
Sejak tahun 2005, WALHI telah mengenalkan kejahatan ekosida di Indonesia. WALHI kemudian mencoba untuk menguji konsep tersebut dalam kasus lingkungan hidup yang diadvokasi, yang dinilai memenuhi unsur ekosida. Kasus lumpur Lapindo menjadi satu tonggak dimana ekosida diuji melalui desakan kepada Komnas HAM. Sayangnya, kasus lumpur Lapindo dianggap belum memenuhi unsur kejahatan ekosida dan bukan dianggap sebagai kasus pelanggaran berat HAM, karena ekosida belum dikenal dalam instrumen hukum pengadilan HAM, yakni UU 26/2000. Pasca itu, wacana ini memang stagnan, karena selain WALHI, nyaris tidak ada NGO lain yang menyuarakan ekosida di Indonesia.
Dalam perjalanannya kemudian Eksekutif Nasional WALHI memandang bahwa wacana ini harus kembali dinaikkan, karena kita harus mampu menerobos instrumen hukum untuk bisa memutus rantai impunitas korporasi di satu sisi. Di sisi yang lain, kita semakin melihat bagaimana semakin besarnya dampak penghancuran lingkungan hidup yang dirasakan dan menempatkan lingkungan hidup dan rakyat lagi-lagi menjadi korban untuk kesekian kalinya. Terlebih hampir selalu kebijakan ekonomi dan pembangunan abai terhadap lingkungan hidup dan hak asasi manusia, dan bahkan semakin besar memfasilitasi investasi dengan beragam undang-undang baru seperti UU Minerba dan UU Omnibus Law Cilaka. UU ini menjadi legitimasi untuk menghancurkan lingkungan hidup dan mengorbankan keselamatan rakyat.
Eksekutif Nasional WALHI telah melakukan riset persepsi terhadap kejahatan ekosida dan korporasi di Indonesia. Riset yang dilaksanakan sejak bulan Mei – Oktober 2020 ini merupakan bagian dari upaya WALHI untuk terus mendorong wacana ekosida ke tengah publik dan pada akhirnya kemudian dapat menjadikan tekanan kepada pengurus negara untuk memutus impunitas korporasi, mengingat kejahatan lingkungan hidup yang tengah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, tidak bisa lagi dilihat sebagai kejahatan lingkungan hidup biasa dan menggunakan pendekatan penegakan hukum yang biasa dan business as usual.
Hasil dari riset ini akan menjadi masukan bagi WALHI di nasional dan daerah untuk merancang strategi advokasi kedepannya, antara lain bagaimana mengembangkan kampanye yang lebih luas untuk menjangkau publik dengan mendekatkan dampak ekosida ke tengah publik, melalui strategi komunikasi publik, juga bagaimana membangun jaringan strategi agar wacana ini mendapatkan dukungan yang besar, antara lain dukungan dari kelompok agama, organisasi kemasyarakatan, kelompok muda dan lain-lain.
WALHI Kalimantan Tengah bermaksud untuk menyampaikan hasil riset persepsi publik yang telah dilakukan oleh WALHI Nasional terhadap kejahatan ekosida ke tengah publik di Kalimantan Tengah secara khusus dengan harapan agar kejahatan lingkungan hidup (ekosida) sebagai pelanggaran berat HAM dapat menjadi gagasan yang diterima dan didukung oleh publik luas. Sehingga, pada akhirnya kekuatan publik dapat menjadi pressure group kepada negara untuk mengadopsi gagasan ini dalam instrumen hukum dan HAM, dan menjadi jalan untuk memutus impunitas korporasi.

Pembukaan
Dimas Novian Hartono – Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah
Pada periode 2005, WALHI telah menerbitkan buku yang berjudul “Ecocide: Politik Kejahatan Lingkungan dan Hak Asasi Manusia” untuk melakukan diskursus dan memberikan sebuah gambaran serta kecenderungan sebuah sistem eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan secara terus menerus hingga mengarah pada pemusnahan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan manusia yang terjadi di belahan dunia termasuk di Indonesia. Tahun 2019, WALHI kembali melakukan kajian-kajian kejahatan ekosida dan korporasi, sebuah kajian yang diperkuat dengan studi kasus yang diadvokasi dalam kurun waktu yang cukup panjang diantaranya kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah, kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, dan kasus pembangunan DAM Kota Panjang yang menenggelamkan desa dan habitat gajah.
Sebagai sebuah diskursus baru tentunya penting bagi kita untuk melihat sejauh mana kejahatan ekosida sebagai sebuah kejahatan kemanusiaan yang dipahami oleh publik luas. Diskursus kejahatan ekosida dan impunitas korporasi ini tidak mungkin didorong ke arah perubahan sistematis melalui kebijakan negara jika tidak ada tekanan dari publik hal-hal tersebut menjadi dasar bagi WALHI untuk melakukan riset persepsi publik terhadap kejahatan ekosida dan korporasi, riset ini dilakukan di tengah situasi pandemi covid 19 karenanya dengan pertimbangan dan keselamatan riset ini dilakukan secara daring dengan tetap berpegang pada metodologi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Paparan
Hasil Riset WALHI tentang Kejahatan Lingkungan Hidup (Ekosida) di Mata Publik

Khalisah Khalid – Koordinator Desk Politik WALHI Nasional
(Bersama Yuyun Harmono & Abdul Ghofur sebagai Tim Peneliti)
Kajian ini penting dilakukan. Pertama, terkait dengan kejahatan ekosida sendiri. Kejahatan ekosida sebenarnya bukan wacana baru di tingkat global, ini sebenarnya wacana yang sangat lama bahkan di Stockholm sebenarnya ini juga sudah dibahas, tetapi sebagaimana yang kita rasakan sampai saat ini, ketika kita masuk dalam ruang dimana kekuatan ekonomi diusik, maka hambatannya juga akan besar. Sebenarnya menurut kami ekosida buah dari kegagalan sistem ekonomi kapitalistik. Buahnya ekosida adalah bentuk dari kejahatan ekonomi kapitalisme.
Secara global ini sebenarnya adalah isu yang cukup lama disuarakan kawan-kawan, meskipun sebenarnya isu-isu lingkungan hidup itu justu masih keras disuarakan di badan HAM PBB bukan di organisasi lingkungan sendiri, misalnya ekosida itu diskursusnya ada di badan HAM bukan di UNEF. Ini juga kecenderungan global termasuk teman-teman di CSO termasuk WALHI yang salah satu dari Indonesia dari 3 organisasi yang mendorong dewan HAM memberikan pengakuan secara hukum bahwa hak atas lingkungan hidup yang bersih, aman dan berkelanjutan sebagai hak asasi manusia. Jadi diskursusnya lebih maju di dewan HAM dan dewan HAM sendiri punya spesial reposter untuk hak atas lingkungan hidup ini.
Sebenarnya dorongan untuk memasukan kejahatan ekosida sebagai kejahatan modern yang mengancam kehidupan manusia dan perdamaian manusia sebenarnya bukan hanya generasi hari ini tapi juga generasi yang akan datang, dan mendorong memasukannya sebagai kejahatan ke-5 di dunia yang bisa dibawa ke ICC – yang mengadili pidana-pidana kejahatan Internasional. Kita tahu di Rome Statute itu sudah memasukan 4 kejahatan Internasional ada kejahatan kemanusiaan-Genoside yang mungkin kita lebih familiar, kejahatan perang dan Agresi.
Di 2011 ada seorang lawyer di London, kemudian mencoba melakukan terobosan amandemen Statuta Roma dan mencoba memasukan ekosida sebagai kejahatan ke-5 yang bisa dibawa ke ICC, karena kita tahu kejahatan lingkungan ini semakin masif terjadi apalagi penguasa ekonomi dunia dikuasai oleh sebagian besar korporasi itu sebenarnya semakin menunjukan bahwa ini adalah kejahatan yang sistematis dan dampaknya begitu agak besar terjadi, sebenarnya diskursusnya memang dimulai dari setidaknya terjadi kembali itu di perang Vietnam tapi ini ingin didorong sebagai bukan masuk kedalam kejahatan perang, tapi memang kejahatan ekosida – kejahatan lingkungan yang sudah mengancam kehidupan dan perdamaian umat manusia. Polly Higgins mencoba mendorong itu diamandemen Rome Statute, sayangnya belum sempat kejadian beliau meninggal tahun 2019, bahkan sebenarnya ICC sendiri sudah sedikit merespon. ICC sendiri di tahun 2016 mengajak masyarakat global untuk mulai memberikan perhatian serius kepada konflik agraria dan kejahatan lingkungan, jadi sebenarnya ICC ini sudah membuka peluang itu dan artinya ini overtunity bagi gerakan di Global untuk bisa terus mendorong agenda ini ke tengah. Pertanyaannya adalah lalu bagaimana dengan di Indonesia? Diskursus ini di Indonesia seperti apa?
Sebenarnya apa yang terjadi di tingkat global itu kalau keseharian krisisnya, faktanya itu jelas dialami di Indonesia, kita bisa melihat fakta-fakta kejahatan lingkungannya di Indonesia itu secara kasat mata misalnya, Kalimantan Tengah sebagai satu contoh, kita bisa melihat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sejak 1997 setidaknya dan terus berulang dengan dampak yang luar biasa dan tidak dapat dipulihkan dan seterusnya, ini sebenarnya sudah menggambarkan situasi krisis yang diakibatkan dari kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh korporasi itu adalah fakta dan dampaknya dialami bahkan dampaknya meluas dan tidak bisa dipulihkan.
WALHI sendiri mencoba mendorong terus untuk menyuarakan ekosida dalam diskursus di tengah publik Indonesia. Memang kita dihadapkan pada kenyataan sulit untuk membawa kejahatan ekosida menjadi wacana publik atau wacana yang ada di pengambil kebijakan. Kita sudah memproduksi gagasan ini sajak 2004, kemudian 2005 menerbitkan bukunya dan kita mencoba mengujinya di kasus Lumpur Lapindo, sayangnya kasus Lumpur Lapindo kemudian diputuskan dalam paripurna Komnas HAM diputuskan bukan sebagai pelanggaran berat HAM karena tidak ditemukan terminologi kejahatan ekosida dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM jadi kita terbentuk dengan hukum yang formalistik jadi belum ada cantolannya sehingga kemudian tidak bisa disebut sebagai pelanggaran berat HAM, sebenarnya waktu itu ekspektasinya adalah kalau tidak ada normanya di dalam hukum itu di dalam kebijakan setidaknya bikinlah terobosan untuk bisa memberikan keadilan bagi korban dan keadilan bagi lingkungan itu sendiri. Sampai saat ini faktanya rentetan bencana ekologis, kejahatan lingkungan itu setiap hari terjadi tapi kemudian wacana ekosida sendiri masih belum membumi dan masih berkutat di sedikit aktivis hukum dan HAM bahkan untuk di organisasi lingkungan sendir baru WALHI yang mencoba mengusung kejahatan ekosida semoga ke depan gerakannya semakin kuat, karena itulah sebenarnya kita sudah melakukan mencoba mendorong ini menjadi diskursus publik sejak 2005 dan dan kita menguji lewat kasus-kasus terakhir buku yang kita terbitkan sebenarnya kita mencoba untuk berbasis pada kasus yang diadvokasi oleh WALHI secara langsung juga kasus besar karhutla, lumpur Lapindo dan pembangunan DAM Kota Panjang.
Kemudian kami ingin melihat dan menilai kalau ingin mengubah norma hukum yang ada di dalam UU No. 26 tahun 2000, maka dibutuhkan pressure group adalah masyarakat luas sebagai produk politik kalau tidak ada tekanan dari publik maka akan menjadi sangat sulit kecuali anggota DPRnya atau pemerintahannya mungkin punya keberpihakan, tapi sejak agenda reformasi dikorupsi, mosi tidak percaya, seperti apa kondisinya kita semua tahu, WALHI kemudian melakukan riset persepsi publik untuk melihat sejauh mana proses yang dibangun WALHI sejak 2005 sampai saat ini, bagaimana persepsi dan pengetahuan publik terhadap kejahatan ekosida.

Tujuan dari risetnya sendiri kita ingin mengetahui persepsi publik seperti apa? apakah publik juga tahu dengan aktor-aktor yang jadi penyebab utama dari kejahatan ekosida dan ingin tahu apa yang lebih mudah bisa ditangkap oleh publik dan kemudian pada akhirnya ini akan membantu kami untuk menyusun strategi komunikasi ke publik untuk memperluas diskursus ini agar tidak hanya ada di kepalanya aktivis HAM atau orang hukum tapi juga kita semua dan juga aktivis lingkungan sedikit.

Hipotesis kami bahwa kalau publik sudah cukup awear dengan kerusakan lingkungan, publik sudah mengerti bahwa ada relasi antara kerusakan lingkungan dan korporasi tapi publik belum cukup bisa memahami lebih jauh soal ekosida itu sendiri.

Metodologi yang digunakan dengan 2 pendekatan untuk bisa menggali data, yang pertama secara kualitatif kami melakukan diskusi terfokus dengan key opinion leaders dengan segmentasi perwakilan sosial dari berbagai segmen perwakilannnya mulai dari ahli kesehatan, praktisi komunikasi publik, jurnalis dari Pemred Tempo dan Mongabay, akademisi dan tokoh-tokoh agama dan organisasi kemasyarakatan; perwakilan dari Katolik, Muhammadiyah, NU, MUI, jugad dari Gusdurian, perwakilan dari ibu rumah tangga ada ibu Elda.

Metodologi yang kedua adalah dengan melakukan survey di 7 provinsi dan survey ini respondennya segmentif dan kami mengkhususkannya pada kelompok muda, kami ingin melihat sejauh mana pemahaman anak muda atau bagaimana persepsi anak muda terhadap kejahatan korporasi dan ekosida di Indonesia.

Ada 1.000 responden dari 7 provinsi diantaranya adalah Kalimantan Tengah. Pemilihan wilayah survey ini kamu juga membuat kriteria survey wilayahnya setidaknya yang mempresentatifkan keterwakilan region/ mempresentatifkan region.

Kemudian ada kasus –kasus kejahatan lingkungan yang terjadi di wilayah tersebut dan melibatkan korporasi baik Nasional maupun transnasional. Kemudian kasus-kasus lingkungan hidup itu sendiri diadvokasi oleh WALHI. Data respondennya profesional kami menggunakan data dari BPS dan respondennya dari Kalimantan Tengah itu ada 36 responden dengan pakai rumusannya, kami memilih rentan usia 16- 25 tahun yang dikategorikan sebagai gen Z. Kalimantan Tengah 36 %.

Kami juga menyampaikan bahwa dalam riset ini ada keterbatasan, yang pertama riset ini yang terutama survey dilakukan secara online karena situasi pandemi artinya kemaren juga banyak disorot terutama masyarakat yang menjadi korban sebagian besar ada di pedesaan responnya bahwa ini memang bias kota dan itu salah satu kelemahan atau keterbatasan dari survey yang kami lakukan. Selain survey dilakukan secara daring harusnya kami melanjutkan ini dengan kembali mempertajam kalau Litbangnya Kompas bilang “setidaknya mempertajam itu 30% dari responden dan ini akan jadi PR tentunya ke depan. Penyebaran kuisionernya melalui WALHI daerah dan kawan-kawan WALHI Daerah juga melakukan penyebarannya melalui jaringan-jaringan yang juga menggunakan berbagai platform media sosial atau Whatsapp Group dalam hal ini Kalimantan Tengah melalui WALHI Kalimantan Tengah.

Demografis respondennya 60% adalah perempuan dan 30%-nya laki-laki, 36 responden berasal dari kalimantan Tengah paling kecil dan terbesar adalah Jawa Timur dengan 490 responden. Ada 17 pertanyaan yang kami susun untuk mengetahui persepsi dan pengetahuan kami juga ingin melihat kira-kira perilaku responden seperti apa? Sebenarnya untuk melihat konsistensi apakah orang-orang yang mempunyai pengetahuan atau persepsi yang bagus itu perilakunya juga liner dengan ramah lingkungan dan seterusnya.


Temuannya di Kalimantan Tengah 73,4% responden menjawab sangat sering dan responden ini adalah orang-orang yang 73% sudah menerapkan perilaku yang peduli lingkungan atau ramah lingkungan, misalnya bawa tumbler, mengurangi sampah, gerakan menanam pohon dan seterusnya dan ini menurut saya adalah modal buat kita semua, bahwa 97% anak muda sudah menyatakan pernah membantu dan bersedia akan membantu jika terjadi bencana ekologis, baik menjadi relawan maupun yang mau melakukan donasi.

Di aspek persepsinya, menarik bahwa anak muda sebenarnya sudah tahu, sebagian besar anak muda angkanya di atas 85% bahkan anak muda di 7 provinsi sudah mengetahui bahwa persoalan lingkungan hidup itu persoalan struktural dan melibatkan korporasi sebagai kekuatan besarnya kemudian mereka juga sudah tahu, ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah dan kemudahan izin yang diberikan pemerintah termasuk mereka juga memahami bahwa hak atas lingkungan hidup itu adalah hak asasi manusia dan sebagian besar responden juga menilai kejahatan lingkungan yang dampaknya luas, sistematis, dan tidak bisa dipulihkan itu sebagai pelanggaran berat HAM dan yang sudah tahu ekosida itu angkanya lumayan besar karena sebagai sebuah diskursus baru tentu mengenal kata ekosida atau tahu saja ekosida buat kami di atas 50% itu sudah sangat bagus meskipun perlu didalami lebih lanjut pemahamannya.



Temuan kualitatifnya ternyata memang pesan-pesan yang muncul yang kuat itu adalah kejahatan lingkungan, ada hak lingkungan hidup dan hak atas lingkungan dan secara isu yang besar adalah kesehatan dan udara. Kesehatan masyarakat dan polusi udara adalah 2 isu yang bisa dikaitkan dengan kejahatan ekosida untuk menjejakkan wacana itu dalam fakta yang dialami oleh masyarakat.




Kesimpulannya, dari temuan survei anak muda di rentang usia 16-25 tahun yang dalam hal ini masuk dalam kategori “Z” sudah memiliki kepedulian dan pengetahuan yang cukup luas, terkait dengan kejahatan struktural lingkungan yang ada di 7 provinsi ini, jadi mereka sudah cukup tahu persoalan kejahatan lingkungan dan kejahatan struktural dan juga tahu soal kejahatan ekosida. ini memperkuat survey-survey sebelumnya misalnya anak muda yang sudah sadar dengan krisis iklim dan seterusnya terkait kebijakan negara itu memperkuat survey- survey sebelumnya juga sekaligus mematahkan asumsi selama ini bahwa anak muda tidak peduli, apatis dan tidak peduli dengan persoalan sosial dan ekologis.

Di Gerakan anak muda sebenarnya sudah menjadi gerakan yang global, gen “Z” ini satu fenomena yang menarik karena gen ‘Z” sudah dinilai memiliki kepedulian lingkungan dan sosial yang lebih besar dibanding dengan generasi sebelumnya dan di Indonesia sendiri sudah ditunjukan dengan beberapa bukti anak muda yang turun ke jalan yang secara langsung mengkritik kebijakan pemerintah misalnya Reformasi di korupsi, mosi tidak percaya yang digerakkan oleh anak muda dan sebenarnya ini memberikan pesan kepada pengurus negara dan orang yang lebih tua yang membuat kebijakan ini bahwa”anak muda kalau sudah bergerak itu sebenarnya berbahaya” dan ini menjadi satu kekuatan yang besar.

Sebenarnya untuk data Kalimantan Tengah sendiri, 92% sudah menerapkan perilaku ramah lingkungan –peduli lingkungan, 90% anak muda di Kalimantan Tengah setuju gugatan terhadap kejahatan korporasi. 100% anak muda di Kalimantan Tengah bersedia untuk menjadi relawan dan membantu terkait bencana –bencana ekologis dan kerusakan lingkungan, 95 % setuju dan sangat setuju memboikot produk korporasi yang merusak lingkungan- ini adalah gerakan-gerakan yang dilakukan oleh anak muda, 94-95% setuju memberikan sanksi hukum kepada korporasi baik pidana, perdata maupun pencabutan izin dan 100% anak muda di Kalimantan Tengah itu setuju warga melakukan gugatan hukum terhadap korporasi, 94% anak muda di Kalimantan Tengah menilai bahwa hak atas lingkungan adalah hak asasi manusia, 72% anak muda di Kalimantan Tengah tahu tentang ekosida. Ini hasil survei khusus di Kalimantan Tengah, jadi buat kami sendiri di WALHI bahwa di tengah situasi yang buram sebenarnya kita masih punya harapan yang cukup besar di anak-anak muda yang sebenarnya selama ini diasumsikan tidak peduli lingkungan dan ini ternyata menunjukan hal yang sebaliknya dan ini satu temuan yang menarik dan harapannya ini bisa kita bangun bagaimana mensinergikan gerakan anak muda dan gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
Tanggapan Para Penanggap
Pinarsita Juliana – Videografer Save Our Borneo
Buat saya ini isunya sangat menarik terutama perasa atau kata ekosida inikan sangat asing sekali bukan Cuma dikalangan masyarakat atau aktivis lingkungan kata ini tidak terlalu sering digunakan, kalau misalnya kita sering dengar karhutla, deforestasi, itu sering tapi kata ini memang jarang. Saya sendiri apresiasi dengan riset yang dilakukan teman-teman di WALHI hanya walaupun tadi memang sempat disampaikan ada beberapa kekurangan dari riset ini tapi saya mau coba sedikit highlight sebenarnya hasil riset ini menurut saya pribadi lebih ke arah masyarakat perkotaan atau urban, seperti yang dibilang tadi kekurangannya, kalau boleh sedikit menyarankan ke teman-teman periset, kalau memang keterbatasannya itu pada responden yang hanya di dapatkan di perkotaan mungkin bisa di spesifikan di judulnya mungkin “Persepsi Pada Urban Publik” karena buat saya sendiri karena saya sendiri hidup di ruler, sayangnya suara atau aspirasi orang-orang ruler belum tersampaikan dari hasil ini, saya lihat dan saya ada baca sebelumnya laporannya juga, kalau menurut saya sedikit bisa dibaca hasilnya karena kalau kita bilang masyarakat perkotaan ini sangat tidak asing buat mereka seperti bawa air minum, kemana-mana bawa botol air minum. Hal-hal seperti ini kalau saya sebagai anak muda di Kalimantan Tengah umumnya dilihat dari volunteer yang tergabung di kegiatan-kegiatan berkaitan dengan lingkungan, untuk secara umum bagi saya yang tinggal di Kalimantan tidak melihat hal-hal ini masih atau sudah membudaya di risetnya, kenapa saya juga menyampaikan hal yang sama juga untuk benar-benar menyasar teman-teman di ruler, seperti perwakilan orang-orang seperti saya karena menurut saya suatu riset itu akan menarik kalau background dari para respondennya ini juga bisa beragam.
Dan buat saya pribadi, ketika mendengarkan penjelasan tadi, ekosida ini sepertinya sejalur dengan genosida, karena kita tidak memungkiri bahwa awalnya mungkin ekosida tapi akhirnya bisa jadi ini ke genosida seperti contoh di Kalimantan Tengah atau di lembaga saya sendiri Save Our Borneo bersama WALHI juga melakukan pendampingan dengan teman-teman di masyarakat adat Kinipan saya bisa bilang ketika mendengarkan penjelasan tadi bahwa apa yang sedang terjadi di Kinipan saat ini itu ekosida dalam bentuk deforestasi, ketika ruang hidup mereka hilang, ketika sumber daya alam mereka juga hampir habis karena eksploitasi dari perkebunan kelapa sawit yang mana dari ekosida ini- deforestasi ini ujung-ujungnya bisa jadi kepunahan juga terhadap masyarakat adat dayak Kinipan jadi sebenarnya ekosida dan genosida itu menurut pemahaman saya pribadi adalah 2 hal ini tidak dapat dipisahkan ini menarik kalau kita bisa menarik dari ekosida yang menghasilkan genosida.
Terakhir sebagai masukan saya juga, saya berharap wacana atau pemahaman tentang ekosida ini tidak hanya di dorong pada kebijakan-kebijakan di pemerintahan tapi juga bisa menjadi bagian edukasi dan juga bisa dimasukan kedalam kurikulum di sekolah-sekolah, karena bisa kita lihat juga di respondennya itu usianya produktif dan gen Z usia 16-25 tahun ini yang mana ada pelajar dan mahasiswa dan kita lihat kalau sampai saat ini belum ada kurikulum di Indonesia yang berbasis ke lingkungan, padahal masalah yang selalu kita hadapi itu selalu berkaitan dengan lingkungan dan tidak pernah lepas dari lingkungan dan kalau kita bilang siapa orang yang paling merasakan dampak dari lingkungan itu adalah orang-orang di ruler atau orang yang grassroot levelnya. Anak perkotaan bisa saya bilang adalah mereka orang-orang terdampak tapi tidak terdampak langsung, yang terdampak adalah orang-orang di pedesaan di grassroot, jadi ketika pemahaman ini bisa setara tentang lingkungan, edukasi lingkungan terkait ekosida juga menurut saya tidak mustahil kalau ke depan akan lahir gerakan-gerakan lebih besar untuk mengkampanyekan ekosida. Kampanye edukasi dengan memasukan ini ke dalam kurikulum –kurikulum sekolah itu sangat penting sekali.
Mariaty A. Niun – Akademisi Universitas Muhammadiyah Palangka Raya
Tahun 2019 yang lalu, kebetulan sebagai kepala pelaksana penelitian mengenai ekosida di Kalimantan Tengah adalah saya terkait dengan kebakaran dan lahan, jadi karena pernah terlibat dalam penelitian tentang kebakaran hutan dan lahan dan kaitannya dengan ekosida, asumsinya di awal karen di penelitian itu kita berdebat tentang kriteria dan indikator untuk memperkuat unsur ekosida sehingga ketika mau memasukan ini menjadi kebijakan nasional bisa diterima secara ilmiah dan juga bisa diterima secara hukum. Bayangan saya ketika ada hasil riset tentang opini berkaitan dengan ekosida saya berharapnya kita akan membahas memperkuat indikator-indikator yang kita bangun sebelumnya tapi ini juga sangat menarik ketika kita ingin mengetahui pengetahuan anak muda 16-25 tahun usia responden, ini menarik juga mengetahui bahwa mereka juga sudah punya pengetahuan dan kepedulian yang besar terhadap isu lingkungan terutama ekosida, cuma saya menyayangkan kenapa di Kalteng hanya 36 responden, seharusnya ini bisa lebih banyak kalau ada misalnya kawan-kawan WALHI yang berkoordinasi dengan saya, saya bisa mewajibkan mahasiswa saya sebagai responden juga sehingga peserta yang dilibatkan bisa lebih banyak responden tidak hanya kemudian menjadi 36 responden jadi ke depan kalau ada seperti ini bisa melibatkan mahasiswa-mahasiswa saya mungkin mereka bisa berpartisipasi dalam mengisi kuesioner dalam penelitian berikutnya.
Terkait metodologi sedikit saya mempertanyakan untuk penelitian ini, di judul adalah “Kejahatan Korporasi dan Ekosida”, dalam tujuan penelitian saya melihat ada 4 tujuan penelitian yang dipaparkan mengetahui pandangan publik tentang ekosida, Pemahaman publik, juga untuk memahami isu lingkungan di keseharian publik dan menyusun strategi komunikasi. Apakah ke- 4 tujuan ini sudah berhasil ditemukan jawabannya di penelitian kawan-kawan? karena dari hasil tidak terlalu menjawab dari tujuan yang ingin dihasilkan dalam penelitian ini, misalnya saja berkaitan dengan strategi komunikasi di tujuan ke 4, saya tidak lihat di hasil penelitiannya kemudian memahami isu lingkungan keseharian publik juga saya tidak lihat di hasil penelitiannya, yang terbaca itu hanya tujuan ke-1 dan ke-2 yakni mengetahui pandangan dan juga pemahaman publik mengenai isu ekosida, yang muncul kemudian adalah aspek-aspek konsistensi, persepsi, perilaku dan pengetahuan tapi jawaban terhadap ke- 4 tujuan itu tidak sepenuhnya tergambarkan dari hasil penelitian.
Terkait dengan judul besarnya “ Kejahatan Korporasi dan Ekosida” itu juga menjadi pertanyaan apakah dar judul ini hasilnya akan terjawab bentuk kejahatan korporasi yang seperti apa? Apakah semua Korporasi itu sebagai pelaku kejahatan ekosida? Ketika kita melihat judulnya pertanyaannya berarti Korporasi sebagai pelaku kejahatan lingkungan dan bisa jadi masuk ke dalam kejahatan ekosida? Tapi kemudian korporasi seperti apa? apakah semua korporasi itu masuk ke dalam kategori penjahat lingkungan atau tidak? Ini yang kaitannya akan menjadi beban di judul penelitian ketika judul penelitiannya langsung mengejar korporasi tapi kemudian tidak tampak sangat jelas di hasil penelitian kemudian korporasi seperti apa? Kita mungkin tidak bisa mengkategorikan semua korporasi sebagai pelaku ketika kita tidak membangun indikator walaupun penelitian itu sudah kita coba lakukan sebelumnya tapi publik yang membaca hasil riset mungkin tidak terkoneksi dengan hasil penelitian sebelumnya sehingga ketika membaca ini jawaban-jawaban yang muncul ketika membaca judul itu tidak terjawab di hasil penelitiannya.
Terkait pertanyaan-pertanyaan yang dibangun dalam berbagai aspek tadi menurut saya juga terlalu menggiring opini karena pertanyaannya setuju atau tidak setuju, mungkin ada bentuk pertanyaan yang lain, bisa saja teman-teman tidak sepakat dengan hal itu, tapi saya berpendapat ini terlalu menggiring opini sehingga kemudian muncul kesimpulan yang bisa diprediksi soal kejahatan korporasi bahwa korporasi adalah penjahat terkait ekosida.
Tambahan, ini mungkin bisa menjadi ide bagus untuk strategi advokasi dari pertanyaan terakhir mengenai pengetahuan kerusakan lingkungan di publik yang menjadi responden itu kebanyakan mereka lebih banyak tahu kejahatan lingkungan melalui media sosial, jadi saya pikir instagram ,dll bisa menjadi alat advokasi yang sangat mujarab untuk mebangun pemaham publik berkaitan ekosida dan ini menjadi alat kawan-kawan WALHI untuk kampanye, dan lain sebagainya.
Dionisius Reynaldo Triwibowo – Jurnalis KOMPAS
Pada intinya dari sisi jurnasil, ekosida di mata publik karena respondennya banyak generasi Z milenial menganggapnya ini sebatas masih terjadi di film-film masih sebatas ekosida adalah sebuah kejahatan dengan menggunakan bahan kimia yang membunuh orang banyak, dsb dan ternyata yang cukup berhasil diungkapkan dari penelitian ini, menyangkut banyak hal dan sudah terjadi cukup lama dan penggunaan kata ekosida sejak tahun 1955 digunakan pada saat perang Amerika melawan Vietnam dan 19.000 ton sekian bahan kimia yang dilepaskan dan itu berdampak tidak hanya pada kerusakan lingkungan tapi juga pada perubahan genetika, artinya ekosida sudah terjadi tetapi belum diakui dan dipahami secara benar.
Dari sisi jurnalistik ini persoalan tidak lagi sekedar bahwa ada kerusakan lingkungan dan terjadi kejahatan lingkungan itu semata-mata hanya terjadi karena adanya kesalahpahaman atau kesadaran individu yang terbatas tetapi juga harus dipahami sebagai bentuk kebijakan yang salah, tindakan yang salah, apakah hal itu sudah benar-benar dipahami dan dilihat oleh publik? Dan itu yang bisa jawab teman-teman peneliti- WALHI dan yang membuat riset ini. Tetapi aku melihatnya persoalan kejahatan lingkungan orang akan sudah punya responnya masing-masing, anak muda punya respon nya masing-masing tetapi sayang karena banyak respon itu ada bermula ketika dampaknya sudah kelihatan, ketika ada kriminalisasi seperti pak Effendy Buhing atau kasus yang baru pak James watt di desa Penyang dan dengan cepat orang merespon tapi ketika saat pencaplokan lahan itu terjadi pada saat konflik agraria bermula masih belum banyak responnya, orang bahkan belum tahu padahal mungkin itu sudah ditulis oleh media –teman-teman jurnalis jauh sebelum orang-orang ini ditangkap atau dikriminalisasi, bahwa ini ada masalah yang akan berpotensi seperti ini dan gerakan-gerakan antisipatif itu sangat sulit dibentuk ketika dampaknya belum kelihatan, mereka belum percaya. Untuk menjawab ini akan banyak sekali karena banyak faktor yang mempengaruhinya, media sosial sendiri menjadi salah satu faktornya. Hati-hati ketika kita menuangkan ke media sosial ketika dia menjadi sebuah gerakan yang masif tapi tidak ada filter fakta dan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan dan para konglomerat pemilik media ini juga tidak punya tanggung jawab untuk itu jadi kita tidak bisa menyalahkan mereka jika ada hoax yang tercipta padahal itu juga akan berdampak kaitannya dengan ekosida bahkan genosida.
Jadi ini mau dibawa kemana? Apa yang akan dilakukan next-nya? Tidak hanya sekedar membentuk gerakan advokasi tetapi juga strategi komunikasi yang harus benar-benar di desain dan didiskusikan secara baik dengan cara yang paling santuy dan cara yang paling radikal sekalipun dan itu semua bisa digunakan, strategi itu juga perlu dilihat dan ujungnya pergerakan publik yang bisa melihat persoalan ini secara substansi sehingga pemerintah juga tergerak untuk melihat karena memang seharusnya kejahatan lingkungan itu juga bermula dari kebijakan, kebijakan dibuat oleh pemerintah untuk mensejahterakan, dsb, tetapi kalau masih berdampak oleh penderitaan berdampak pada kerusakan maka ada yang salah dari kebijakan itu. Bagaimana masyarakat bisa, bagaimana teman-teman dari NGO dan kita semua yang ada di forum ini benar-benar bisa membuat antisipasi sehingga sebelum kebijakan ini benar-benar harus diantisipasi.
Kita lihat juga Moment pandemi covid ini jadi momen banget bagi pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang sangat tidak pro lingkungan dan masyarakat. Undang-Undang Cipta Kerja dengan beragam positif dan negatifnya itu bertelur di massa covid dan itu jadi salah satu catatan kita juga termasuk saya dan semua jurnalis dan itu bisa kita bahas dan diskusikan lebih lanjut terkait media dan destruksi digital yang terjadi saat ini. Dari sisi jurnalistik negara belum melihat ini sebagai hal yang substantif, belum melihat ini sebagai masalah. Mereka punya berbagai macam instumen kebijakan, aturan, undang-undang bahkan pasal pasal dalam pidana dan perdata itu membahas printilan-printilan yang hanya ada di atas permukaan padahal persoalan ekosida ini begitu dalam memasuki ruang-ruang hidup atau sendi- sendi hidupnya manusia.
Tanggapan Khalisah Khalid
Pertama terimakasih banyak untuk para penaggap untuk melihat hasil riset ini dari berbagai aspek, pertama metodologi, dari sisi respondennya sebenarnya juga keterbatasan dari riset ini, juga secara jujur kami sampaikan memang ada keterbatasan dalam riset ini termasuk sebenarnya pilihan survey online ini memang berat dan kami menemukan kelemahan-kelemahannya, antara lain di respondennya yang bias perkotaan meskipun kami mencoba untuk melihat dalam 2 metodologi selain survey yang memang kami mau segmentif dan proposonal itu juga kenapa 36 Kalimantan Tengah bukan karena WALHI Kalteng hanya bisa menjangkau 36 saja tapi dari rumus –segmentif proporsional kami menggunakan data BPS di Kalimantan Tengah ada berapa anak muda usia 16 -25 tahun kemudian dibagi dan hasilnya 36 orang yang terbanyak adalah Jawa Timur, populasi Jawa Timur sendiri cukup besar dan populasi anak mudanya juga lebih besar jadi untuk yang proporsional bisa dipertanggung jawabkan secara metodologi, kedepan mungkin Kalteng mau bikin riset sendiri khusus itu bisa mungkin juga kita bisa pertajam dengan masukan-masukan baik oleh ka Iyut dan Pinar saya kira ini memang harus dipertajam terutama bagaimana responden dari ruler dan dari ruler sendiri kami mendapatkan banyak data dari perwakilan ibu Elda dari Kalimantan Tengah jadi ada 2 perwakilan dari ibu rumah tangga ini yang sebenarnya kami juga ingin tahu bagaimana persepsi dari ibu rumah tangga dan si opinion leader termasuk tokoh agama.
Ini akan jadi input buat kami untuk merapikan kembali hasil riset ini misalnya tadi belum secara eksplisit terkait dengan tujuan dari penelitian itu disampaikan, misalnya terkait dengan isu apa yang dekat, sebenarnya yang kami highlight dari isu yang dekat itu ada 2 yang bisa mendekatkan. Ekosida itu supaya tidak mengawang-awang dan hanya menjadi wacana ada kebutuhan yang mendekatkannya pada isu-isu yang dianggap keseharian oleh publik atau jadi commen isu yang kami dapat adalah kesehatan masyarakat dan polusi udara, jadi kami berharap ke depan bicara strategi komunikasinya mungkin bisa menjelaskan ekosdia itu pintu masuknya dari 2 isu tadi kesehatan dan ekosida, misalnya di Kalimantan tengah yang terjadi kebakaran publik akan umu di luar Kalimantan Tengah akan terbangun solidaritasnya ketika yang disentuh soal kesehatan termasuk yang berakibat pada kematian dan polusi udara karena dalam riset kami pesan itulah yang paling kuat muncul, baik di perkotaan maupun pedesaan. Apalagi misalnya kalau mau belajar dari kasus CLSnya Kalteng hal yang sama juga dilakukan CLS di Jakarta, kami juga sedang melakukan CLS terkait pencemaran- polusi udara di Jakarta. Jadi sebenarnya polusi udara adalah 2 isu yang ternyata menurut publik dalam hal ini adalah polusi udara dan kesehatan masyarakat dan dalam penulisan laporannya tidak dituliskan secara eksplisit, good point inputnya dan ini akan kami masukkan dalam laporan.
Terkait kejahatan korporasi dan ekosida, sebenarnya dalam isu hak asasi manusia tanggung jawab HAM itu ada di negara, saat ini sudah berkembang terkait tanggung jawab korporasi terkait hak asasi manusia sehingga ada inisiatif mendorong tanggung jawab korporasi di bisnis dan HAM, bagaimana memastikan itu berjalan dan itu juga sejalan dengan agenda di PBB sendiri sedang mendorong korporasi bukan hanya pemenuhan penghormatan terhadap hak asasi manusianya tidak hanya voluentery seperti yang ada UNDP terkait bisnis dan HAM sekarang sudah ada tapi masih voluentery sekarang sedang disusun untuk menjadi kewajiban atau obligasi – legal banding sifatnya juga sedang didorong korporasi bertanggung jawab terhadap hak asasi manusia dan sedang sejalan bersamaan dan tentu korporasi seperti apa dalam hal ekosida tentu saja yang melakukan kejahatan lingkungan. Tapi kejahatan lingkungan seperti apa yang bisa dikategorikan sebagai kejahatan ekosida yang ini yang menjadi debat yang cukup alot, karena memang kalau mengacu pada instrumen nasional kita ada undang-undang 26/2000 itu setidaknya ada 3 unsur yang harus dipenuhi; terencana, sistematis, meluas. Dalam kasus Lapindo misalnya tidak bisa dibuktikan unsur terencananya, karena kebijakan negara tidak ada yang menyatakan bikin sawit untuk bakar hutan- tidak ada, orang bikin sawit untuk kesejahteraan rakyat, untuk pendapatan negara, jadi tidak bisa dipenuhi unsur terencananya. Meskipun sebenarnya Polihogins sendiri ketika mendorong amademen statuta Roma unsur yang digunakan HAMnya lebih besar dari pada unsur dampaknya yang meluas dan sudah mengancam kehidupan dan kedamaian warganya, mungkin sulit banget kejahatan lingkungan bisa membuktikan unsur terencananya karena hampir semua kebijakan bunyinya untuk kesejahteraan tidak ada untuk kesengsaraan rakyat Kalimantan Tengah.
Unsur-unsur tadi setelah dianalisis itu bisa terpenuhi dari kasus Karhutla, sudah terpenuhi unsur meanstreanya- unsur terencananya dari mana? menurut ahli itu bisa di dapat atau dipenuhi unsurnya dari perizinan yang diberikan sudah bisa kita sebut sebagai unsur terencana, kemudian tindakannya ada – pembakaran dan dampaknya masif, jadi dalam kasus Karhutla justru dapat dibuktikan atau dapat terpenuhi unsur-unsur yang kita sebut sebagai kejahatan ekosida.
Untuk Pinar, setuju banget kita bisa menghubungkannya dan genoside sudah lebih dulu diakui sebagai kejahatan Internasional yang bisa disidangkan di ICC, sebenarnya penghancuran lingkungan dampaknya bahkan sampai kematian atau mengancam generasi yang akan datang atau penghancuran sosial budaya dan ketika satu hutan dirusak dan dihancurkan kebudayaan hilang itu sebenarnya identitas itu hilang atau bahkan kalau hutan adatnya tidak ada maka tidak bisa lagi disebut sebagai masyarakat adat karena ikatan hidupnya justru di hutan adat itu. Mungkin itu yang bisa diperkuat relasinya.
Tanya Jawab
Dari sudut pandang Jurnalis, bagaimana Anda menyakinkan para pembaca tulisan Anda untuk sadar bahwa kejahatan lingkungan hidup memang benar terjadi dan harus ditangani pada kenyataannya masih banyak pihak yang memutar balikan fakta bahkan bukti-bukti foto yang disertakan dalam tulisan pun dikatakan hoax? Modernisasi dan pembangunan yang harus terstruktur tanpa merusak lingkungan selalu diangkat menjadi topik tulisan oleh para jurnalis di sisi lain kita juga tahu kalau ingin membangun sesuatu pasti ada wilayah dan berbagai macam hal yang harus dikorbankan dalam hal ini berarti hutan dibabat atau deforestasi dan banyak masyarakat adat hilang mata pencaharian bahkan kehidupannya.
Dionisius Reynaldo T.
Harus dipahami dulu, Jurnalis harus punya sikap, jurnalis ga boleh netral, dalam prinsip-prinsip jurnalisme itu voicing the voiceless jadi jurnalis manapun dengan latar media manapun tetap harus punya sikap terhadap mereka yang menderita yang termarjinalkan, mereka yang selama ini menjadi dampak dari pada kebijakan-kebijakan yang bodong itu kebijakan-kebijakan yang selama ini menimbulkan kerusakan-kerusakan lingkungan itu, sehingga mereka bisa menyajikan informasi dan fakta-fakta yang jujur, ini yang sangat bisa diskusi dan debatebel jadi dampak dari destruksi media itu kena juga, sangat menyasar pada industri pers saat ini, kita melihat bagaimana orang memuja-muja media sosial dibanding literal tradisional. Jurnalisme abad 20 sekarang dengan adanya media sosial luluh- lantak dan banyak koran-koran yang tutup tapi masih banyak juga yang bertahan salah satunya Kompas. Dengan literal tradisional yang dimana orang dulu dengan membeli koran untuk mendapatkan informasi-informasi terpercaya gara-gara destruksi digital pun dengan mudahnya mereka bisa menerima informasi-informasi dan fakta yang tidak bisa dipertanggung jawabkan di media sosial. Ini yang masih debatebel sampai sekarang karena mereka orang yang memuat informasi atau konten dalam media sosial sangat sulit mempertanggung jawabkan itu meskipun sekarang sudah ada undang-undang IT yang mana peraturan ini memuat pasal-pasal yang tapi pada intinya informasi yang jujur, fakta yang jujur yang harus ditampilkan juga bagaimana seorang jurnalis bisa bersikap, jurnalis harus bisa membangun gerakannya sendiri untuk bisa berada di jalan yang benar.
Sekarang banyak sekali konglomerat media adalah pengusaha kaya yang tidak jarang masuk ke sendi –sendi politik bahkan masuk dalam kepemerintahan yang punya media yang kemudian medianya digunakan untuk mengantisipasi atau menyebarkan propaganda -propaganda yang berdasarkan kepentingannya masing-masing, jadi kalau jurnalis tidak punya sikap, maka sulit, disaat-saat seperti ini saat hancur-hancurnya orang untuk mendapatkan informasi yang tersaji seperti 20-30 tahun lalu, itu sebenarnya moment jurnalis punya peran yang sangat penting untuk bisa membawa situasi seperti ini, itu benar-benar menunjukkan yang sebenarnya meskipun jauh lebih dekat dengan kebenaran itu perannya ada di jurnalis, jika tidak punya seakan akan sangat sulit.
Bagaimana dampak eskosida terhadap sistem kehidupan ekonomi dan politik orang dayak di Kalimantan Tengah?
Mariaty A. Niun
Pertanyaan ini terkait dengan bagaimana dampak kejahatan lingkungan terutama ekosida terhadap politik, sosial dan ekonomi masyarakat Kalimantan Tengah. Terhadap ekonomi bisa dilihat misalnya jalur penerbangan yang tidak bisa dilakukan karena kabut asap lalu ada beberapa pihak yang tidak bisa bekerja karena sakit ISPA, dsb, dampak kesehatan itukan dampak sosial juga, kemudian beberapa hal; transportasi, industri-industri pasti terdampak dengan kegiatan kejahatan lingkungan terutama akibat kebakaran.
Dampak terhadap sosial masyarakat misalnya kaitannya dengan masyarakat ada bagaimana? akibat kebakaran besar tahun 2015 yang lalu keluarlah kemudian peraturan gubernur yang melarang pembakaran lahan untuk proses perladangan, kebijakan ini dampaknya sangat besar karena ketika masyarakat adat tidak bisa melakukan perladangan lagi, ketahanan pangan mereka terganggu. Masyarakat adat itu proses berladangnya identik dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna sakral ada ritual dsb, itu juga menjadi salah satu poin dari identitas masyarakat adat dalam proses berladang. Ketika mereka tidak boleh membakar otomatis tidak berladang secara identitas juga mereka akan dipertanyakan soal identitas masyarakat adatnya belum dikaitkan dengan ritual yang lain, dikaitkan dengan kawasan-kawasan yang selama ini dilindungi masyarakat kemudian terganggu, terbakar itu dampaknya sosial ekonominya sangat panjang, sebenarnya itu bisa tergambar dari situ, dampak kesehatan, dampak ekonomi bisa dihitung akibat kebakaran hutan dan lahan berapa penerbangan yang terganggu, berapa jumlah pengunjung pada sebuah hotel atau restoran ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Pinarsita Juliana
Secara garis besar sudah diperjelas dan secara umum tidak hanya kabut asap kalau bicara tentang ekosida termasuk deforestasi yang terjadi di Kalimantan secara masif juga, hal yang paling sangat terlihat itu adalah kita kehilangan ruang hidup dan mata pencaharian karena sebagai masyarakat dayak kita tidak bisa terlepas dari hutan karena hutan itu seperti supermarket hidup dan sampai kapanpun melekat di orang-orang dayak, jadi dengan adanya ekosida itu pasti akan mata pencaharian masyarakat adat dan terus juga ruang hidup yang semakin sempit, seperti yang saya bilang tadi ketika ada ekosida ada genosida artinya ketika sumber daya ini hancur, ruang hidup tidak ada maka ada kepunahan juga di situ, kepunahan dari masyarakat adat itu sendiri, jadi dampaknya ini besar sekali, sosial, ekonomi, politik semua ada di situ. Ketika ruang hidup hilang, mata pencaharian hilang semua sektor pasti akan terdampak politik, ekonomi dan sosial dan artinya juga itu sangat berdampak pada penerbangan tahun 2015 artinya tidak akan ada aktivitas apapun apabila semua sektor transportasi juga tidak ada di Kalimantan Tengah karena kejadian kabut asap, sama halnya dengan deforestasi juga tidak akan ada aktivitas apapun di dalam hutan oleh masyarakat adat karena hutannya tidak ada, jadi ekosida artinya sama dengan genosida membunuh semua sektor juga
Apakah urgensi penetapan ekosida sebagai kebijakan Nasional yang diatur atau ditetapkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan? Bagaimana kriteria korporasi yang melakukan ekosida dalam kasus Kinipan?
Khalisah Khalid
Apa urgensi penetapan ekosida dalam norma hukum di Indonesia? Buat kami itu sangat penting karena praktek kejahatan lingkungan hidup terutama yang dilakukan korporasi dengan dukungan negara dalam hal ini dampaknya sudah segitu masif, praktek kejahatannya secara terbuka dilakukan dan dampaknya juga sudah sangat masif bahkan berujung pada kematian, Kompas dengan sangat baik menulis “Asap dan Generasi yang Akan Hilang dalam Kabut Asap” dan generasi kedepan akan terancam dengan semua praktek kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi dengan dukungan negara. Kami sudah meyakini bahwa kejahatan biasa yang penerapan hukumnya melalui misalnya sanksi administrasi saja, atau lain-lainnya tapi dia kejahatan luar bias –extraordinary crimes dan kami berharap sebenarnya penjahat lingkungan ini telah melakukan kejahatan ekosida bisa diadili di pengadilan HAM, ada UU 26/2000 tentang pengadilan HAM tapi memang dalam UU ini belum mengakui /mengakomodasi ekosida sebagai bentuk pelanggaran HAM baru 2 yang diakui di sana yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan dan untuk kasus pelanggaran berat HAM masa lalu sampai sekarang tidak bisa juga, tapi dorongan kami urgensinya memasukan ini karena prakteknya sudah begitu masif, kejahatannya sudah begitu masif, dampaknya sudah sangat berat dialami oleh masyarakat yang menjadi korban.
Untuk kasus Kinipan, karena ini sebuah diskursus yang harus kita uji apakah sebuah kasus itu bisa kita masukan sebagai kategori kejahatan ekosida. Apa unsur-unsur yang harus dipenuhi kalau mengacunya pakai norma hukum yang ada dalam undang-undang 26, antara lain untuk melihatnya; terencana, sistematis, dan berdampak luas. Untuk kasus Kinipan apakah sudah memenuhi 3 unsur itu? jika sudah artinya kita bisa mengatakan bahwa ini adalah pelanggaran berat HAM atau kejahatan ekosida.
Saya mengajak kita semua untuk mulai menganalisis lebih jauh sebagai pelanggaran HAM tentunya tapi sebagai pelanggaran berat HAM ada unsur-unsur yang harus dipenuhi, meskipun kalau kita mengacu pada Polly Higgins, “Porsi kuatnya adalah unsurnya di dampak buka tindakan terencananya” sebenarnya kita juga bisa melihat unsur terencana itu pada perijinan dan jika kita sudah yakin bahwa terpenuhi semua unsur-unsur itu kita bisa mengatakan itu sebagai kejahatan ekosida. Praktek penghancuran terhadap hutan adat Kinipan adalah praktek kejahatan ekosida karena memenuhi unsur terencana, sistematis, dan dampaknya yang meluas tadi,bahkan akan mengancam masyarakat dengan kejahatan genosida, masyarakat adat Kinipan akan punah kalau hutannya dihancurkan.
Penutup
Khalisah Khalid
Riset ini sebenarnya punya tujuan dan riset ini bagian dari ikhtiarnya WALHI untuk bisa memastikan terlindunginya hak warga negara dari serangan pihak ketiga dalam hal ini korporasi yang difasilitasi oleh negara yang berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia bahkan lingkungan hidup itu sendiri juga punya hak. Kami berharap ini akan terus diperluas jadi wacana kejahatan ekosida dan korporasi tidak hanya ada di kepala saya, teman-teman WALHI Kalimantan Tengah, aktivis HAM tapi juga publik yang lebih luas. Dulu WALHI pernah punya pengalaman, mengeluarkan wacana moratorium setelah 15 tahun kemudian baru diakomodasi oleh negara, kemudian kita punya inpres moratorium, juga ada Oligarki misalnya 6 tahun lalu belum dikenal tapi saat ini kita cukup familiar dan tentunya kita berharap ini ga berhenti sampai di sini tapi bisa menjadi pemandu kita untuk merumuskan strategi advokasi ke depan khususnya untuk pengambil kebijakan negara dalam hal ini pemerintah yang memiliki tanggung jawab atau sebagai pemangku hak asasi manusia dan memutus impunitas korporasi.
Mariaty A. Niun
Saya ingin menyerukan kepada kawan-kawan WALHI untuk isu ekosida memang harus selalu terus disuarakan, supaya lebih familiar dan saya mendukung upaya ekosida bisa didorong menjadi kebijakan publik yang bisa diakomodir menjadi undang-undang karena ada isu bahwa UU 26 tentang HAM itu akan direvisi jadi siapa tahu ada peluang ekosida bisa menjadi bagian dalam unsur yang bisa dimasukan dalam undang-undang 26 dengan versi yang baru. saya mendukung upaya yang dilakukan kawan-kawan WALHI dan apapun yang bisa saya bantu bisa dikomunikasikan dan menambahkan terkait unsur-unsur tadi, akan menjadi diskusi yang bagus ketika ini bisa dibuka lagi wacananya untuk mempertajam unsur-unsur tadi yang disampaikan; terencana, sistematis dan meluas dan salut untuk kawan-kawan WALHI tetap semangat dan tetap sehat.
Pinarsita Juliana
Apresiasi sekali lagi untuk teman-teman WALHI buat risetnya setidaknya dari riset ini kita tahu bahwa ekosida saat ini benar-benar terjadi terutama di Kalimantan Tengah itu sudah berlangsung lebih mengerikan lagi, kita bisa bayangkan tahun yang akan datang seperti apa, makanya buat saya pribadi ingin mengajak anak-anak muda untuk lebih awear lagi dalam artian apabila kalau kamu sudah melakukan kehidupan greenlife dan bisa turut serta mengkampanyekan isu –isu tentang ekosida ini karena anak-anak muda itu lebih sering menggunakan media sosial, manfaatkanlah media sosial ini untuk mengkampanyekan isu-isu ekosida, isu-isu yang saat ini terkait lingkungan di daerah kita masing-masing terutama di Kalimantan tengah, awear saja tidak cukup perlu ada tindakan untuk menyadarkan lebih banyak orang untuk sama-sama bertindak berjuang menyelamatkan lingkungan yang saat ini sedang dalam keadaan krisis.
Dionisius Reynaldo T.
Semoga riset ini tidak selesai sampai di sini,betul-betul menjadi sebuah gerakan dan ada strategi-strategi baru kedepannya dalam memberikan pemahaman terkait kerusakan lingkungan, kejahatan lingkungan dan kejahatan ekosida itu sendiri, bagi saya yang paling penting pesannya benar-benar bisa tersampaikan dengan baik dan bisa membuat dampak positif untuk masyarakat dan lingkungan saya berharap ekosida tidak sekedar menjadi bahan penelitian habis di riset kita selesai webinar ini terpendam di kepala tapi benar-benar bisa tersampaikan pesan-pesan yang ingin diberikan teman-teman semua.
Dimas Novian Hartono
Meskipun ini masih proses temuan awal dan perlu mendalami yang lebih jauh lagi, apakah pengetahuan yang didapat sudah sampai pada pengetahuan kejahatan ekosida yang komprehensif seperti unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai sebuah kejahatan lingkungan hidup. Namun, saat ini memang sudah mengetahui dan mengenal kata ekosida maupun ekosida sebagai diskursus baru dan temuan ini bisa memberikan sebuah gambaran bagaimana upaya yang harus dilakukan agar wacana kejahatan lingkungan hidup sebagai pelanggaran berat HAM dan harapannya ke depan ini bukan sebagai sebuah wacana ini bisa menjadi sebuah kekuatan bersama mendorong masuknya kejahatan ekosida sebagai pelanggaran berat HAM dalam instrumen hukum di Indonesia dan instrumen HAM di Indonesia.