Webinar Launching Laporan Riset dan Diskusi Publik “Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah: Evaluasi dan Rekomendasi untuk Meningkatkan Mekanisme Resolusi Konflik”

Sejak Mei 2019, sebuah tim yang terdiri dari 19 peneliti dan didukung oleh organisasi swadaya masyarakat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, Jambi, serta akademisi dari Universitas Andalas, Universitas Wageningen dan KITLV Leiden telah melaksanakan penelitian terkait bagaimana konflik di sektor kelapa sawit selama ini diselesaikan, sejauh mana efektivitas mekanisme-mekanisme yang ada dalam menyelesaikan konflik tersebut, dan bagaimana hasil atau outcome yang sudah dicapai. Penelitian ini menurut kami sangat penting karena berbagai konflik di sekitar pembangunan kelapa sawit banyak dirasakan oleh masyarakat di pedesaan dan memerlukan penyelesaian yang bijaksana dan efektif agar persoalan konflik bisa lebih cepat diselesaikan.

Penelitian tersebut di atas saat ini telah berada pada tahap mempublikasikan hasil penelitian. Untuk itu, kami dari WALHI Kalimantan Tengah menilai bahwa hasil penelitian ini sangat penting untuk dipublikasikan ke publik dalam bentuk diskusi kebijakan khususnya di Provinsi Kalimantan Tengah yang masih banyak menghadapi konflik di sektor kelapa sawit setiap tahunnya.

Untuk itu WALHI Kalimantan Tengah menyelenggarakan kegiatan launching laporan kebijakan (policy report) yang merupakan hasil penelitian tersebut yang dibarengi dengan sebuah diskusi publik dengan mengundang pembahas dari perwakilan unsur pemerintah daerah, anggota DPRD, gabungan pengusaha kelapa sawit, akademisi/universitas dan masyarakat umum untuk membahas hasil temuan penelitian tersebut.

Pembukaan

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah – Dimas Novian Hartono

Kegiatan ini merupakan kerjasama dari beberapa lembaga yang dimulai sejak Mei 2019 yang lalu. Dimana terdiri dari 19 Peneliti dan didukung oleh Organisasi swadaya masyarakat di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, Jambi serta Akademisi dari Universitas Andalas, Universitas Wageningen dan KITLV Leiden yang telah melaksanakan penelitian terkait bagaimana konflik di sektor kelapa sawit selama ini diselesaikan. Sejauh mana efektifitas mekanisme-mekanisme yang ada dalam menyelesaikan konflik tersebut dan bagaimana hasil atau outcome yang sudah dicapai.

Penelitian ini menurut kami sangat penting karena berbagai konflik di sekitar pembangunan kelapa sawit banyak dirasakan oleh masyarakat baik itu di pedesaan maupun masyarakat yang berada di sekitar konsesi perkebunan. Bagaimana proses penyelesaian yang bijaksana dan efektif agar persoalan konflik bisa lebih cepat diselesaikan. Dari penelitian ini untuk Kalteng sendiri dengan luas wilayah yang cukup luas yaitu 15,3 juta hektar dan 80% nya sudah ada investasi baik di sektor pertambangan, perkebunan dan sektor industri kehutanan. Kita melihat dari sektor perkebunan itu sendiri, bahwa catatan kami di Walhi Kalimantan Tengah terdapat 345 kasus sejak tahun 2005 hingga tahun 2018 akhir terdapat kasus yang belum terselesaikan dengan baik. Meskipun di beberapa tahapan sudah melakukan penyelesaian, hanya saja memang belum adanya penyelesaian secara dari kedua belah pihak. 

Walhi Kalimantan Tengah beserta KITLV menilai bahwa hasil penelitian ini sangat penting untuk dapat dipublikasikan ke publik dalam bentuk diskusi kebijakan khususnya di provinsi Kalteng ini sendiri  karena Kalteng yang masih banyak menghadapi konflik di sektor kelapa sawit setiap tahunnya. Harapannya dengan adanya launching terkait policy report dari riset ini dapat menjadi bahan atau referensi bagi pemerintah untuk menilai ataupun membuat kebijakan-kebijakan yang bisa didorong dalam hal proses penyelesaian konflik di Kalimantan Tengah. 

Telah hadir disini juga beberapa penanggap, yaitu ada Bapak Kurniawan Sabar (Direktur Eksekutif dari INDIES), Bapak Emil Kleden (Direktur Eksekutif dari YMKL), Biro Hukum Provinsi Kalimantan Tengah, DPRD Provinsi Kalimantan Tengah dan dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah. Harapannya dengan adanya diskusi ini bisa membuka ranah-ranah baru dalam hal proses penyelesaian konflik kedepannya. Serta ada pak Paulus dari akademisi Universitas Palangka Raya yang akan menjadi salah satu penanggap dari diskusi kali ini.

Download E-Book Laporan Kebijakan “Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah: Evaluasi terhadap Efektifitas berbagai Mekanisme Resolusi Konflik”

Paparan Peneliti

Ward Berenschot – KITLV

Saya peneliti dari KITLV bersama Ahmad Dhiaulhaq dan Mbak Yuliana kami akan sampaikan hasil penelitian yang kami bersama tim lakukan selama lebih dari 1 tahun. Sudah sejak lama kami berpikir kita harus tahu apa pola umum sengketa di antara masyarakat dan perusahaan kelapa sawit yang ada di Kalimantan Tengah. Untuk mengetahui dan mengevaluasi efektifitas upaya resolusi konflik dan untuk mengidentifikasi dan strategi untuk meningkatkan upaya-upaya menyelesaikan konfliknya. Jadi dengan cara tersebut laporan yang akan kami tampilkan pada hari ini menjadikan ide-ide baik bagi masyarakat, perusahaan dan pemerintah daerah dalam meningkatkan penyelesaian konflik antara perusahaan dan masyarakat di sektor perkebunan di Indonesia secara lebih baik. 

Alasan kami melakukan penelitian ini karena konflik diantara masyarakat dan perusahaan sawit merugikan perekonomian secara umum tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi perusahaan. Jadi mencari cara bagaimana menyelesaikan konflik-konflik ini adalah sebuah tugas yang mendesak. Namun juga tugas yang tidak mudah, jadi harapan kami dengan riset yang kami lakukan akan bisa membantu untuk menyelesaikan, mengidentifikasi bagaimana cara menyelesaikan konflik yang lebih efektif dan lebih baik. 

Tujuan utama laporan kebijakan:

– Dalam dua dekade terakhir: di Kalimantan Tengah kami mengidentifikasi total 182 kasus konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan kelapa sawit.

– Mengapa penelitian ini penting? konflik kelapa sawit merugikan perekonomian secara umum, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi perusahaan. Mencari cara bagaimana menyelesaikan konflik-konflik ini adalah sebuah tugas yang mendesak, namun juga tidak mudah.

– Tujuan laporan kebijakan: mempelajari konflik-konflik di dua dekade terakhir dengan tujuan untuk mengidenftifikasi bagaimana konflik-konflik tersebut dalam diselesaikan secara lebih efektif.

Kami meneliti 45 kasus dengan cara turun ke lapangan untuk melakukan wawancara dan juga mengumpulkan banyak dokumen-dokumen untuk mendokumentasikan projectory dan outcome dari hasil konfliknya. Sebelum saya menampilkan hasil penelitian ini, disini ada salah satu peneliti yang melaksanakan penelitiannya yaitu Mbak Yuliana, beliau bisa menyampaikan bagaimana proses penelitian.

Yuliana – Akademisi Universitas Palangka Raya

Saya langsung saja memaparkan pengalaman terkait dengan bagaimana disini saya menjadi salah satu dari peneliti lokal dalam riset ini. Sebenarnya yang terlibat dari peneliti lokal adalah ada 3 orang yaitu saya sendiri, Pak Paulus A.Y.D dan Pak Wendi. Disini saya mewakili kedua rekan saya untuk memaparkan. Riset ini dilakukan kurang lebih 8 bulan di lapangan dan hampir mencapai 12 bulan (1 tahun) dalam mengolah data bersama tim peneliti dari KITLV. Sehingga saat ini data tersebut dapat di launchingkan pada hari ini.

Proses Pengumpulan Data dilakukan oleh peneliti lokal:

1. Wawancara

2. Berita dari Media Massa (Cetak dan online)

3. Dokumen-dokumen warga

4. Dokumen Pemerintah

5. Laporan LSM, sustainability report perusahaan

6. Situs Pengadilan Negeri (Sipp.pn) dan MA

7. Situs Mekanisme Penyelesaian Konflik (mis. RSPO)

8. Media Sosial

Data terkumpul di Kalteng: 6,3 GB materi yang terdiri dari 216 artikel surat kabar, 26 dokumen pemerintah, 43 laporan LSM, 2 studi akademisi, 190 sumber online dan 6 dokumen dari masyarakat. Kami juga melakukan 91 wawancara dengan perwakilan masyarakat di Kalteng di periode antara Mei 2019 – Mei 2020.

Proses pengumpulan data pada penelitian ini mencakup 3 bagian yaitu:

1. Mengambil data dari lapangan langsung.

2. Mengelompokkan data yang diperoleh.

3. Menyajikan data yang diperoleh dengan cara memasukan ke dalam template case report yang telah disediakan. Jadi kita punya yang namanya case report.

Kita punya yang namanya template case report atau terkait apa saja yang akan dimasukkan ke dalam laporan dari kasus-kasus. Pengambilan data selain menitik beratkan pada wawancara langsung juga ada yang disebut dengan wawancara tidak langsung, menemui informan di lapangan kemudian jika tidak dapat dilakukan maka akan dioptimalkan kerja-kerja melalui telepon atau pesan melalui whatsapp.

Dalam wawancara kita dipandu oleh panduan yang disusun oleh KITLV sebelumnya. Dalam proses penelitian ini ada 2 pengumpulan data yaitu data sekunder dari hasil wawancara dan data tersier berupa dokumen-dokumen pendukung, website dan juga media massa. Adapun pengumpulan data tersier informasi dari media massa, laporan NGO dan sejenisnya sebelumnya juga sudah dilakukan tim riset dari KITLV. Adapun posisi peneliti lokal disini adalah melengkapi dan mempertajam data dan informasi yang dikumpulkan melalui data tersier dengan cara melakukan wawancara baik secara langsung ataupun tidak. 

Mungkin ada pertanyaan disini mengapa melakukan pengumpulan data dengan sedemikian rupa? Mengapa tidak hanya lewat wawancara saja tapi harus lengkap dengan dokumen pendukung dan informasi lainnya. Karena proses pengumpulan data harus dilakukan demikian menentukan bagaimana kualitas data diperoleh. Artinya kita berbicara kualitas data yang teruji kebenaran informasinya dan juga dapat dipertanggung jawabkan.

Terkait dengan kebenaran pertanggungjawaban data kita akan berbicara terkait dengan bagaimana sumber-sumber data yang menjadi rujukan utama oleh tim peneliti. Terutama sumber data ini yaitu aktor atau informan kunci yang pertama kali untuk dimintai data, selain juga yang terkait dengan website-website resmi dan juga media massa yang dapat dipercaya. Terkait dengan aktor utama kita merujuk kepada pihak-pihak yang memang terlibat langsung dalam peristiwa konflik atau sengketa. Baik itu dari pihak masyarakat, pihak perusahaan, aparat pemerintah desa, perangkat adat seperti Damang dan Mantir, lalu juga ada pihak dari Dewan Adat Dayak. Jadi informasi dan data yang diperoleh ini berdasarkan pengalaman dari para aktor secara langsung. 

Pada pengalaman, tentunya ini bergantung pada ingatan. Karena peristiwa konflik atau sengketa yang kita teliti sejak tahun 2005 – 2020 merupakan rentang waktu yang tidak pendek. Hal yang lama untuk mengingat bagaimana proses kronologi dan lain sebagainya. Untuk memastikan itu sehingga dibutuhkan apa yang disebut data sekunder tadi, jadi kita bisa melengkapi data-data yang tidak diperoleh secara detail dari informan utama karena ingatannya yang tidak terlalu tajam sehingga dilengkapi dengan informasi dari misalnya investigasi dari NGO terhadap kasus sama yang sedang diteliti.

Dalam proses mulai dari awal turun ke lapangan  melakukan wawancara dengan informan sampai pada pengecekan data-data pada media massa atau investigasi NGO dan laporan dari Pemerintah maupun masyarakat disitu proses pelacakan akan dilakukan terus menerus sampai dimana tim peneliti baik itu peneliti lokal maupun tim peneliti KITLV akan memperoleh apa yang disebut data jenuh artinya data itu sudah pas. Meskipun ditracking dari berbagai sumber datanya tetap sama informasi yang diperoleh sehingga data itu yang akan dipakai.

Perlu diketahui bahwa proses pengumpulan data juga menggunakan teknik snowball (bola salju bergulir) artinya dari informan awal (informan utama) kemudian informan utama akan memberikan informasi yang kemudian dapat dilacak oleh para peneliti untuk ke siapa dan kemana selanjutnya informasi itu dapat diperoleh. Jadi itu adalah proses-proses dari bagaimana pengumpulan data dan yang kemudian pada tahapan ini akan dilanjutkan pada pengelompokan data. 

Tadi ada sedikit saya sampaikan terkait template case report, bagaimana peneliti lokal dan masih bekerjasama dengan tim dari KITLV  serta berkoordinasi untuk mengisi template case report atau laporan kasus dengan cara kami mengumpulkan data-data itu dan kemudian dipilih dan dipilah untuk dimasukan sesuai dengan kebutuhan informasi template case report. Proses terakhir adalah menyajikan data, bagaimana data-data yang dipilah dan dipilih yang kemudian dimasukan ke dalam template laporan kasus tadi, kemudian tim KITLV berperan melakukan pengecekan terhadap template yang di isi oleh tim peneliti lokal. Agar template case report tidak ada yang kosong dan memastikan bahwa data yang dimasukan peneliti lokal adalah data yang konsisten antara laporan yang dibuat oleh NGO dan laporan yang diperoleh dari hasil wawancara.

Saya ingin menyampaikan pengalaman saya selama melakukan penelitian ini yang menarik bahwa dalam proses pengolahan data ini sangat berperan sekali bagaimana koordinasi dan kerjasama antara tim peneliti lokal dan tim peneliti KITLV yang terus melakukan proses kroscek data untuk memastikan validitas data yang disajikan.

Beberapa hal terakhir yang mau saya sampaikan mengenai pengalaman di lapangan terkait dengan tantangan, mungkin sangat umum kita ketahui bersama bagaimana akses menuju informan ke desa-desa di beberapa kabupaten yang diteliti itu ada Kabupaten Kotawaringin Timur, Seruyan, Kotawaringin Barat, Gunung Mas, Kapuas, Katingan, Barito Utara dan bagaimana desa-desa yang jauh dari kecamatan atau kabupaten itu sangat sulit dalam kondisi akses jalan, apalagi jalannya yang masih dibuat oleh pihak perusahaan yang apabila musim hujan peneliti terkendala dengan akses jalan yang masih tanah merah dan pasir. 

Kemudian catatan lain dari field trip ini peneliti lokal secara langsung dapat menyaksikan bagaimana kondisi di lapangan terkait dengan kasus-kasus yang diteliti dengan melihat desa-desa, bagaimana lahan perkebunan kelapa sawit menguasai wilayah mereka. Kami juga menjumpai bagaimana daerah perbukitan ditanami kelapa sawit di daerah Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Kotawaringin Barat. 

Terkait kondisi ekonomi, lingkungan dan sosial dimana mereka mengkhawatirkan ruang hidup mereka yaitu hutan yang makin tergusur dan tergantikan oleh perkebunan. Tantangan lain bagi peneliti lokal adalah bagaimana ketika kami menemui informan di lapangan, ada beberapa informan yang merasa takut karena merasa informasi ini sangat sensitif sekali untuk dikemukakan dan juga beberapa informan itu tidak terbuka untuk menceritakan tentang pengalamannya sehingga pada kondisi semacam ini maka peneliti lokal akan merahasiakan data informan. 

Sebelum melakukan wawancara biasanya kita menanyakan ketersediaan informan terlebih dahulu apakah ingin dibuka datanya atau tidak, maukah direkam atau tidak. Jadi hal-hal sekecil itu sangat kita perhatikan karena memang sebagai tanggung jawab kita sebagai peneliti dan terkait juga dengan bagaimana kita bertanggung jawab terhadap informan yang memberikan data kepada kita. 

Selain itu hal penting lainnya yang ingin saya sampaikan bahwa masih banyak konflik masyarakat dengan perkebunan kelapa sawit yang belum terselesaikan baik melalui jalur formal dan juga jalur informal. Terkait dengan fakta terakhir mengenai penyelesaian yang belum optimal akan dilanjutkan dari rekan peneliti dari KITLV mungkin Mas Ahmad atau Ward sendiri. 

Harapan saya mewakili peneliti lokal yang tergabung dalam riset ini adalah semoga laporan riset yang dilaunchingkan ini dapat membantu pemerintah merumuskan dan mewujudkan kebijakan yang efektif terkait penyelesaian konflik dan sengketa antara masyarakat dan pihak perkebunan, terutama dengan memperhatikan kondisi masyarakat terdampak. 

Ward Berenschot – KITLV

Upaya yang begitu besar disampaikan oleh Mbak Yuliana itu juga dilaksanakan di 3 provinsi yang lain yaitu di Riau, Sumatra Barat dan Kalimantan Barat. Jadi kami sebagai peneliti merasa bangga karena ini merupakan project penelitian yang begitu besar untuk meneliti pola umum kasus konflik yang ada di Indonesia. Sekarang hari ini kami menyampaikan hasilnya terkait di Kalimantan Tengah dan kami juga sedang mengorganisir webinar seperti ini terkait provinsi yang lain untuk memunculkan diskusi terkait apa yang efektif dan tidak untuk menyelesaikan konfliknya.

Penelitian yang mendasari laporan ini

• Kolaborasi besar yang pertama kali dilakukan untuk mempelajari pola umum terkait trajektori dan hasil dari kasus-kasus konflik antara perusahaan dan masyarakat di sektor kelapa sawit di Indonesia.

• Dikerjakan oleh tim: 19 peneliti yang didukung oleh Universitas Andalas, Universitas Wageningen, KITLV Leiden dan enam LSM di Indonesia telah mendokumentasikan trajektori dan hasil dari 150 kasus konflik di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau dan Sumatera Barat.

• Laporan kebijakan di Kalteng berfokus pada 45 kasus konflik yang diteliti di Kalteng saja.

• Di Kalteng, penelitian ini difasilitasi oleh Walhi Kalteng.  Ada beberapa peneliti lokal di Kalteng yang mendokumentasikan kasus-kasus konflik ini.

Fokus utama presentasi ini

• Bagaimana karakter umum konflik kelapa sawit di Kalimantan Tengah?

• Apa yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan?

• Dan seberapa efektif upaya-upaya penyelesaian konflik tersebut?

Jadi pertanyaan pertama adalah tentang apa konflik ini? Kami mendokumentasikan keluhan-keluhan yang dipicu ekspansi kelapa sawit di Kalteng. Kami melihat ada 2 faktor keluhan yang paling penting adalah terkait penyerobotan lahan maksudnya masyarakat merasa tanahnya diambil oleh perusahaan tanpa kompensasi yang adil atau tanpa persetujuan dari masyarakat. Faktor kedua adalah terkait plasma, walaupun ada janji dari perusahaan untuk memberi plasma untuk membagi keuntungan dari kebun. Diprakteknya tidak transparan dalam proses bagi hasilnya atau perusahaan akhirnya tidak memberi plasma dan itu juga memunculkan konflik. 

Bagaimana masyarakat menyuarakan keluhannya itu juga sangat menarik diantaranya yang umumnya dilakukan adalah demonstrasi dengan turun ke lapangan, jalan untuk unjuk rasa. Tapi yang menarik adalah target fokus demonstrasi ini tidak hanya perusahaan sawit. Memang sebagian demonstrasi itu dilakukan di depan kantor DPRD atau di depan kantor Pemerintah Daerah karena yang terjadi adalah memang harapan besar Pemerintah Daerah bisa membantu masyarakat untuk menyelesaikan konflik. Jadi strategi yang sering kami lihat adalah setelah negosiasi dengan perusahaan gagal, masyarakat sering mencoba mendapatkan dukungan dari Pemerintah, supaya pemerintah bisa menekan perusahaan.

Faktor kedua yang menarik terkait strategi adalah kekerasan oleh masyarakat terjadi tapi tidak begitu umum. Yang lebih umum adalah aksi protes seringkali berujung pada penangkapan (‘kriminalisasi’) para pemimpin protes. Namun,  masyarakat secara umum tidak melakukan kekerasan.

Strategi penyelesaian konflik 

Yang menarik dalam temuan ini adalah mekanisme formal tidak sering digunakan. Jika dilihat dari 45  kasus yang kami teliti di Kalteng, hanya 10  kasus yang dibawa ke pengadilan dan ada 9 kasus yang dibawa ke mekanisme konflik resolution  di RSPO (salah satu lembaga industri kelapa sawit). Jadi dari analisa yang kami lihat, masyarakat tergantung mediasi dan fasilitasi dilaksanakan oleh pemimpin daerah yakni Bupati, Camat, terkadang Polisi. Itu mekanisme penyelesaian konflik yang paling umum dilakukan di Kalteng. 

Efektivitas mekanisme resolusi konflik menurut persepsi pihak masyarakat

Untuk meneliti hal ini kami mewawancarai tokoh masyarakat dan kami meminta kepada mereka untuk memberikan penilaian. Apakah mereka berhasil meraih tujuan mereka?

Dilihat dari tabel di atas, menurut persepsi masyarakat sangat sering masyarakat tidak berhasil sama sekali dengan aksi protes mereka atau nyaris tidak berhasil sama sekali. Hanya hasil yang simbolis, seperti ada koperasi yang dibantukan tapi keluhan terpenting atau pokoknya tidak diatasi. Kita bisa lihat di Kalimantan Tengah ada 71 kasus yang tidak diselesaikan, tetap ada masalah dan hasilnya hampir sama dengan yang terjadi di provinsi-provinsi lain. 

Hasil dari kasus-kasus yang dibawa masyarakat ke pengadilan

Konklusinya adalah mekanisme penyelesaian konflik yang ada sekarang tidak cukup efektif. Kalau kita lihat pada pengadilan totalnya ada 10 kasus yang dibawa ke pengadilan dan hanya 2 kasus yang dimenangkan oleh masyarakat, dan dari 2 ini ada hanya 1 dimana putusan Mahkamah Agung dilaksanakan. Yang kedua juga ada keputusan dari Mahkamah Agung tetapi keputusannya tidak dilaksanakan, itu juga hal yang mengkhawatirkan kami menemukan itu di provinsi yang lain setelah masyarakat membuat upaya besar untuk membawa kasus ke pengadilan dan menang, sering putusannya tidak dilaksanakan. 

Mediasi dan fasilitasi oleh berbagai pihak secara umum belum efektif

Konklusi penelitian kami adalah Pemerintah Daerah tidak cukup efektif sampai sekarang untuk menyelesaikannya. Dari tabel di atas bisa kita lihat apakah upaya mediasi meraihkan sebuah kesepakatan diantara perusahaan dan masyarakat, apakah kesepakatannya diimplementasikan atau tidak. Jadi maksud dari tabel di atas: dari total 37 kali upaya fasilitasi oleh pejabat pemerintah lokal dalam menangani konflik, hanya di 8 kasus kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat tercapai dan diimplementasikan.

Ahmad Dhiaulhaq – KITLV

Mengapa upaya penyelesaian konflik seringkali tidak efektif?

• Tidak adanya metode resolusi konflik yang sistematis/terstuktur. Mungkin kita bisa membandingkannya dengan apa yang dilakukan oleh mediator-mediator sudah bersertifikasi dan professional. Mereka bisa melakukan proses mediasi sangat terstruktur mulai dari pra mediasi mereka melakukan assessment secara komprehensif tentang permasalahannya apa, kemudian juga melakukan tahapan-tahapan mediasi yang secara terstruktur. Kemudian akan ada evaluasi dan monitoring di implementasi kesepakatannya. Yang kami temukan banyak sejauh ini lebih fokus pada rapat dengar pendapat atau kunjungan kerja ke lapangan, tetapi tidak ada tindak lanjut yang lebih komprehensif dalam hal proses fasilitasi penyelesaian konfliknya.

• Kapasitas otoritas lokal dalam memediasi masih perlu ditingkatkan. Seperti kita pahami beberapa kasus yang sukses untuk di mediasi memerlukan waktu yang cukup lama. Otoritas lokal memang mencoba memediasi konflik tapi tanpa mendapatkan pelatihan atau capacity building yang cukup, sehingga seringkali mereka berimprovisasi dalam mencoba untuk menyelesaikan konflik yang pada akhirnya hasilnya belum maksimal sejauh ini.

• Kurangnya sanksi bagi perusahaan yang tidak kooperatif. Memang ada perusahaan-perusahaan yang cukup kooperatif tetapi banyak juga perusahaan yang kurang kooperatif. Di situasi semacam itu terkadang tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lokal untuk memberi sanksi kepada perusahaan yang kurang kooperatif.

• Kurangnya aspek keterwakilan dan kepemimpinan di pihak masyarakat. Misalkan Kepala Desa atau Kepala Adat ikut dalam peran mediasi tapi tidak melalui konsultasi yang cukup dengan anggota masyarakatnya.

Rekomendasi Kebijakan:

Pencegahan konflik

• Perlu perbaikan dalam proses perusahaan mendapatkan ‘persetujuan atas dasar informasi di awal dan tanpa paksaan’ (FPIC) dari masyarakat. 

• Pemerintah daerah perlu memantau secara lebih baik terkait implementasi kerjasama skema inti-plasma di lapangan. *Perda No.5 tahun 2011 tentang pengelolaan usaha perkebunan berkelanjutan.

Meningkatkan penyelesaian konflik di Kalimantan Tengah

• Perlu dibentuk lembaga atau desk mediasi di tingkat provinsi atau kabupaten (dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah daerah). Perlu evaluasi SK Gubernur 188.44/2012 tentang pembentukan Tim Pencegahan dan Penyelesaian sengketa Tanah/Lahan Provinsi Kalimantan Tengah.

• Perlu prosedur dan pelatihan yang lebih komprehensif untuk meningkatkan kapasitas pemerintah lokal dalam memediasi dan menyelesaikan konflik.

• Pemerintah lokal harus bisa memberikan sanksi kepada perusahaan  yang tidak kooperatif.

• Perlu penegakan hukum yang terhindar dari tekanan informal dari aktor bisnis.

Tanggapan Penanggap

Emilianus O. Kleden – Direktur YMKL

Saya punya komentar terhadap temuan utama menyangkut pencegahan dan penyelesaian. Saya akan mulai dengan menyangkut kerugian, memang ada dampak terhadap kesejahteraan, merusak citra dan profit industri sawit, dampak negatif terhadap perekonomian lokal. 

Saya juga ingin menyampaikan pendapat saya bahwa industri sawit pada tingkat makro juga sedang mengubah kebudayaan masyarakat, dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Dan itu artinya mengubah seluruh tatanan baik secara halus maupun juga secara paksa kalau negara ikut campur  untuk memaksa. Tatanan itu misalnya hak-hak yang sifatnya kolektif menjadi hak yang sifatnya individual. Itu dampak kebudayaan yang menurut saya paling besar karena kemudian semua unsur musyawarah dan mufakat berubah menjadi proses-proses perundingan modern. Dimana persetujuan-persetujuan individual menjadi peran lebih kuat dari persetujuan-persetujuan yang sifatnya kolektif. 

Dampak lain dari reformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri juga menyangkut soal food diversity. Ini penting karena ketika lahan-lahan berubah menjadi industri monokultur maka keragaman-keragaman pangan juga mendapat dampak. Dan banyak hasil penelitian yang menunjukan dampak terhadap keragaman pangan. Saya ingat pengalaman masyarakat di Flores ketika tahun 1980an awal masuknya perkebunan jambu mete, maka kemudian padi-padi lokal itu  hilang, kemudian kebun-kebun kapas untuk membuat sarung tradisional juga hilang, dan kerajinan-kerajinan lokal dari tenunan menyangkut bahan-bahan pewarna juga hilang berubah menjadi lahan-lahan perkebunan jambu mete. Dan kemudian tanah-tanah menjadi milik individual keluarga karena mete dijual dalam bentuk komoditi pribadi, itu dampak yang menurut saya pada skala besar luar biasa.

Masyarakat berubah tetapi apakah mereka berubah secara sukarela dengan sadar atau mereka dipaksa. Kalau dipaksa mengingatkan Eropa 400 tahun lalu seperti Inggris, Belanda dan lalu ketika revolusi industri baru mulai dan tentu korbannya banyak sekali. Dan pertanyaannya apakah korban-korban itu dihitung sebagai sebuah kompensasi atas pembangunan ataukah sebuah pelanggaran HAM serius yang menyangkut kerugian. 

Sedikit komentar mengenai temuan utama ada perlu perbaikan dalam proses mendapatkan FPIC dari masyarakat, saya setuju hal tersebut. Tetapi hal terpenting adalah harus ada ruang untuk menolak, dalam prakteknya ini sukar. Hampir tidak ada ruang untuk menolak, karena negara menjalankan kebijakan yang mendukung perusahaan. Saya setuju FPIC, tetapi melihat praktek di lapangan sangat sulit untuk kita menolak. Karena itu menurut saya negara melalui peradilan dan kebijakan harus menjamin hak masyarakat untuk menolak. 

Soal inti plasma, ini sebetulnya kewajiban perusahaan, jadi jangan melemparkan ke masyarakat untuk cari tanah. Ini banyak terjadi dimana masyarakat diminta untuk cari tanah supaya bisa ada plasma, atau masyarakat sudah bersetuju  untuk menyerahkan tanah dengan janji perusahaan akan mendapatkan plasma. Diprakteknya setelah menjadi HGU, plasma belum ada dan masyarakat diminta lagi untuk mencari lahan supaya mereka bisa mendapat plasma. 

Pengingkaran-pengingkaran terhadap perjanjian seperti itu yang umumnya masyarakat sifatnya verbal mereka pegang. Ketika hal verbal ini di anulir oleh perusahaan mereka tidak berdaya karena perusahaan bergerak secara legalistic.

Menyangkut penyelesaian, dikatakan perlu ada lembaga di tingkat provinsi, kabupaten dan seterusnya. Menurut saya yang lebih penting dari itu adalah selain mekanisme  dan lembaga adalah political will. Di Indonesia punya kebijakan dan lembaga banyak sekali, tetapi political will itu tidak ada dan itu yang menjadi masalah. Kenapa political will tidak ada karena kontrol dari parlemen lemah terhadap eksekutif. Kenapa kontrol dari parlemen terhadap eksekutif lemah karena parlemen sendiri terjebak konflik-konflik luar biasa. Kalau orang parlemennya sendiri adalah orang-orang pemilik perusahaan akan menjadi sukar untuk tidak terjebak dalam konflik of interest. Apalagi kalau orang parlemen adalah orang perusahaan, kemudian eksekutif juga orang perusahaan itu sukar. 

Perlu capacity building bagi Pemda dalam resolusi konflik, saya setuju ini. Tapi menurut saya yang paling penting dari hal tersebut adalah harus ada capacity building mengenai hak. Bagaimana pemerintah memahami konsep hak dan relevansi sosialnya dan bagaimana masyarakat memahami hak dan relevansinya dengan situasi mereka. Ini persoalan yang kelihatannya dibiarkan begitu saja, seolah-olah hak itu dipahami dengan baik oleh semua orang. Padahal tidak demikian, dalam prakteknya hak ini sukar sekali dipahami atau sengaja tidak dipahami. Padahal dalam konstitusi seluruh hak itu hampir semuanya ada pada rakyat dan negara punya hak hanya 1 atau 2 saja kalau kita baca konstitusi Indonesia.

Menurut saya 1 usulan saja pemerintah Indonesia perlu lebih terbuka terhadap monitoring dari badan-badan HAM PBB. Jadi badan-badan seperti ILO terhadap hak-hak pekerja tradisional, kemudian badan-badan hak Ecosoft dan badan-badan hak sipil dan politik. Mungkin sedikit politis untuk hak sipil dan politik, tapi hak-hak ecosoft perlu ada monitoring yang bisa diberi akses untuk badan-badan PBB. Tidak ada gunanya Indonesia menjadi anggota PBB tetapi akses terhadap badan-badan PBB ditutup secara politik. 

Kurniawan Sabar – Direktur INDIES

Saya sebenarnya menyiapkan paper khusus untuk menanggapi hasil riset ini dan mungkin nanti akan saya teruskan secara langsung baik kepada peneliti utama ataupun Walhi Kalimantan Tengah. 

Pertama-tama saya menyampaikan senang dan salut atas intensitas tinggi dari para peneliti mengenai masalah agraria di tengah terbatasnya pemahaman masyarakat dan berbagai kalangan mengenai masalah agraria. Begitu juga masalah perhatian terhadap agraria secara nasional dan internasional. Semoga penelitian semacam ini semakin intensif dan terus berkembang untuk membentuk pemahaman dasar dan pemahaman bersama mengenai masalah agraria. Bagaimanapun di Indonesia masalah agraria adalah masalah mayoritas rakyat, masalah hidup dan matinya mayoritas rakyat Indonesia baik di masa sekarang dan di masa mendatang. Bahkan sektor ini adalah satu-satunya yang paling stabil dan tidak bangkrut sebagai negara di era krisis dan bahkan resesi. 

Pentingnya hasil riset ini karena telah berupaya memaparkan bagaimana masalah yang di alami rakyat di Kalimantan Tengah akibat pengembangan perkebunan sawit. Patut dicatat bahwa penduduk di provinsi Kalimantan Tengah sangat sedikit sedangkan wilayahnya sangat luas. Rasio antara tanah dan kekayaan alam sangat timpang dengan jumlah penduduk karena tanah dan kekayaan alamnya sangat kaya tapi jumlah penduduknya sangat rendah. 

Pertanyaan serius yang muncul adalah ‘kenapa kehidupan rakyatnya masih sama?’ Penganguran dan kemiskinan di pedesaan masih sangat luas. Dan pertanyaan berikutnya apa benar solusi dari kemajuan masyarakat itu adalah harus dengan hadirnya perkebunan besar sawit yang dimiliki tuan tanah besar dalam wujud korporasi yang terhubung dengan kapitalis industrial dan kapitalis dagang, terutama terhubung langsung dengan bank monopoli internasional. Penting untuk kita memeriksa kembali tema dari riset yaitu untuk menyelesaikan konflik. Sehingga kita perlu memeriksa kembali pandangan dan hasil yang dikemukakan. 

Data riset ini tentu akan sangat berharga jika ditujukan untuk tidak melestarikan konflik, melainkan untuk mengakhiri akal masalah dari konflik itu sendiri khususnya dalam bisnis sawit di Kalimantan Tengah maupun di Indonesia secara keseluruhan. Jika betul demikian, maka kerangka atau hasil dari riset ini dapat membuka pintu untuk memahami dan menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya. 

Penting untuk kita melihat persoalan mendasar (fundamental) yang berkaitan dengan konflik di sektor perkebunan yang mungkin tidak tercover atau belum dijangkau dalam riset ini atau belum di elaborasi luas.

1. Pandangan saya terkait dengan istilah konflik agraria atau pertanahan yang juga diulas dalam riset ini. Pertanyaan yang mendasar kenapa sekarang kata konflik lebih populer dipergunakan, bukan lagi kata pemberontakan tani. Jawaban yang paling singkat mungkin itu karena dulu kita memakai istilah pemberontakan tani karena dulu adalah era kolonial dan sekarang adalah era kekuasaan bangsa sendiri. Sehingga kata pemberontakan mungkin tidak lagi pantas di pandang atau tidak lagi relevan dipergunakan untuk menghadapi kekuasaan negara yang merdeka dan berdaulat.

2. Karena berkembangnya pandangan kritisme keberpihakkan pada nasib kaum tani tidak lagi bersifat mutlak tapi sudah muncul keberpihakan kepada negara dan tuan tanah besar dalam wujud korporasi atau perusahaan saat ini. 

Sekarang masalah konflik agraria ini begitu umum bagi banyak kalangan yang melakukan penelitian di pedesaan. Tetapi kita sungguh akan berharap bahwa penelitian seperti ini akan jauh lebih menjangkau persoalan yang lebih mendalam dari masalah agraria yang melahirkan konflik itu sendiri. Sehingga kedepan kita akan melihat betul-betul bahwa riset tentang konflik akan memiliki judul yang lebih jelas lagi yakni pemberontakan tani  dan gerakan kaum tani untuk mengambil atau merebut hak nya secara langsung.

Persoalan kedua adalah pandangan kita dalam riset ini adalah masalah monopoli tanah. Riset ini sebenarnya menunjukan bahwa mayoritas konflik itu lahir dari perampasan lahan dan dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit. Data dalam riset ini ada 80% adalah persoalan penyerobotan lahan yang artinya perampasan lahan yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit. Gambaran ini adalah sebenarnya representasi dari  kehidupan nyata atau gambaran nyata dari pertanian terbelakang sejumlah feudal yang ada di Indonesia berbasis monopoli tanah. Itu tidak hanya terjadi di Kalimantan Tengah tapi hampir semua daerah yang ada di Indonesia  yang mengembangkan perkebunan besar sawit atau perkebunan monokultur skala besar seperti karet, tebu dan lainnya. Itu khas atau karakteristik perkebunan atau pertanian setengah feodal di negeri Indonesia maupun negeri lainnya. 

Monopoli tanah secara langsung melahirkan kekuasaan ekonomi, politik dan kebudayaan. Monopoli tanah besar-besaran membuat perusahaan memperoleh keuntungan perusahaan sangat besar. Memperoleh tanah secara suka-suka, berkuasa atas regulasi, bahkan negara dan tenaga kerja. Bahkan berkuasa atas pengetahuan kita sendiri, mereka bahkan bebas menentukan tanah mana yang mau diambil. Tidak peduli apakah tanah itu terlantar atau tanah itu telah dikuasai dan digarap oleh masyarakat. Ini adalah kenyataan yang terjadi dimana-mana dan demikian konflik akan terus eksis dan meluas selama praktik monopoli tanah sebagai basis sosial bagi pengembangan perusahaan perkebunan terus terjadi, termasuk dalam perkebunan sawit.

Masalah penghidupan rakyat, kemiskinan dan eksisnya perusahaan perkebunan aneh yang kita sebut dengan perkebunan sawit ini. Harusnya rakyat menanam dan mengembangkan tanaman pangan secara independen. Namun tidak adanya capital untuk input pertanian alat kerjanya masih tradisional, pengetahuan pertanian dan tenaga kerja terbatas. Akhirnya melumpuhkan kemampuan kaum tani atau petani secara luas untuk berproduksi. Bahkan kehilangan kemampuan substansinya sendiri. 

Tanah dinilai tidak produktif bahkan terlantar di tangan rakyat dan kaum tani kecil perseorangan. Dan kondisi ini justru menjadi dalih bagi negara dan perusahaan untuk memaksa kaum tani beralih, dari pertanian untuk beralih  ke pertanian komoditas seperti karet, tebu dan sawit yang dikuasai oleh perusahaan besar. 

Demikian juga pencaplokan atas tenaga kerja, semua itu difasilitasi oleh kebijakan negara dan tidak akan mendapatkan perhatian pemerintah atas produksi tersebut baik secara regulasi, perlindungan produksi, harga dan pasar yang dapat menyerap hasil produksi kaum tani. Ini kemudian berlangsung secara berkelanjutan dan dalam praktek selanjutnya karena keterbelakangan yang diderita oleh kawan-kawan tani mereka terpaksa harus hidup bergantung dari utang untuk produksi, konsumsi kebutuhan dasar dan pelayanan public lainnya. Dan ini menjerat mereka dalam jeratan sistem peribaan yang kejam di pedesaan yang luas di Indonesia. Ini adalah akar konflik sekaligus kemiskinan dari masalah yang ada saat ini dan itu pun menjadi fokus dari penelitian saat ini.

Masalah penyelesaian konflik, standing pointnya saat ini adalah negara dan perusahaan itu tidak punya itikad dan tidak punya upaya untuk penyelesaian konflik, itu nyata. Sejauh upaya yang dilakukan sampai saat ini, anda patut mencatat bahwa yang dilakukan oleh negara dan perusahaan adalah hanya sebatas menerima dan menangani pengaduan laporan kasus atau keluhan. Dan sesungguhnya itu tidak ada kerugian yang dialami perusahaan dan aparat termasuk kepolisian dalam konflik ini. Sedangkan dalam riset ini menunjukan bahwa  ada kerugian yang dialami oleh perusahaan dan aparat pihak keamanan dan kepolisian. 

Sekarang kita buktikan kerugian apa yang mereka alami dibandingkan kerugian yang nyata dialami oleh rakyat. Dengan demikian mendorong mediasi konflik, pembentukan lembaga penyelesaian konflik di tingkat provinsi itu tidak akan pernah cukup. Upaya ini hanya akan mengulang kegagalan dan tidak mampu menyelesaikan konflik yang lebih banyak lagi. Dan akan berkembang lebih besar lagi diberbagai daerah. Jika diteruskan rekomendasi seperti ini lebih cenderung akan melestarikan konflik. Bukan akan mengakhiri akar masalah dari konflik yang sebenarnya. Untuk itu kita tidak akan mampu menyelesaikan masalah jika keluar dengan resolusi seperti itu. 

Dorongan untuk meneruskan upaya seperti ini juga berarti harus siap menyediakan lebih banyak lembaga mediator konflik karena konflik akan semakin besar jumlahnya baik yang eksis ataupun yang akan dating. Dan bentuk berbagai kekerasan pun akan semakin berkembang seiring dengan praktek tersebut.

Paulus Y. Dhanarto – Akademisi Universitas Palangka Raya

Keterlibatan saya dalam riset ini adalah sebagai enumerator pencari data lapangan saja, saya tidak terlibat dalam analisis. Dan entah kenapa oleh Pak Dimas saya diposisikan sebagai penanggap. Pertama dari bang Emil dan bang Wawan sudah menyampaikan sebagian apa yang mau saya sampaikan. Sepertinya riset ini terburu-buru untuk mencari mekanisme penyelesaian konflik sementara akar konfliknya belum didapat, diketahui dan dipahami. Kalau kita sampai kepada usulan dan rekomendasi untuk menyelesaikan konflik tapi barangnya sendiri kita belum kenali lebih jauh, saya pikir itu akan menjadi keterburu-buruan juga.

Kedua, politik informal tadi ada disebutkan beberapa kali di awal dan memang itu menjadi temuan dari riset ini. Tapi yang saya agak sayangkan soal komodifikasi lembaga adat, dalam banyak konflik ada beberapa kali muncul narasi soal keterlibatan aktor-aktor lembaga adat formal yang diformulasikan oleh Perda atau hukum-hukum lain oleh negara. Beberapa adat formal yang terlibat dalam konflik, baik sebagai penyebab dari konflik itu sendiri maupun juga seringkali ada juga yang berpihak di masyarakat. 

Misalnya di beberapa kasus yang umum terjadi konflik di desa Penyang, masyarakat mengklaim lahan dengan menggunakan adat, ritual adat dan segala macam tetapi terlepas dari lembaga adat yang resmi dimana ada DAD dan segala macam. Sehingga ini menjadi bagian, dimana aktor-aktornya pun juga terhubung dengan perusahaan di beberapa wilayah dan juga aktor negara di pemerintah baik di DPRD/DPR maupun pejabat-pejabat di eksekutif, baik itu kepala dinas ataupun bahkan bupatinya. 

Agak kurang apabila analisis mengenai politik informal kurang keluar di dalam riset ini karena refleksi saya dalam konflik di Kalimantan Tengah, justru politik informal itulah yang sangat berkaitan erat dengan konflik. Dan saya yakin Ward sendiri sudah melakukan beberapa kali penelitian di Kalimantan Tengah sebelumnya dan sudah bisa membaca soal ini. 

Kalaupun kita mau masuk ke mekanisme penyelesaian konflik yang bisa efektif saya pikir ada intervensi baik secara hukum dan perundang-undangan yang bisa memisahkan politik informal antara aktor negara dan aktor bisnis bisa dipidanakan. Masalahnya kita tidak punya mekanisme itu, seringkali kesepakatan-kesepakatan itu dilakukan di Singapura lalu kemudian diturunkan di kabupaten masing-masing dalam bentuk SK dan segala macam atau intervensi dari pemerintah secara formal, mediasi, lalu secara kondisi ada kesepakatan tetapi ternyata tidak efektif juga di lapangan. 

Saya agak keberatan ketika mekanisme-mekanisme semacam ini dianggap sebuah penyelesaian karena faktanya apa yang dirasakan masyarakat sebagai korban sering kali menyatakan bahwa mekanisme ini bukan penyelesaian dari konflik itu. Apakah kita mau melihat penyelesaian konflik ini secara formal atau secara substansial itu menjadi hal yang berbeda. Kadang-kadang secara formal selesai tetapi secara substansial tidak. 

Sekarang situasi ini juga dipahami dan dirasakan masyarakat yang berkonflik. Maka pilihan menempuh jalur-jalur formal itu menjadi pilihan yang tidak ada artinya, karena mengadukan perusahaan ke pemerintah itu gak ada artinya karena si pemerintah akan membela si perusahaan. Baik di dalam penelitian ini ataupun di luar penelitian ini, situasi itu yang terjadi. Jadi situasi politik informal itu juga sudah dalam pikiran dan masyarakat tahu dan merasakan betul di kampung-kampung aktor yang berperan juga adalah pejabat-pejabat negara dan juga polisi apparat keamanan. 

Bahkan juga dalam urusan illegal logging dan segala macam yang terkait dengan konflik itu juga melibatkan aparat keamanan tentara atau polisi. Itu masukan dan tanggapan saya terkait riset  ini, awal yang bagus tapi soal komodifikasi adat lembaga DAD sebenarnya saya punya pikiran untuk menuliskan soal ini kemarin. Tapi karena waktu  dan kesulitan komunikasi juga saya belum bisa memasukkannya dalam sebuah bentuk tulisan. Tapi ini menjadi salah satu kunci dimana lembaga-lembaga adat resmi pun menjadi bagian dari konflik yang terjadi.

Prabowo – Kepala Bidang Perlindungan Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng

Secara umum permasalahan konflik di perkebunan besar itu tidak melulu yang menghadapinya adalah Dinas Perkebunan. Banyak peraturan perundang-undangan yang dibebankan kepada perusahaan perkebunan besar itu banyak sector. Mulai dari tanahnya di BPN, pelepasannya di Kehutanan, pemanfaatan kayunya juga. Kita harus memilah-milah apa yang dimaksud dengan konflik perkebunan. 

Selama ini memang sudah ada Pergubnya untuk penanganan konflik, kemudian juga ada SK Gubernurnya tentang Tim Penyelesaian Konflik Tenurial dan Lingkungan Hidup di provinsi Kalimantan Tengah tahun 2018 yang terakhir. Itu menempatkan Dinas Kehutanan sebagai Sekretaris dan di Ketuai oleh Sekda, wakil ketuanya ada dari TNI, Inspektur Pengawas Kejaksaan Tinggi, dari Polda juga ada tim terkait yang memang diarahkan untuk menyelesaikan konflik secara umum tenurial dan lingkungan hidup. Banyaknya sektor yang berwenang dalam perkebunan besar, sehingga tidak bisa dan tak akan sanggup instansi teknis untuk menyelesaikan konflik. 

Kami selama ini melihat bahwa penyelesaian konflik ini dikatakan belum efektif karena banyak kendalanya. Kalau memang dianggap ketidak seriusan adalah faktor penyediaan dana. Tapi keseriusan aparatur dalam menyelesaikan atau memediasi tidak diragukan. Niatan aparatur untuk menyelesaikan atau memediasi konflik, melihat kondisi yang ada seharusnya tim mendapatkan dukungan yang cukup baik kemampuan aparatur juga pembiayaan dan prasarana dalam penyelesaian konflik. Jadi tidak gampang-gampang juga menyelesaikan konflik di lapangan. Kalau penyelesaian mediasi hanya sekedar rapat itu lebih mudah, tetapi penyelesaian konflik harus benar-benar tahu duduk perkaranya di lapangan. Itu pandangan kami dari tim terpadu penyelesaian konflik selama ini. 

Kalau mau ditingkatkan kelembagaan itu atau membentuk forum komunikasi dimana diusulkan kelembagaan dengan yang lain, kami pasti sangat mendukung dan meringankan beban. Artinya sebelum terjadi konflik yang sebenarnya itu bisa dicegah karena adanya pihak-pihak yang lebih mengetahui bagaimana proses memediasi. Kalau mediasi dilakukan di lapangan maka tidak berat, sebelumnya sudah dibahas dan diketahui persoalannya akan lebih efektif.

Terkait dengan penanganan konflik yang kebanyakan di Kalteng adalah konflik lahan, lahannya mungkin hanya sekitar 10%. Permasalahannya adalah ada kelemahan dari aparatur yang ada di tingkat desa dalam sosialisasi kepemilikan lahan masyarakat. Itu kadang-kadang mudah dibeli atau diganti rugi setelah itu lahan masyarakat sudah habis karena asset mereka yang dipertahankan sudah menjadi hilang. 

Untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat agak sulit karena sudah ada ganti rugi. Sementara kalau mau ada bagian dari HGU atau izin yang diserahkan sebagai plasma itu juga berbenturan dengan peraturan. Tidak mungkin bagian itu yang dimaksud yang sudah ada HGU dan anak-anak sawitnya. Pasti mereka menanyakan areal mana bagi masyarakat untuk difasilitasi. Kewajibannya menjadi memfasilitasi bangunan kebun untuk masyarakat, itu lah aturan yang sekarang. 

Kesulitan terhadap areal yang harus disediakan untuk masyarakat, kemudian alternative memberikan kemitraan yang lain misalnya usaha ekonomi produktif. Setahu saya ada juga penolakan karena belum siap merubah tradisinya menjadi pelaku usaha ekonomi produktif. Banyak PR untuk pemerintah banyak sector untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan warga desa ini. Jangan selalu meminta tanah yang sudah ada sawit, karena penyelesaian konfliknya menjadi sempit.

Rio – Biro Hukum Provinsi Kalimantan Tengah

Penyelesaian sengketa sebenarnya bicara politicall will ada dulu tempatnya, bahkan sekarang sudah dimunculkan kembali. Sekitar tahun 2014-2015 dulu pernah ada masuk dalam program pembentukan Perda yaitu Raperda tentang Penyelesaian Sengketa Tenurial. Kemudian karena ada perubahan peraturan perundang-undangan, bergesernya kewenangan sengketa pertanahan dari Sekretariat Daerah ke Dinas Permukiman dan Pertanahan. Kemudian masuk ke anggota DPRD pada periode sebelumnya sempat diusung menjadi Perda inisiatif DPRD. Hanya saja waktu berjalan beberapa kali uji public, terlalu banyak masukan dan segala macam akhirnya tidak jadi dibahas. Di propem Perda tahun ini pun sudah masuk lagi, ada di propem Perda untuk tahun 2021 tentang penyelesaian sengketa agraria. 

Terkait dengan hasil riset penelitian ini sangat baik apabila nanti dikoordinasikan kepada inisiator. Dalam hal ini Badan Pembentukan Perda DPRD Provinsi Kalteng, karena hasil temuan riset ini tentunya bisa jadi suplemen pengaya atas substansi yang akan diatur dalam Raperda itu. Maksud saya ketika Raperda itu masuk dalam propem Perda otomatis itu sudah ada will nya pemerintahan daerah dalam penyelesaian sengketa tenurial atau sengketa agraria. Kita tidak bicara di satu bidang, tidak hanya perkebunan tapi kita bicara semua sector. Pintu sudah terbuka, silahkan masuk dan berkoordinasi karena saya rasa DPRD sangat terbuka. DPRD kan rumah rakyat jadi sangat bisa untuk memberikan masukan terhadap Raperda yang akan dibuat, bahkan kalau bisa bekerja sama antara peneliti dan inisiatornya langsung. Mungkin bisa dijadikan suplemen pengayaan Raperdanya tadi. 

Yang menarik adalah capacity building pada Pemda dalam penyelesaian sengketa, saya sepakat bahwa capacity building ini perlu digalakkan dan dibuat kepada Pemda dalam hal ini adalah pegawainya yang membidangi penyelesaian konflik. Misalnya peningkatan kemampuan mediasi dan sebagainya karena di Biro Hukum sendiri ada sub bagian khusus yaitu bagian non litigasi. Jadi semua sengketa di luar pengadilan masuk situ, di bagian non litigasi ada fasilitator dalam hal tersebut cuma kemampuan SDM juga kurang dan banyaknya SDM juga kurang. 

Saya sepakat untuk capacity building untuk Pemda tetapi juga itu bukan satu-satunya jawaban bukan hanya capacity building untuk Pemdanya tapi capacity building juga untuk masyarakat. Tadi disampaikan pak Agung dari Disbun bahwa ketika itu sudah terjual, itu sudah jelas susah untuk menyelesaikannya. Jadi ada capacity building untuk Pemda,  masyarakat dan juga investor. Jadi jangan melihatnya terlalu legalistic, ada hal-hal di luar legal yang perlu diperhatikan sehingga itu bisa dianggap pemicu konflik nantinya. Itu yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan juga, bagaimana caranya itu menjadi PR dari Pemda atau bagi kita semua. 

Bicara penyelesaian konflik memang harus lintas sektor, saya sepakat betul dengan Pak Agung, karena penyelesaian sengketa tergantung sengketanya dimana, sengketanya apa, sengketanya bagaimana, yang akan mengerucutkan siapa saja yang terlibat dalam sengketa. Mungkin masukan untuk kita semua baik dari Pemda dan pemerhati juga yang perlu diatur dan dibuat justru  Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK)nya. Bagaimana melibatkan para pihak ketika menyelesaikan sengketa jenis ini. Itu yang digiring masuk dalam substansi Raperda itu, jadi ketika ada keinginan menyelesaikan sengketa orang atau lembaga yang diberikan kewenangan sudah memiliki NSPK itu tadi. Itu yang kiranya nanti bisa dijadikan substansi dalam Raperda atau diturunkan dalam Pergub, apakah berupa tim seperti yang disampaikan pak Agung tadi. 

Tadi saya lihat ada di kolom chat, bang Dimas menyampaikan ada draft Perda 2013 atau 2014 masalah ini. Bahkan seingat saya teman-teman Karsa yang membuat lembaga ad hoc yang isinya terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, adat, jadi sudah lebih lengkap. Mungkin itu juga yang nanti bisa dimunculkan lagi dan dipertajam, tapi pada intinya saya lebih menyarankan kepada para peneliti; apapun hasil penelitian ini, wajib untuk dikonsolidasi dengan DPRD Provinsi Kalteng khususnya Bapem Perda sebagai inisiator dalam pembuatan Perda ini. 

Alangkah baiknya hasil dari penelitian ini bisa menjadi suplemen pelengkap atau membantu dari Bapem Perda sendiri yang menyusun Raperda alternative ini. Karena tujuannya sama yaitu bagaimana menyelesaikan permasalahan sengketa di luar dari pengadilan. Karena kalau di pengadilan ada vote and quote bahwa yang besar pasti menang daripada yang kecil.

Halin – Sekretaris GAPKI Provinsi Kalimantan Tengah

Saya sangat salut kepada Walhi Kalimantan Tengah bicaranya netral tapi mengasyikkan dengan data-data yang ada. Kami sudah membahas tentang laporan ini, dan betul konflik yang besar dan paling banyak terjadi adalah lahan dan inti plasma. 

Berbicara lahan, sawit memerlukan lahan yang luas. Mungkin pada saat awal bupati mengeluarkan izin lokasi sangat global sekali, jadi tidak tahu apa yang ada di dalam lahan itu. Maksud kita para pengusaha ini begitu berjalan, ini juga harus diawasi dari tahun ke tahun sampai membangun kebun mencapai sekitar 10 ribu ha. Karena izin lokasi yang diberikan itu tidak mutlak juga harus 10 ribu ha, kalau memang ada masalah dan konflik yang terjadi kita harus hati-hati. Oleh karena itu misalnya pencaplokan, perampasan, dan ganti rugi besar itu bisa diselesaikan pada tahap-tahap. Karena setiap tahun saat ini untuk membuka lahan itu paling besar 2 ribu hektar, kalau 10 ribu hektar pembukaan lahan selama 5 tahun yang harus diikuti terus. 

Tadi Pak Agung sudah mengatakan mungkin pengawasan kurang, sehingga begitu kebun sudah terbangun 1-2 tahun baru muncul konflik. Kan susah kalau kebun sudah terbangun timbul konflik-konflik yang saling mengklaim. Tentu di Biro Hukum tadi saya sangat setuju,  kalau bisa kita selesaikan di luar pengadilan. Ini yang kita minta, tapi apapun keputusan di tingkat provinsi sampai kabupaten sampai tingkat kecamatan. Di tingkat kecamatan yang kita bicara lebih banyak, bahkan kami dulu pernah menawarkan rapat-rapat yang harus dilaksanakan oleh perusahaan, jadi ada keterlibatan pemerintah, pelaku dan investor.

Mengenai inti plasma yang menjadi masalah utama karena berhubungan dengan lahan. Inti plasma ada 3 kementerian yang mengatur yakni Kementerian Pertanian, Kementerian ATR BPN dan ada Kementerian KLHK. Jadi semua memohon 20%, tentu bagi perusahaan tidak ada masalah dan itu wajar. Tapi perlu diketahui bahwa khususnya calon-calon lahan petani ini juga banyak daerah-daerah yang kawasan hutan. Yang sangat diperlukan adalah pelepasan dari segala macam. 

Hasil dari laporan ini kami sangat memohon perhatian apa solusi-solusi yang harus kita lakukan, jadi tidak perlu lagi bicara tingkat provinsi tapi mari kita bicarakan pada tingkat kecamatan. Perusahaan tidak akan anti terhadap problem-problem yang dihadapi. Tadi dikatakan apakah ini merugikan perusahaan? Tentu yang paling rugi adalah Pemerintah Daerah karena perkembangan usaha tidak berjalan dengan baik.

Tanya Jawab

Dari peneliti sempat menyampaikan bahwa dalam konflik itu perusahaan juga rugi. Apakah perusahaan rugi kalau ada konflik di lahannya? Apakah jadi kendala juga untuk perusahaan memenuhi 20% plasma?

Halin – Sekretaris GAPKI Provinsi Kalimantan Tengah

Pasti rugi karena tidak bisa melakukan perluasan karena konflik. Jadi status quo, padahal siapa yang punya kita belum tahu. Mau dibawa ke pengadilan segala macam tidak mungkin juga, karena pasti petani atau masyarakat juga tidak ingin sampai ke permasalahan hukum.

Untuk plasma jelas menjadi kendala utama, berdasarkan ketentuan yang ada 20% ini CPCL nya harus dari Bapak Bupati. Tapi bapak Bupati sulit juga mencari lahan karena lahan yang tersedia dalam bentuk APL hampir tidak ada lagi. Tentu ini harus kita cari tahu melalui revisi-revisi tata ruang dan segala macam, mari kita berbicara bersama-sama sehingga hal ini bisa tercapai.

6 Februari dan 3 Mei 2019 ada rapat kabinet terbatas tentang masalah pertanahan, penyelesaian masalah pertanahan secara sistematis. Apakah rapat kabinet yang berulang kali diselenggarakan berdampak bagi penyelesaian pertanahan di daerah-daerah atau hanya sekedar rapat? Mungkin maksudnya Ikram, begitu banyaknya regulasi-regulasi yang juga sudah dibuat oleh pemerintah dan apakah itu efektif? 

Ward Berenschot – KITLV

Ada tiga poin yang saya tanggapi:

1. Poin dari Pak Rio dan pak Agung Disbun Provinsi Kalteng terkait pentingnya untuk mengkonsolidasikan riset ini dengan DPRD dan Raperda. Saya senang mendengar itu karena kami sangat bersedia untuk  kerjasama dan saya harap laporan yang kami tulis kalau sudah dicetak bisa dikirim kepada Bapak untuk Raperda juga karena justru saya lihat banyak orang memang ada political will untuk menyelesaikan konflik secara lebih baik. Tapi tantangannya sekarang adalah tidak ada cukup data untuk memastikan strategi apa yang baik dilakukan. Saya harap pak Rio, Pak Agung dan DPRD Provinsi Kalteng bisa menemukan dalam laporan kami beberapa ide yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik. 

2. Dan itu juga terkait poin-poin yang disebut oleh pak Emil Kleden, Pak Wawan dan Pak Paulus juga terkait political ekonomi  yang ada sekarang. Mereka bertiga juga menyebut hambatan yg paling besar adalah kadang-kadang ada hubungan informal antara para pihak bisnis perusahaan sawit dan beberapa orang dalam pemerintah. Akibatnya ada persepsi pemerintah pasti akan membela perusahaan, itu paradox yang ada sekarang. Walaupun masyarakat sangat tergantung pemerintah untuk menyelesaikan konflik seperti kami lihat sebagian besar mereka menggunakan mekanisme informal; mediasi melalui pemerintah daerah. 

Dari sisi lain masyarakat juga merasa pemerintah cenderung berpihak kepada perusahaan. Saya kira sekarang itu alasan penting untuk pembentukan sebuah lembaga mediasi atau lembaga penyelesaian konflik dengan multi pihak, tidak hanya pemerintah tapi juga ada orang industri kelapa sawit, NGO, mungkin wartawan supaya bisa menjadi sebuah lembaga independen dan objektif. Di Kalteng sudah ada Perda yang memang sudah mau pembentukan lembaga ini, hanya perlu memasukan idenya di Raperda untuk pembentukannya. Itu penting tidak hanya untuk masyarakat yang dihadapkan pada konflik tapi juga untuk perusahaan sawit yang dirugikan karena konflik dan juga untuk ekonomi Kalteng.

3. Akibat adanya konflik yang tidak ada solusi untuk konflik yang sekarang, banyak manfaat dari industri sawit sedang keluar dari Kalimantan Tengah. Kalau ada deal yang lebih baik dan lebih jelas kesepakatan di antara masyarakat dan perusahaan akibatnya hasil industri sawit juga akan membantu ekonomi di Kalimantan Tengah. Supaya memperkuat perekonomian Kalimantan Tengah, jadi itu memang ada kepentingan Pemda untuk mempermudahkan proses penyelesaian konflik supaya ekonomi di Kalimantan juga bisa tumbuh.

Ahmad Dhiaulhaq – KITLV

Ada beberapa hal yang ingin saya tambahkan:

1. Peran tim terpadu, tadi perwakilan dari pemerintah Pak Rio dan Pak Agung menyampaikan bahwa pemerintah sudah punya political will membentuk lembaga tim terpadu terkait dengan penyelesaian konflik ini. Ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan adalah dari implementasinya yang perlu kita evaluasi kembali karena dari sekian konflik kami teliti sejauh ini dari 45 konflik yang di Kalimantan Tengah ini belum banyak mendengar dari proses-proses penyelesaian ini keterlibatan dari tim-tim yang pernah dibentuk tersebut. Jadi mungkin perlu dievaluasi lagi kenapa keterlibatan dari tim-tim terpadu penyelesaian konflik ini di lapangan belum terasa betul khususnya di kasus-kasus konflik kelapa sawit yang kita teliti. 

Kalau melihat struktur kelembagaan dari tim-tim terpadu penyelesaian konflik lahan dan agrarian di Kalimantan Tengah. Dilihat dari Perdanya unsur-unsur yang ada kebanyakan masih berpusat pada unsur pemerintah: perwakilan dari Sekda, Kepolisian, Kepala Dinas  dan lain-lain tapi belum banyak. Idealnya adalah kami melihat sebuah kelembagaan untuk bisa mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak itu sangat penting sekali melibatkan unsur-unsur diluar pemerintah khususnya ada unsur masyarakat, unsur-unsur yang independen. 

Menurut saya yang perlu diperhatikan juga dari lembaga penyelesaian konflik ini juga adalah sejauh mana netralitas atau independensi dari lembaga ini. Kalau tidak ada persepsi atau kepercayaan tentu saja sulit untuk bisa efektif, apalagi kalau mengharapkan masyarakat melaporkan kasus-kasus mereka ke lembaga ini kalau tidak ada citra independensi.

2. Masalah aksesibilitas, sejauh mana tingkat kemudahan masyarakat mengakses lembaga-lembaga tersebut. Legitimasi, independensi dan juga aksesibilitas dari lembaga tersebut menurut saya hal yang perlu ditingkatkan lagi.

Mekanisme resolusi konflik yang efektif apa yang dapat memberi efek jera kepada perusahaan dan negara yang kerap kali sebagai pelaku konflik dan terkesan sangat dilindungi oleh negara. Apalagi melalui sejumlah regulasi dan kebijakan saat ini?

Ahmad Dhiaulhaq – KITLV

Kita tidak bisa mengatakan mengandalkan pada satu mekanisme saja karena setiap konflik mempunyai karakteristik tersendiri dan tentu saja mekanisme (formal pengadilan, litigasi dan non litigasi) tergantung dari jenis konfliknya. Kalau bicara tentang mekanisme yang bisa membuat efek jera dan lain-lain tentu saja tidak bisa hanya mengandalkan satu mekanisme saja. Misalnya mekanisme mediasi saja, tapi harus juga ada mekanisme-mekanisme lain yang bisa melengkapi itu. Termasuk pada mekanisme penegakan hukum dan juga dari otoritas yang ada di Kalimantan Tengah. Jadi menurut saya kontribusi dari berbagai mekanisme itu harus bisa bekerjasama selain untuk menyelesaikan konflik termasuk juga penegakan hukumnya juga.

Ward Berenschot – KITLV

Berbeda terkait dengan political will yang sudah disebut. Dalam proses penelitian ini kami juga sering melihat kasus dimana ada Pemerintah Daerah yang memang mau mendorong proses penyelesaian konflik, yang mengirim banyak surat-surat kepada perusahaan untuk hadir di sebuah hearing atau rapat mediasi. 

Contohnya saya pernah bicara dengan Pak Wardian di Sembuluh, beliau punya 10 surat yang dikirim Pemerintah Daerah kepada Perusahaan untuk mengundang perusahaan hadir di sebuah rapat mediasi, tapi perusahaan tidak pernah hadir dan bukti-bukti yang diminta oleh Pemerintah Daerah (bukti yang membuktikan bahwa perusahaan sudah memberi uang ganti rugi kepada masyarakat) tidak pernah diberi. 

Jadi untuk situasi ini kami juga ada rekomendasi kebijakan dimana situasi perusahaan tidak mau ikut proses penyelesaian konflik harus ada sanksi. Sekarang hanya ada sanksi tapi seperti tidak ada sanksi, mungkin sanksi bisa untuk cabut izin. Harus juga ada sanksi diantaranya seperti hukuman administrative saja supaya memang bisa ada tekanan sedikit untuk perusahaan juga bisa ikut penyelesaian konflik. 

Karena kita harus mengakui situasi status quo sudah bagus untuk perusahaan, mereka sudah menguasai lahan dan bisa melakukan produksi. Jadi kalau tidak ada kesepakatan dan tidak ada penyelesaian konflik  tidak ada masalah untuk perusahaan. Itu hanya merugikan perusahaan sedikit, tidak seperti masyarakat yang memang mengandung sumber kehidupan kepada lahan tersebut. Saya kira penting untuk ada hukuman administratif yang bisa juga bisa mengasih insentif untuk perusahaan ikut proses penyelesaian konflik.

Sebenarnya bagaimana mekanisme penyelesaian konflik di Dinas Perkebunan ketika pihak perusahaan misalnya gak dating, lalu apakah ada sanksi-sanksi yang bisa diberikan pemerintah. Contohnya di Sembuluh tadi 10 surat untuk mediasi yang hasilnya paling hanya masyarakat dan pemerintah saja yang datang atau perusahaannya dating pemerintahnya tidak datang. Ini seperti apa pak Agung, apakah ada sanksi-sanksi atau hukuman administratif untuk hal-hal atau kasus seperti itu?

Agung – Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah

Memang pernah ada kasus yang diundang perusahaan tidak datang, kita sebenarnya pernah memberikan sanksi berupa tidak memberikan pelayanan penilaian usaha perkebunan. Bisa dikaitkan dengan upaya pembinaan usaha perkebunan atau penilaian usaha perkebunan itu bisa diterapkan. Sebenarnya kewenangan penyelesaian konflik ini melekat kepada pemerintah melalui izin wewenangnya yang ada pada Bupati, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Kemudian kalau lintas kabupaten baru bisa dilakukan tim mediasi dari provinsi. Kalau memang di kabupaten tidak selesai dan melimpahkan kepada provinsi juga bisa kita lakukan mediasi. 

Mengenai forum yang disampaikan tadi adalah tingkat Pemprovnya, kalau bisa diselesaikan di tingkat kabupaten itu lebih baik. Tapi kadang-kadang ada juga pengaduan yang langsung disampaikan ke Disbun, kalau memang kita bisa atasi lebih dulu bukan mendahului kewenangan tapi karena mengurangi beban juga bisa kita mediasi. Jadi sebenarnya niatan untuk mediasi itu ada terus, kita juga tidak ingin masyarakat dirugikan untuk itu. Artinya kalau laporan masuk ke Disbun, itu kita tanggapi dan kita lakukan mediasi dengan segala kemampuan yang ada. 

Kalau memang tidak ada anggarannya bisa dilakukan rapat-rapat di kantor aja kita undang. Sebisa-bisanya yang dicapai win-win solution  untuk para pihak, kendalanya memang seperti itu dikatakan kurang efektif. Mungkin perlu distrukturkan lagi penyelesaian konflik di tingkat provinsi dan kabupaten, kebanyakan penyelesaiannya di tingkat kabupaten/kota.  

Untuk konflik yang tidak terselesaikan dan sudah dimediasi angkanya sudah 95 sejak tahun 2013, itu kumulatif. Kasusnya 78 kasusnya adalah lahan dan 17 kasus non lahan, jadi kalau mereka menempuh jalur hukum baru kita anggap sudah keluar dari jalur mediasi dan sudah selesai. Kita dibatasi seperti itu tidak bisa lebih jauh untuk memberikan sanksi seperti yang dikatakan lagi.

Apakah ada celah-celah hukum yang bisa bikin jera untuk para pelaku yang susah untuk diatur, dilihat dari kebijakan sudah banyak mulai dari SK Gubernur sampai tahun sekarang?

Rio – Biro Hukum Provinsi Kalimantan Tengah

Celah-celah untuk bikin jera, saya mengulang dari omongan pak Agung bahwa pengawasan itu kan melekat pada si pemberi izin, balik lagi kepada politicall will nya pemberi izin apa? Jadi karena dia melakukan pengawasan jadi dia yang bisa membuat jera ketika si pemohon izin melakukan hal-hal yang tidak sesuai dalam kesepakatan perizinan. 

Bicara mediasi berarti kesepakatan dulu dari kedua belah pihak yang bersengketa, kalau salah satu tidak sepakat maka tidak ada gunanya juga mediator ini. Harus sepakat dulu dua belah pihak bahwa misalnya Pemda yang memediasi. Jadi maksud saya ketika ada pemberian efek jera kepada investor yang disebut mbak Dita tadi, itu merupakan tugas dan wewenang pelaksanaan pemberi izin. Bukan tidak mau bermediasi, ketika dia melanggar maka akan diberi sanksi karena prinsip hukum kita seperti itu. 

Tidak bisa kita berikan sanksi ketika dia tidak mau bermediasi karena mediasi sifatnya sukarela atau menyerahkan secara penuh mempercayakan kepada pihak ketiga  untuk menyelesaikan sengketa yang mereka atur. Kemudian ketika sepakat pun bagaimana mengatur proses-proses tahapan seperti yang saya sebutkan tadi adanya NSPK. Bagaimana dari awal tahapan pengaduan, bagaimana merespon dan lain sebagainya, NSPK ini yang perlu dibuat dan perlu ada menjadi sebuah payung hukum bagi Pemerintah Daerah. NSPK untuk masing-masing sektor sudah ada di masing-masing lembaga pemerintah, yang lintas sektoral yang belum ada NSPKnya. 

Misalnya ada konflik antara masyarakat dengan investor, saya yakin kalau kita runut dan telaah itu tidak mungkin sebabnya cuma satu. Pasti ada berbagai macam sebab, ini yang maksud saya kenapa perlu sebuah lembaga yang diluar dari pengadilan dan NSPK itu termasuk di dalam mengatur ketaatan pihak yang bersengketa. 

Misalnya setelah ada kesepakatan tapi setelahnya tidak ada konsistensi untuk melaksanakan kesepakatan itu karena tidak mengikat, hanya sebatas selesai di rapat. Ini yang perlu kita buat ketika sepakat dan tanda  tangan, misalnya didaftarkan ke pengadilan negeri. Itu merupakan salah satu bentuk bahwa kesepakatan ini merupakan undang-undang bagi para pihak sehingga suatu saat ketika ada pelanggaran terhadap kesepakatan maka hukum di depan.

Bagaimana teman-teman melihat akar masalah dalam konflik yang terjadi? Ini juga sempat dikemukakan pak Paulus dalam tanggapannya. Terlihat dalam data-data bahwa insiden kekerasan sangat terlihat membuat rakyat lebih banyak dirugikan. Jadi sebenarnya akar masalah dari konflik-konflik yang terjadi di perkebunan kelapa sawit itu apa? 

Ward Berenschot – KITLV

Saya melihat ada satu akar yang saya lihat yaitu akar kolonial. Justru peraturan kolonial yang dilaksanakan 150 tahun yang lalu, saat pemerintah kolonial memerintah bahwa semua lahan di wilayah hutan dikuasai oleh negara dimiliki oleh negara. Dan putusan ini masih punya dampak sampai sekarang, karena sampai sekarang kemungkinan untuk masyarakat memiliki lahan sendiri sangat terbatas di Indonesia. 

Dibanyak negara lain sebagian besar lahan dimiliki oleh masyarakat atau perusahaan. Kalau di Indonesia sebagian besar lahan justru di wilayah hutan dikuasai dan dikontrol oleh negara, itu kira-kira 60-70% semua lahan di Indonesia. Akibatnya status kepemilikan lahan masyarakat posisinya sangat lemah, di pengadilan juga lemah akibat peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial 150 tahun yang lalu. 

Itu salah satu akar yang memunculkan konflik karena masyarakat merasa saya dan orang tua saya sudah mengerjakan lahan ini sejak lama walaupun tiba-tiba perusahaan bisa datang dan mengatakan saya punya izin dari pemerintah untuk lahan yang digunakan masyarakat. 

Itu menurut saya, dan saya menulis beberapa artikel tentang itu bersama Mas Ahmad itu salah satu alasan mengapa perlu agrarian reform di Indonesia untuk hentikan warisan deklarasi colonial tersebut.

Paulus Y. Dhanarto – Akademisi Universitas Palangka Raya

Yang dikatakan Ward mengenai warisan kolonial, itu juga yang mau saya katakan. Dimensinya bukan hanya di tingkat legal formal, artinya warisan kolonial ini dalam bentuk implementasi peraturan perundang-undangan pada zaman kolonial dulu itu juga merubah secara psikologi bagi aparat-aparat negaranya dan juga masyarakat. Kalau dikaji lebih dalam lagi bagaimana masyarakat melihat hukum, ada perbedaan dengan masyarakat misalnya di Belanda dan Indonesia dalam melihat hukum. 

Secara psikologi sosial masyarakat di Indonesia atau di negara-negara bekas jajahan, melihat hukum yang berlaku di negara merdeka sekarang itu sebagai sesuatu yang memaksa dan mengekang. Sehingga yang sering muncul adalah efek jera, efek jera ini dia tidak melakukan lagi sesuatu yang membuat dia sakit atau membuat dia semakin tertekan. Ketika efek jera dikeluarkan, karakter colonial dulu terhadap bangsa jajahan adalah mengekang orang supaya tidak melawan. 

Dibeberapa negara yang dulu menjajah, hukum itu dikedepankan bukan efek jeranya tapi efek sadarnya. Secara psikologis sosial itu yang tidak ada di kita di negara jajahan di sisi masyarakatnya. Pendekatan-pendekatan kita dilakukan secara legal formal, keterpisahan logika psikologi di masyarakat tadi menjadi satu masalah. 

Kedua di aparatnya, administrasi negara dilihat sebagai salah satu pelayanan public. Itu tidak berlaku dalam psikologi  apparat negaranya, dalam psikologi aparat negara itu mengatur, menguasai itu masih ada sehingga benturan konflik kepentingan ketika aparat punya usaha/perusahaan atau terhubung dengan beberapa aktor bisnis konflik kepentingan ini yang justru mendominasi keputusan-keputusan formal. Akhirnya ketika kita buat mediasi, tadi yang disampaikan bang Emil misalnya FPIC. 

Beberapa informasi di perusahaan menyatakan sudah melakukan sosialisasi, tetapi yang absen adalah ruang untuk menolak. Mediasi, sosialisasi dan segala macam itu diarahkan untuk bagaimana masyarakat menerima, tentunya yang dikedepankan adalah kompensasi. 

Melihat secara ekonomis, nilai lahan ada perbedaan persepsi ketika misalnya 10 hektar lahan di mata investor sebagai aset ekonomi, 10 hektar di mata negara sebagai pemegang mandat  rakyat dan 10 hektar di dalam persepsi masyarakat itu berbeda. Siapa tahu dalam 10 hektar itu ada hal yang berhubungan dengan leluhur atau identitas masyarakat. Itu tidak akan masuk dalam evaluasi-evaluasi ekonomi investasi, sulit mengevaluasikan bagaimana disitu ada roh leluhurnya. 

Perbedaan logika ini  kalau terburu-buru kita masuk ke dalam  mediasi, dan perbedaan logika tidak ada akhirnya siapa yang akan menjadi mediator dan dimana mediasi itu dilakukan akan menentukan apa keputusannya. Kalau mediasinya dilakukan oleh pemerintah, dimana dalam logika masyarakat pemerintah itu bagian dari konflik yang memberikan izin perusahaan itu artinya membackup perusahaan itu. 

Di lapangan mereka melihat aparat keamanan juga membackup perusahaan, ini menjadikan posisi perusahaan menjadi posisi imperior. Walaupun tidak muncul dalam ruang-ruang yang sifatnya legal formal, tetapi secara psikologis mereka tertekan. Tempatnya dimana dilakukan mediasi, kalau di kantor pemerintahan atau di kantor perusahaan sama saja, tempat melakukan mediasi menentukan sifat mediasi itu sendiri.

Ketika dilakukan dalam rapat kampong pemerintah dan perusahaan tidak mau, selalu pendekatannya legal formal sementara psikologi aparat dan psikologi  masyarakatnya belum ter dekolonisasi, masih melihat hukum sebagai alat, apparat sebagai perangkat hukum yang menindas mereka. Itu terkait dengan warisan kolonial tadi, itu salah satunya kenapa kemudian itu terlihat dalam ekspresi masyarakat. Kenapa mereka menghindari tidak mau menggunakan mekanisme-mekanisme formal, karena mereka menganggap mekanisme formall itu adalah mekanisme yang merugikan mereka. Perusahaan itu hadir disana karena mekanisme formal juga yang mengizinkan perusahaan itu hadir.

Perspektif dari Pemerintah pusat terkait penyelesaian konflik-konflik di daerah khususnya di perkebunan kelapa sawit?

Rivani Noor

Saya hadir tidak  mewakili tenaga ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga tidak mewakili Kementerian. Saya hadir karena diundang Pak Dimas karena sama-sama di Walhi dulu dan juga temannya pak Ahmad dan juga beberapa saya kenal di acara ini. Saya menikmati sekali apa yang didiskusikan pada hari ini, dan menurut saya itulah realita yang ada dalam penanganan konflik. Catatan saya;

1. Terkait konflik tenurial baik itu didalam atau di kawasan hutan tentu tidak hanya sekedar bicara satu bidang hukum. Contoh saja yang namanya soal tanah, bukan hanya soal hukum kehutanan tapi pasti terkait juga dengan hukum-hukum yang lain. Administrasi saya lihat juga bagaimana kewenangan-kewenangan itu saling bertingkat, saling didistribusikan. Juga mencakup hukum pidana, perdata, lingkungan hidup dan segala macam. Berbicara soal konflik tenurial tentu harus melihat dari berbagai macam bidang hukum. Tentu saja itu penting untuk dipahami, ketika bicara tentang penanganan konflik maka mencakup berbagai macam hal ini yang harus dilihat.

2. Dimensi penanganan. Dimensi penanganan konflik tidak hanya melihat pada satu sisi juga, bung Ahmad tahu sendiri dimensinya banyak tidak sekedar dimensi pertanahan saja tapi ada dimensi ekonomi, politik, sosial dan budaya juga ada. Jadi sangat kaya sekali dengan dimensinya. Makanya ketika kita mau masuk ke dalam penanganan konflik, penting sekali untuk melihat sumber-sumber konfliknya apa, kemudian tipe-tipenya apa. 

Kalau saya melihat tadi yang menjadi fokus adalah konflik antara masyarakat dengan perusahaan, kemudian tipenya terkait hak atas tanah. Ada rekomendasi misalnya pemberdayaan kapasitas, peningkatan kapasitas, bagaimana melihat regulasinya. Maka tentu saja kalau mau dibentuk satu lembaga, harus melihat juga pada dimensi mana yang ingin diselesaikan di awal. 

Contoh: misalnya kewenangan untuk menetapkan wilayah adat dimana harus mengacu berbagai macam regulasi dan kewenangannya berdasarkan Permendagri yang ada di provinsi dan ada di kabupaten. Dalam kontek birokrasi tidak bisa langsung melompat begitu saja, bahkan keputusan politik pun kita harus jaga tidak bisa melompat  misalnya harus begitu saja dilakukan oleh pemerintah pusat atau satu kementerian. 

Tetapi harus dilakukan secara bertingkat misalnya ditentukan tata ruangnya harus ada dari Pemerintah Kabupaten. Jadi dari perspektif penanganan konflik, negara ini menjadi penting bisa dilihat bagaimana kemudian pembagian kewenangan-kewenangan ini menjadi satu tantangan juga dalam penanganan konflik.

3. Konflik ini sangat kaya sekali bidang akademis, keilmuannya didalam melihatnya dan dimensinya juga cukup kaya. Berbicara terkait bagaimana masyarakat memperjuangkan hak-haknya maka salah satu kekuatan yang saya tahu adalah bagaimana masyarakat bisa mengorganisir diri. Jadi tadi dikatakan Pak Rio, kalau mau menangani konflik masing-masih pihak harus mau dulu. Ini mungkin yang dimaksud pak Ahmad tadi bagaimana penanganan konflik itu melalui mekanisme atau standar yang harus diatur. Dan standar yang harus diatur itu adalah kesepahaman dan kesepakatan kedua belah pihak. 

Kalau perusahaannya gak mau, ya tidak bisa juga. Kalau masyarakat tidak mau ya tidak bisa juga, artinya ketika bersepakat maka masing-masing pihak harus bisa membangun kesepahaman-kesepahaman terhadap prosedur penanganan konflik tersebut. Pada konteks inilah ketika mau masuk ke dalam mekanisme penanganan konflik, mau masuk ke penanganan resolusi konflik menurut saya kelembagaan masyarakat harus berunding bernegosiasi dengan pihak perusahaan yang dikatakan tadi sudah punya segala-galanya, maka kelembagaan masyarakat itu menjadi penting untuk diperkuat. 

Tugas siapa? Apakah seperti apa yang disampaikan oleh Pak Ahmad tadi, tugas penanganan konflik itu adalah tugas mediator/fasilitator. Ke siapa untuk memperkuat kelembagaan masyarakat ini? Itu yang menjadi pertanyaan. Kelembagaan yang saya maksud adalah bukan kelembagaan yang tiba-tiba muncul ketika ingin menangani konflik tapi kelembagaan yang memang punya akar yang kuat, punya tradisi berorganisasi yang baik. Sehingga ketika dia masuk ke arena resolusi konflik membawa tuntutan-tuntutan yang bisa diimplementasikan ke depan. 

Akan salah juga ketika bicara penanganan konflik, tiba-tiba muncul begitu saja lembaganya. Itu menurut saya yang penting untuk lebih didalami seperti ini siapa yang punya tanggung jawab ketika dalam penanganan konflik dan bagaimana bentuk kelembagaannya masyarakat yang dimaksud ketika kita masuk ke dalam arena negoisasi atau arena resolusi konflik berdasarkan mekanisme yang disepakati dalam penanganan konflik.

Yohana Tiko – Walhi Kalimantan Timur

Memang akar masalah dari permasalahan konflik ini bukan karena tiba-tiba sudah berdirinya kebun, tapi proses awal masuknya yang pertama. Yang kedua soal tidak ada transparannya plasma yang tidak didapatkan oleh masyarakat yang menyerahkan tanah misalnya. 

Kemudian soal koperasi yang dibuat oleh perusahaan, bagaimana bisa koperasi itu masyarakat sendiri yang mengelolanya mungkin lebih transparansi dan lebih baik. Masyarakat diserahkan untuk mengelola koperasinya secara mandiri, bukan dari kecamatan atau kabupaten tapi langsung dari masyarakatnya langsung yang terdampak langsung dengan perkebunan kelapa sawit. 

Jadi akar-akar masalah itu seperti itu, ketika memang konflik itu terjadi di lapangan. Soal pengelolaan limbahnya yang terkadang membuat konflik tersendiri di masyarakat tentang sumber airnya yang dirusak. Itu yang harus disiapkan juga oleh perusahaan ketika memang tidak ingin terjadi konflik. Jadi ibaratnya adalah pola manajemen yang harus diperbaiki oleh perusahaan yang harus dikedepankan.

Halin Ardi – GAPKI

Jadi sebenarnya pola pembinaan koperasi ini sangat tergantung dengan pola kemitraan yang mereka lakukan. Jadi kalau pola kemitraan sejak mulai land clearing sampai menghasilkan memang itu dibina oleh perusahaan dikoordinasikan dengan dinas koperasi. Jadi hanya melakukan kegiatan-kegiatan itu yang terkait dengan fase-fase yang dilakukan dalam kemitraan itu. Jadi sebenarnya tidak mutlak, hanya permasalahannya lagi koperasi itu punya manajemen tersendiri. 

Jadi misalnya katakan nanti  hanya sampai begitu dia sudah lunas, itukan harus dikonversi kepada koperasi. Jadi koperasi yang melakukan penindakan jika sudah selesai, tapi kadang-kadang juga koperasi tidak mau melepaskan diri dari kemitraan itu sehingga hasil segala macam seperti SHU diatur oleh koperasi. Jadi kalau sebenarnya perusahaan yang membentuk koperasi itu iya betul, awal-awal pembentukan kelembagaan dan segala macam sampai dia berbadan hukum. 

Koperasi-koperasi yang ada sekarang itu sebagian besar sudah mandiri tetapi tetap dibina perusahaan terutama ketentuan-ketentuan yang harus diberlakukan di perusahaan itu mereka akan komitmen. Misalnya harus menampung hasil dan segala macam harga, tapi ada juga koperasi yang mengatur  masalah pembinaan dalam arti mengumpulkan TBS dan koperasi yang menyampaikan kepada pabrik. 

Yang sering terjadi itu adalah tanah yang diperoleh koperasi itu adalah tanggung jawab dari koperasi untuk membagi kepada anggotanya dan biasanya perusahaan tidak terlalu banyak melibatkan diri. Tapi kalau sudah mengganggu sistem yang berlaku di perusahaan itu maka akan ditindak, sekarang sudah mengarah kepada bagaimana membina koperasi untuk menyiapkan bukan hanya TBS tapi juga bahan pokok, BBM, dan segala macam bentuk unit-unit ekspansi yang lain transportasi dan segala macam. Sekali lagi sangat tergantung pembinaan koperasi ini oleh lembaga pemerintah yang ada. Kita tahu petani-petani atau masyarakat sekitar tentu tidak hanya urusan kelapa sawit tetapi kegiatan unit-unit kerja yang lain yang mensuplai apa yang dibutuhkan dari karyawan dari perusahaan itu.

Penutup

Ahmad Dhiaulhaq – KITLV

Terkait dengan beberapa tanggapan yg disampaikan bahwa kita mengakui karena keterbatasan dalam artian ini adalah kita membuat ini sesimpel dan sesingkat mungkin. Kami akui memang banyak hal yang belum kami masukan dalam policy brief ini.  Memang rencananya kami akan membuat policy brief tingkat nasional yang mungkin akan lebih melihat pola umum yang ada di 4 provinsi tadi. 

Saya sepakat juga bahwa mediasi bukan satu-satunya obat mujarab kelembagaan tadi, harus juga dilengkapi dengan mekanisme-mekanisme lain. Artinya kalau semua mekanisme yang ada ini; Pengadilan, RSPO di mediasi dan negosiasi ini kalau semuanya bisa berjalan baik akan bisa saling melengkapi. 

Ketika kita mengusulkan lembaga mediasi itu bukan untuk mengesampingkan mekanisme-mekanisme yang lain. Saya sepakat juga dengan bang Rivani tadi yang menyatakan tentang pentingnya penguatan keorganisasian masyarakat.  

Tadi yang belum kita sampaikan ada beberapa contoh kasus-kasus masyarakat cukup sukses ada beberapa faktor yang menurut saya perlu disampaikan salah satu faktor kunci utamanya adalah mereka memang kuat secara organisasi kelembagaan dan persatuan masyarakat sehingga mereka bisa bertahan cukup lama sampai konflik itu bisa diselesaikan.

Ward Berenschot – KITLV

Laporan ini ditulis dengan harapan juga agar kita bisa belajar dari kasus yang ada bagaimana mengatasi hambatannya supaya kita bisa menemukan titik masuk dan mulai untuk memperbaiki situasi. Itu sudah termasuk beberapa hal yang disebutkan disini oleh para penanggap juga termasuk kekuatan organisasi masyarakat, political will dan juga untuk memperkuatkan mekanisme penyelesaian konflik yang baru. Karena mekanisme yang ada sekarang tidak cukup efektif, harus ada upaya besar untuk pembentukan beberapa mekanisme penyelesaian konflik yang bisa berhasil dan efektif.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah – Dimas Novian Hartono

Terima kasih kepada semua yang hadir pada launching pada hari ini, kita semua berharap bagaimana riset yang dilakukan oleh kita semua baik itu melalui KITLV, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Barat, teman-teman dari Riau, Jambi, dan dari universitas Andalas, universitas Palangka Raya ini bisa menjadi sebuah bahan dan rekomendasi-rekomendasi guna melihat apa yang sudah dapat dilakukan kedepan dalam proses penyelesaian konflik dan seberapa efektif upaya-upaya penyelesaian konflik tersebut. Laporan ini mencoba menjawab meskipun jauh dari kata sempurna tentunya, tapi ini akan menjadi bahan yang bisa dipergunakan oleh semua pihak termasuk pemerintah sendiri yang akan mendorong Perda penyelesaian konflik tenurial di Kalimantan Tengah ke depan. Karena sepengetahuan kami DPRD sendiri akan mendorong proses penyelesaian penyusunan Perda terkait penyelesaian konflik itu di tahun depan dan sudah masuk di Bapemperda di provinsi Kalimantan Tengah.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *