FOOD ESTATE SOLUSI PALSU KETAHANAN PANGAN 

Palangka Raya, Sabtu 22 April 2023 – Dalam memperingati momentum Hari Bumi yang jatuh pada 22 April Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Tengah melakukan aksi di lokasi food estate lahan ekstensifikasi desa Mantangai Hulu. WALHI Kalteng mendesak agar pemerintah pusat maupun daerah menghentikan proyek food estate karena tidak menjawab kebutuhan dan tantangan pemenuhan pangan masyarakat. Proyek ini justru hanya akan memperparah krisis ekologis di kalimantan tengah karena merubah fungsi ekositem hutan dan gambut menjadi lahan pertanian monokultur. 

Sebelum dilaksanakannya proyek food estate di Kalimantan Tengah, WALHI Kalteng bersama dengan ratusan organisasi masyarakat sipil  dan individu, telah menyatakan sikap menolak terhadap proyek ini. Penolakan tersebut didasari karena koalisi menilai pemerintah tidak belajar dari kegagalan masa lalu terkait proyek pengembangan pangan yang di paksakan dilakukan tanpa dasar  hukum dan aturan yang jelas serta perencanaan proyek dan kajian terkait dampak lingkungan / kesesuaian lahan. 

Sejak berjalan nya proyek ini banyak kendala yang dihadapi petani dilahan intensifikasi dan khusus nya petani lahan ekstensifikasi, salah satu nya petani lokal dari Desa Mantangai Hulu. 

Norhadi mengatakan “pemerintah harus memang betul-betul memperhatikan masyarakat petani lokal, yang memang berprofesi sebagai petani ladang, agar lahan food estate ini betul-betul ditindaklanjuti sehingga bisa memberi manfaat buat masyarakat”. 

“Pemerintah jangan hanya memandang sebelah mata, perlakukanlah dengan baik masyarakat petani ladang ini, layaknya pemerintah memperhatikan petani-petani transmigrasi, beri bantuan hingga lahan ini bisa maksimal, dan sudah bisa diproduksi, artinya lahan sudah siap” pungkasnya. 

Aksi Bentang Spanduk di Lahan Ekstentifikasi Food Estate di Desa Mantangai Hulu

Bantuan yang diberikan kepada petani pun sudah tidak layak untuk ditanam lagi, karena bantuan seperti bibit, racun, kapur itu datang sebelum lahan dibuka, sehingga selama proses pembukaan lahan membuat bantuan seperti padi menjadi kadaluarsa atau tidak layak untuk ditanam dan kapur banyak yang hancur akibat terlalu lama dibiarkan, ditambah lagi setelah pembukaan lahan selesai, menurut warga lahan tersebut tidak siap untuk dikelola akibat masih banyak tumpukan kayu ditengah lahan dan irigasi yang belum dibuat untuk mengatur keluar masuknya air yang membuat warga memilih untuk tidak mengelola lahan tersebut. 

“Terkait bantuan seperti pupuk, itu diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan, saya memiliki lahan kurang lebih 2 hektar tapi hanya diberikan pupuk 1 karung yang berat 50 kg itu pun pupuk urea, selanjutnya da juga racun pembasmi rumput dalam 1 hektar itu cuma diberi hanya 1 botol” tambahnya. 

Bayu Herinata Direktur Eksekutif WALHI Kalteng menambahkan “ kami menyebut ini proyek food estate karena sejak awal pelibatan masyarakat itu sangat minim bahkan bisa dibilang hampir tidak ada baik perencanaan maupun implementasinya, jadi sangat terkesan hanya sebatas proyek yang di jalankan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk menyerap anggaran negara tanpa memastikan terkait aspek keberlanjutan untuk pemenuhan pangan apalagi untuk lingkungan. 

“Bisa kita lihat setelah 3 tahun proyek ini tidak berjalan maksimal dan lebih banyak masalah yang menjadi terjadi, hal ini akibat dari perencanaan yang tidak matang dan tidak menggunakan kajian-kajian penting seperti kajian lingkungan hidup dan yang lainnya” pungkas Bayu. 

Lalu Bayu menambahkan “ Proyek ini harus segera dihentikan, baik yang masih terencana dan yang sudah berjalan khususnya kegiatan ekstensifikasi / pembangunan lahan sawah baru, serta melakukan evaluasi kepada semua pihak yang telah terlibat dalam pelaksanaan proyek food estate ini”. 

Setelah 3 tahun berjalan, proyek food estate ini tidak menjawab sama sekali tantangan dan kebutuhan petani di Kalimantan Tengah terutama para peladang semenjak adanya larangan membakar. Masyarakat dibuat kebingungan terhadap proyek strategis nasional (PSN) yang dijalankan oleh Presiden Jokowi dengan alasan ancaman krisis pangan akibat Covid 19 yang melanda dunia. 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *