STOP Pengembangan Food Estate di Kalimantan Tengah, Serahkan Urusan Pangan Pada Petani!
Palangka Raya, 22 April 2021. Memperingati Hari Bumi Sedunia, Walhi Kalimantan Tengah bersama Pantau Gambut menyerukan penyelamatan lingkungan Kalimantan Tengah dari potensi kerusakan yang akan ditimbulkan oleh program Food Estate.
Walhi Kalimantan Tengah dan Pantau Gambut mendesak Pemerintah untuk menghentikan Program Penyediaan Pangan Nasional (Food Estate) di Kalimantan Tengah yang telah dimulai sejak akhir tahun 2020.
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) memperingatkan dunia akan ancaman krisis pangan global sebagai dampak dari pandemi coronavirus disease (COVID-19). Peringatan FAO tersebut dijadikan alasan oleh Pemerintah Joko Widodo untuk mengeluarkan kebijakan pangan Food Estate.
Program Food Estate yang terus dijalankan Pemerintah di tengah gelombang kritik dan protes dari berbagai kalangan harus dilihat dari berbagai perspektif dan aspek. Walhi Kalimantan Tengah dan Pantau Gambut dalam kajian atas proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, “Food Estate, Menakar Politik Pangan Indonesia”, menyoroti kebijakan tersebut secara lebih utuh dan komprehensif dari berbagai aspek, baik aspek hukum, lingkungan hidup, ekonomi, politik, serta perspektif masyarakat terdampak langsung di Kabupaten Pulau Pisau dan Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.
Kajian terkait aspek hukum yang telah dilakukan mencatat indikasi pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh Pemerintah untuk memuluskan program Food Estate, yakni pengabaian atas asas-asas umum pemerintahan yang baik, antara lain tidak memberikan kesempatan kepada warga masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum pembuatan keputusan (Pasal 7 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan), serta bertentangan dengan Asas Kepastian Hukum, Asas Kecermatan, Asas Tidak Menyalahgunakan Wewenang, dan Asas Keterbukaan (Pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Proses awal pengembangan program Food Estate di Kalimantan Tengah tidak didukung dengan adanya dasar hukum. Pijakan hukumnya baru dibuat kemudian melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 109 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Kajian Lingkungan Hidup Strategi (KLHS) cepat atas Food Estate yang dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya aturan terkait partisipasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 tahun 2016 tentang Tata cara penyelenggaraan KLHS dan asas keterbukaan. Ditambah lagi adanya pelibatan militer dalam pelaksanaan program Food Estate merupakan bentuk militerisasi pertanian dan menyalahi semangat reformasi sektor keamanan.
Menurut Oriz Anugerah Putra, Peneliti Pantau Gambut, Program food estate menabrak banyak aturan, “Sejak awal pengembangannya, program food estate ini telah melanggar sejumlah asas-asas umum pemerintahan yang baik. Kami khawatir jika terus dilanjutkan, pelanggaran yang lebih buruk seperti misalnya pelanggaran HAM akan terjadi.”
Program pengembangan pangan yang mencita-citakan kedaulatan pangan ini, selain tidak memberikan kepastian hak tenurial (hak mengakses dan hak pakai untuk mengelola eksklusi, dan mengalihkan sumber daya kolektif, khususnya hutan (Schlager dan Ostrom: 1992)), justru tidak didukung oleh partisipasi bermakna dari masyarakat lokal, khususnya petani, yang hidup di wilayah lokasi target pengembangan program Food Estate. Hasil penelusuran yang dilakukan menemukan fakta bahwa sosialisasi mengenai program Food Estate tidak merata di masyarakat.
Bayu Herinata, Koordinator Kajian WALHI Kalimantan Tengah, mengatakan, “Dari tinjauan kami di lapangan, sosialisasi proyek yang dilakukan Pemerintah tidak merata. Sejumlah perangkat desa dan tokoh masyarakat di Desa Mantangai Hulu dan Desa Bentuk Jaya mengaku tidak banyak informasi yang mereka dapatkan. Masyarakat di Desa Bentuk Jaya malahan baru mengetahui jika desa mereka masuk sebagai lokasi food estate ketika Presiden berkunjung bulan Juli lalu.”
Kebijakan politik pangan tidak hanya berimplikasi pada sektor pertanian saja, tetapi juga ada implikasi lain yang tidak bisa dipisahkan. Kebijakan pangan sangat berpengaruh terhadap lingkungan hidup, yang dapat kita lihat dari pengalaman revolusi hijau dimana penggunaan pestisida untuk mendorong produktivitas pangan, berdampak pada pencemaran dan kesehatan masyarakat. Seperti, program ketahanan pangan yang lebih dulu dijalankan dan menghadapi kegagalan total, yakni Pengembangan Lahan Gambut (PLG) satu juta hektar (1995-1999), telah mendatangkan kerusakan masif dan sistematis terhadap ekosistem lingkungan, khususnya lahan gambut di Kalimantan Tengah. Bencana ekologis asap terjadi setiap tahun dan telah berdampak pada kualitas kesehatan warga, bahkan sampai pada kematian.
Terkait hal ini, Safrudin Mahendra, Direktur Save Our Borneo, berpendapat, “PSN Food Estate ini justru menambah rumit keadaan dan kehidupan masyarakat di Kalteng. Padahal, saat ini Kalteng sedang menghadapi masalah kerusakan alam dan pelanggaran hak asasi manusia yang serius akibat eksistensi industri ekstraktif yang bersifat eksploitatif dan dengan pola transmigrasinya. Pada akhirnya yang harus dijawab adalah untuk kepentingan siapa sebenarnya proyek pembangunan itu dilakukan, dan siapa yang nantinya diuntungkan.”
Hasil kajian dan investigasi yang telah dilakukan oleh Walhi Kalimantan Tengah dan Pantau Gambut sampai pada kesimpulan bahwa Program Penyediaan Pangan Nasional tersebut dijalankan bukan atas kepentingan petani atau peladang, khususnya di wilayah Kabupaten Pulau Pisau dan Kabupaten Kapuas, melainkan industri pangan dan elit ekonomi dan politik. Dengan menyerahkan pemenuhan pangan pada skema industri, Pemerintah telah membuat petani menjadi ketergantungan pada sarana produksi pertanian yang dikuasai oleh pemodal.
Dimas N. Hartono, WALHI Kalimantan Tengah, menjelaskan, “Pemerintah mengabaikan persoalan utama di sektor pertanian dimana hingga hari ini kebijakan Pemerintah belum mampu menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan. Padahal masalah utama dari produktivitas pertanian dan kesejahteraan petani adalah sempitnya area lahan pertanian, bahkan banyak petani yang tidak memiliki tanah dan berakhir menjadi buruh tani. Disisi lain, banyak lahan masyarakat justru dialihfungsikan untuk infrastruktur, bandara, dan sektor perizinan lainnya yang akhirnya menghilangkan hak-hak mereka atas tanah.”
###
Narahubung:
- Bayu Herinata – WALHI Kalimantan Tengah (0822 5511 5115)
- Safrudin Mahendra – Save Our Borneo (0811 5220 289)
- Oriz Anugerah Putra – Pantau Gambut (0857 8766 6369)