Raya sebelumnya.[1]Namun, hal itu tidak menghentikan gerakan mahasiswa yang menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Tengah untuk menyatakan sikap menolak UU Cipta Kerja. Mereka kembali turun ke jalan setelah tuntutan dalam aksi unjuk rasa sebelumnya tidak kunjung dipenuhi oleh DPRD Provinsi Kalimantan Tengah.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh gabungan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil di Kota Palangka Raya itu bukannya tanpa risiko. Upaya aksi unjuk rasa yang sempat akan dilakukan oleh sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam aliansi lain sebelumnya telah berhasil digagalkan oleh Kepolisian setempat. Bahkan sebelum aksi unjuk rasa Gerakan 8 Oktober dimulai, pihak Kepolisian sempat mencoba untuk menghalangi aksi dengan alasan bahwa anggota DPRD sedang tidak berada di tempat.
Berbagai upaya memang telah dilakukan oleh Pemerintah untuk menghalang-halangi aksi unjuk rasa terkait UU Cipta Kerja, khususnya bagi mahasiswa. Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) misalnya, telah mengeluarkan surat larangan kepada mahasiswa untuk mengikuti aksi penolakan UU Cipta Kerja. Tidak hanya itu, larangan juga ditujukan kepada dosen agar tidak memprovokasi mahasiswa untuk menolak UU Cipta Kerja maupun mengikuti aksi unjuk rasa.
Dikutip dari bekasi.pikiran-rakyat.com,surat edaran dengan No. 1035/E/KM/2020 tersebut ditandatangani oleh Kepala Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Prof. Ir. Nizam, M.Sc., DIC, Ph.D, pada Jumat (9/10/2020).[2]Menggunakan alasan pandemi, surat tersebut berbunyi, “mengimbau para mahasiswa/i untuk tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan, dan kesehatan para mahasiswa/i di masa pandemi ini.”
Sebelumnya pada tanggal 2 Oktober 2020, Jenderal Polisi Drs. Idham Azis, M. Si juga mengeluarkan surat larangan serupa. Melalui Surat Telegram Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dengan No. STR/645/X/PAM.3.2./2020, Kapolri memberikan arahan kepada jajarannya untuk mengantisipasi aksi penolakan terhadap pengesahan Rancangan UU Cipta Kerja.[3]Surat larangan tersebut digunakan untuk menghentikan berbagai upaya aksi unjuk rasa masyarakat, tidak terkecuali di Provinsi Kalimantan Tengah.
Larangan yang dikeluarkan, baik oleh Kapolri maupun Kemendikbud, terkait aksi penolakan UU Cipta Kerja sejatinya bertentangan dengan konstitusi. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menjamin ruang untuk melakukan aksi unjuk rasa. Pasal 28 UUD 1994 berbunyi, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” Aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa menjadi bentuk perwujudan dari konstitusi dan seharusnya dilindungi, apalagi jika berkaitan dengan persoalan yang amat genting seperti UU Cipta Kerja. Perlu diingat bahwa UU Cipta Kerja atau sapu jagad akan berdampak terhadap berbagai macam sektor, mulai dari ketenagakerjaan, pendidikan, keagamaan, lingkungan, kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, ketenaganukliran, perindustrian, perdagangan, transportasi, kesehatan, pariwisata, telekomunikasi, penanaman modal, perbankan, pertahanan dan keamanan, hingga pers.
Berkaitan dengan kewenangan Kepolisian dalam aksi unjuk rasa masih sering salah kaprah. Sebuah aksi unjuk rasa memang harus dilengkapi dengan pemberitahuan tertulis kepada pihak Kepolisian sebelumnya, sesuai dengan Peraturan Kapolri No. 7/2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Namun, perlu diingat bahwa bentuknya bukan permohonan izin, akan tetapi hanya sekedar pemberitahuan. Oleh sebab itu, Kepolisian sebenarnya tidak memiliki wewenang untuk menolak atau bahkan menghentikan sebuah aksi unjuk rasa, selama aksi tersebut tidak bertentangan dengan UU yang berlaku.
Sebanyak kurang lebih 1.000 orang yang tersebar di seluruh Indonesia ditangkap oleh pihak Kepolisian saat melakukan unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja sejak tanggal 8 Oktober 2020 lalu.[4]Berbagai tindak kekerasan juga dilakukan oleh aparat terhadap peserta aksi, hingga banyak korban berjatuhan. Padahal Negara melalui aparat penegak hukum seharusnya mengawal jalannya aksi. Namun, kewenangan ini justru digunakan untuk melakukan tindakan represif terhadap peserta aksi.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa bukan hanya berusaha dihalangi dan direpresi, tapi juga dikecilkan dengan membangun narasi provokasi, hoaks, dan vandalisme. Meski tanpa didukung oleh data yang jelas, aksi unjuk rasa mahasiswa hanya dianggap sebagai sebuah bentuk kericuhan akibat provokasi melalui hoaks yang beredar terkait UU Cipta Kerja. Padahal aksi unjuk rasa mahasiswa, termasuk yang terjadi di Kota Palangka Raya berasal dari rangkaian diskusi dan kajian terkait UU Cipta Kerja itu sendiri. Apalagi dari proses penyusunan hingga pengesahannya, tidak ada transparansi dan kurang partisipasi publik, sehingga menuai banyak protes dari berbagai kelompok masyarakat.
Masifnya aksi unjuk rasa mahasiswa yang terjadi di seluruh Indonesia merupakan dampak dari berbagai kejanggalan atas UU Cipta Kerja. Pemerintah selalu bersikeras bahwa UU Cipta Kerja disahkan untuk kepentingan rakyat, akan tetapi rakyat justru tidak diizinkan untuk mengetahui secara utuh dan jelas terkait UU tersebut. Dilandasi oleh tanggung jawab sebagai warga negara yang mewakili generasi muda dan kelompok akademisi terhadap kepentingan bangsa, serta hak mengemukakan pendapat yang dijamin oleh konstitusi, mahasiswa seyogyanya memang harus terus menyuarakan penolakan terhadap UU Cipta Kerja.
Chelsea E. Manning dalam tulisannya “We’re citizens, not Subjects. We Have the Right to Criticize Government without Fear” (Kita adalah Warga Negara, Bukan Subjek. Kita Memiliki Hak untuk Mengkritik Pemerintah Tanpa Rasa Takut) mengatakan bahwa warga negara memiliki hak dan privilese yang dilindungi, bukannya berada di bawah kontrol penuh dan otoritas Negara.[5]Mungkin itulah yang bergema dalam benak para peserta aksi Sidang Rakyat 15 Oktober. Dengan menggunakan masker dan ikatan pita merah di lengan masing-masing, sekitar pukul 09.00 WIB massa aksi yang tidak kalah banyaknya dari aksi sebelumnya mulai beranjak melakukan long march, meninggalkan gedung Inspektorat menuju Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Sambil menyanyikan lagu pengobar semangat, Darah Juang, mereka mengabarkan pada dunia bahwa menjadi warga negara itu bukan hanya diam menerima agenda Pemerintah, tetapi berani mengkritik agar kebijakan yang dikeluarkan benar-benar mengakomodir kepentingan rakyat. (akp)
[1]Kompas.com. (2020, 8 Oktober). Aksi Tolak Omnibus Law di Palangkaraya Diwarnai Bentrok, 5 Orang Terluka. Diakses pada 11 Oktober 2020, dari https://regional.kompas.com/read/2020/10/08/19225871/aksi-tolak-omnibus-law-di-palangkaraya-diwarnai-bentrok-5-orang-terluka?page=all
[2]Anggie Juliyani. (2020, 11 Oktober). Kemendikbud Terbitkan Surat Larangan Mahasiswa Ikut Demonstrasi Penolakan Omnibus Law. Diakses pada 11 Oktober 2020, dari https://bekasi.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-12821142/kemendikbud-terbitkan-surat-larangan-mahasiswa-ikut-demonstrasi-penolakan-omnibus-law?page=2
[3]Andri Saubani. (2020, 5 Oktober). Kapolri Larang Demo RUU Ciptaker, Buruh Dicegah ke Jakarta. Diakses pada 11 Oktober 2020, dari https://republika.co.id/berita/qhq0m3409/kapolri-larang-demo-ruu-ciptaker-buruh-dicegah-ke-jakarta
[4]BBC News Indonesia. (2020, 7 Oktober). UU Cipta Kerja: Lebih dari seribu orang di berbagai provinsi ditangkap usai unjuk rasa menentang omnibus law, polisi dituding antidemokrasi. Diakses pada 11 Oktober 2020, dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54445044
[5]Chelsea E. Manning. (2015, 6 Mei). We’re citizens, not Subjects. We Have the Right to Criticize Government without Fear. Diakses pada 11 Oktober 2020, dari https://www.theguardian.com/commentisfree/2015/may/06/were-citizens-not-subjects-we-have-the-right-to-criticize-government-without-fear